Ilustrasi (Shutterstock.com)
Dream - Jepang melaporkan kasus pertama penularan virus corona varian mu. Kasus pertama ini dialami dua orang yang baru datang dari luar negeri dan menjalani skrining di bandara.
Kementerian Kesehatan Jepang mengumumkan pada Rabu, varian mu terdeteksi pada wanita 40 tahunan yang tiba di Jepang dari Uni Emirat Arab pada Juni 2021. Sedangkan kasus lainnya ditemukan pada wanita 50 tahunan yang datang dari Inggris pada 5 Juli 2021.
Kedua wanita ini menunjukkan gejala saat tiba di Jepang. Mereka pun langsung terlacak dari pemeriksaan di bandara.
Semua pelancong yang datang ke Jepang diharuskan mengikuti tes PCR pada saat kedatangan dan menunggu hasilnya di bandara. Jika dinyatakan positif, mereka dikarantina di fasilitas yang ditunjuk atau dirawat di rumah sakit tergantung pada gejalanya.
Sedangkan jika hasil tesnya negatif, mereka diharuskan untuk dikarantina selama 14 hari di rumah atau fasilitas yang ditunjuk tergantung dari tempat mereka berasal. Kementerian mengatakan akan terus mengambil langkah pencegahan penyebaran varian dengan memantau situasi di negara lain.
WHO telah menetapkan varian mu, juga dikenal sebagai B.1.621, sebagai Variant of Interest (VoI), tingkat tertinggi ke dua dalam klasifikasi variannya. Namun, tingkat penularan varian mu belum diketahui secara jelas, termasuk apakah resisten terhadap vaksin.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Selasa, WHO memperingatkan varian tersebut memiliki konstelasi mutasi yang menunjukkan sifat potensial untuk lolos dari sistem imun. Ini berarti vaksin atau perawatan antibodi mungkin tidak bekerja dengan baik.
Dalam buletin pandemi mingguannya, WHO menyatakan data awal menunjukkan penurunan efektivitas vaksin terhadap mu mirip dengan yang terlihat untuk varian Beta. Varian ini ditemukan di Afrika Selatan dan dianggap lebih menular daripada virus corona asli.
Saat ini, WHO menetapkan Alfa, Beta, Gamma, dan Delta sebagai Variant of Consent (VoC), klasifikasi tertinggi dalam pengukuran kemampuan virus.
Strain mu pertama kali terdeteksi di Kolombia pada Januari. WHO menyatakan saat ini varian tersebut menyumbang sekitar 40 persen kasus di negara itu.
Mutasi sejauh ini telah terdeteksi di setidaknya 40 negara. Tetapi jumlahnya kurang dari 0,1 persen dari semua varian di seluruh dunia.
WHO juga menyatakan sejak varian pertama kali diidentifikasi, ada beberapa laporan sporadis infeksi dengan varian mu. Bahkan beberapa wabah yang lebih besar di negara lain di Amerika Selatan dan di Eropa.
Pengumuman kementerian kesehatan mengikuti laporan baru-baru ini tentang sublineage baru dari varian delta yang muncul di Jepang pada pertengahan Agustus. Delta, yang berasal dari India, telah menjadi varian paling umum di Jepang.
Sejauh ini, varian Alfa, Beta, Delta, Gamma, Kappa, Lambda dan mu telah terkonfirmasi menimbulkan penularan di Jepang, dikutip dari Japan Times.
Dream - Afrika Selatan dilaporkan telah menemukan varian baru virus Covid-19 yang mengandung banyak mutasi. Varian ini dikenal dengan nama C.1.2 dan pertama kali terdeteksi pada Mei 2021.
Temuan tersebut teridentifikasi pada periode gelombang ketiga pandemi Covid-19 yang menyerang negara tersebut. Varian itu ditemukan para peneliti dari Institut Nasional untuk Penyakit Menular (NICD) dan Platform Inovasi dan Sekuensing Penelitian KawaZulu-Natal.
Sejak terdeteksi di Afrika Selatan dan tujuh negara lainnya seperti Afrika, Eropa, Asia, dan Oseania, para peneliti langsung melaporkannya melalui server medRxiv.
Menyandur dari News18, Selasa 31 Agustus 2021, varian tersebut telah berevolusi dari C.1, salah satu garis keturunan yang mendominasi gelombang pertama SARS-CoV-2 di Afrika Selatan dan terakhir terdeteksi pada Januari 2021.
Kekhawatiran muncul karena varian baru tersebut mengandung banyak mutasi yang terkait dengan varian-varian virus Corona lain dengan tingkat penularan dan penurunan sensitivitas tehadap antibodi penetralisir atau vaksin.
" Adanya peningkatan transmisibilitas dan mempengaruhi penurunan sensitivitas antibodi," tulis tim peneliti, salah satunya Cathrine Scheeper dari NICD, dalam laporan mereka.
Menurut penelitian yang dilakukan NICD, varian C.1.2 memiliki 41,8 mutasi per tahun. Berarti, varian baru tersebut bermutasi 1,7 kali lebih cepat dari tingkat global saat ini dan 1,8 kali lebih cepat dari perkiraan awal evolusi SARS-CoV-2.
Percepatan evolusi ini dikaitkan dengan munculnya varian Alpha, Beta, dan Gamma. Sehingga, menunjukkan bahwa satu peristiwa dapat diikuti tingkat mutasi yang lebih cepat.
Sekitar 52 persen lonjakan kasus di Afsel, diidentifikasi akibat C.1.2. Tetapi juga bersamaan dengan varian lain seperti D614G, N501Y, E484K dan N5017.
Lebih lanjut, penelitian tersebut juga menemukan peningkatan yang konsisten dalam jumlah genom C.12 di Afrika Selatan setiap bulan yakni meningkat dari 0,2 persen pada Mei menjadi 1,6 persen pada Juni dan 2,9 persen pada Juli.
Para peneliti menyebutkan, peningkatan itu mirip dengan varian Beta dan Delta di Afrika Selatan.
" Hingga kini masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan seberapa baik varian baru dinetralkan oleh antibodi," jelas Scheepers.
(Sumber: news18)
Advertisement
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini
Masa Tunggu Haji Dipercepat, dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun
Viral Laundry Majapahit yang Bayarnya Hanya Rp2000
NCII, Komunitas Warga Nigeria di Indonesia
Azizah Salsha di Usia 22 Tahun: Keinginanku Adalah Mencari Ketenangan
Throwback Serunya Dream Day Ramadan Fest bersama Royale Parfume Series by SoKlin Hijab
Benarkah Gaji Pensiunan PNS Naik Bulan Ini? Begini Penjelasan Resminya!
Timnas Padel Indonesia Wanita Cetak Sejarah Lolos ke 8 Besar FIP Asia Cup 2025
Hore, PLN Berikan Diskon Tambah Daya Listrik 50% Hingga 30 Oktober 2025
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
Hasil Foto Paspor Shandy Aulia Pakai Makeup Artist Dikritik, Pihak Imigrasi Beri Penjelasan
Zaskia Mecca Kritik Acara Tanya Jawab di Kajian, Seperti Membuka Aib