Jerome Polin, Youtuber yang Masuk ‘30 Under 30’ Forbes untuk Media

Reporter : Edy Haryadi
Senin, 28 Februari 2022 17:56
Jerome Polin, Youtuber yang Masuk ‘30 Under 30’ Forbes untuk Media
Ia mempopulerkan matematika secara sederhana.

Dream – Di sebuah bangku panjang SD Indah Permata Hati (IPH School) di Jalan Raya Kedung Baruk 112-114, Rungkut, Surabaya, belasan tahun lalu. Libur panjang semester sekolah baru usai. Beberapa anak yang mulai masuk sekolah di sekolah swasta elite itu tampak berkumpul. Mereka nampak antusias saling bercerita tentang pengalaman liburan mereka masing-masing.

Ada anak yang bercerita dia baru kembali dari Hong Kong. Ada anak lain yang mengaku bersama keluarganya baru saja datang dari Walt Disney, Amerika Serikat. Semua anak menceritakan pengalaman berlibur ke luar negeri. Maklum, sekolah itu sekolah swasta internasional mahal. Sehingga kebanyakan anak datang dari keluarga kaya atau crazy rich di Surabaya.

Semua anak sibuk bercerita. Kecuali satu anak. Dia hanya terdiam. Dia tak pernah punya pengalaman ke luar negeri. Masa liburan kemarin dia hanya habiskan di rumah. Jadi dia hanya mendengar pengalaman teman-temannya dengan mulut sedikit  ternganga. Kagum.

Tapi, dari situ, si anak yang bersepatu paling murah di antara teman-teman sekelasnya itu, mulai punya tekad baja: suatu hari dia akan kuliah ke luar negeri.

Anak yang menggunakan sepatu paling sederhana itu adalah Jerome Polin Sijabat.  

“ Saya sendiri tidak pernah liburan ke luar negeri.  Hal itulah yang membuat saya termotivasi. Ini jadi membuat saya punya mimpi dan semangat bahwa suatu hari saya akan pergi ke luar negeri. Jadi sejak SD saya sudah punya impian kuliah di luar negeri,” kenang Jerome di Youtubenya, Nihongo Mantappu, berjudul: “ Cerita perjuangan beasiswa full kuliah ke luar negeri” yang sampai kemarin sudah ditonton 3,6 juta kali.

***

Jerome lahir di Jakarta, 2 Mei 1998. Ia anak kedua dari tiga bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Abangnya bernama Jehian Panangian Sijabat, sementara adiknya bernama Jesferrel Porman Sijabat.

Jerome berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya, Marojahan Sintong Sijabat, adalah seorang pendeta. Sementara ibunya, Chrissie Rahmeinsa, hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Jerome Polin dan keluarga


Pada tahun 2004, keluarga Jerome pindah dari Malang ke Surabaya. Tahun itu Jerome lulus TK dan mau masuk SD.

Sampai di Surabaya, ayahnya mulai cari-cari sekolah untuk Jerome. Tapi tidak ada yang pas. Karena keluarga Jerome bukan keluarga yang mampu secara ekonomi. Bisa dibilang malah pas-pasan.

Untunglah ada satu sekolah yang menyediakan beasiswa buat Jerome. yakni Indah Permata Hati atau IPH School. Sekolah ini sekolah high class. Banyak anak orang kaya bersekolah di sana. Dan, Jerome jelas masuk bukan sebagai anak orang kaya di sana.

Ia bisa bersekolah di sana dengan hanya bermodal beasiswa. Di situ juga, saat duduk kelas II SD, dia terkagum-kagum mendengar cerita teman-temannya yang pulang liburan dari luar negeri. Sehingga ia pun bertekad akan kuliah ke luar negeri.

Maka, setelah mendengar cerita kawan-kawan SD-nya berlibur ke luar negeri, sepulang dari sekolah, Jerome menyampaikan cita-citanya untuk kuliah ke luar negeri ke orang tuanya.

Namun orang tuanya tidak terlalu antusias menanggapi.  Sebab, bagaimana mau mengirim Jerome ke luar negeri, untuk liburan ke luar negeri saja orang tuanya tidak mampu. “ Jadi kalau kamu mau kuliah ke luar negeri, kamu harus cari beasiswa,” kata ayahnya.

Jerome harus memutar otak --dalam arti sebenarnya-- demi cita-citanya. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, membuat Jerome saat duduk di bangku SD dan SMP di sekolah yang sama, tidak bisa mengikuti les. Biaya les mahal. Maka, dia pun belajar sendiri mati-matian. Dia belajar lebih keras dari teman-temannya yang punya uang  les.

Saat nilainya lebih baik dari teman-temannya yang ikut les, dia bangga. Tapi ketika kalah, dia akan tetap mensyukurinya karena keluarganya tak punya cukup uang untuk mengikutkannya les.

Setelah lulus SMP di IPH School, dia pun masuk ke SMA negeri favorit di Surabaya. Pada saat itu nilai Ujian Nasional (UN) Jerome cukup bagus. Ia masuk 10 besar peringkat nilai UN se-Jawa Timur. Jadi dia bisa masuk SMA favorit dengan mudah.

Dia lalu masuk SMA 5 Surabaya. Pada saat itu Jerome sudah bertekad mau ikut banyak olimpiade agar bisa jadi prestasi, sehingga bisa mendapat beasiswa ke luar negeri.

Karena Jerome menyukai matematika, dia menghabiskan waktu dengan mempelajari matematika SMA kelas 10, 11, dan 12 . Padahal dia waktu itu masih di bangku kelas I SMA atau kelas 10. Itu pengorbanan yang dilakukan Jerome.

Akibatnya Jerome tidak punya media sosial, tidak punya Instagram. Boleh dibilang dia kurang gaul. Saat istirahat sekolah, dia lebih memilih masuk ke perpustakaan untuk mengerjakan soal matematika. Saat pulang ke rumah dia juga belajar lagi.

Tapi saat dia duduk di kelas 10, persiapannya belum cukup untuk ikut olimpiade matematika. Karena saingannya sudah belajar matematika secara khusus dari SMP, bahkan dari SD. Jadi saat kelas 10 itu dia tak pernah menang sama sekali. Pada saat kelas 11 dia mulai bisa menang sedikit-sedikit. Akhirnya, di kelas 12 dia mulai menang banyak di olimpiade matematika.

Pada saat kelas 10, Jerome juga mulai giat mencari informasi beasiswa ke luar negeri. Dia mencari beasiswa penuh. Hanya dengan beasiswa penuh, dia bisa berangkat.  Karena dia tahu keadaan ekonomi keluarganya.

Dari situ dia mendapat informasi, beasiswa yang disediakan penuh itu ada di Nanyang Technological University (NTU) di Singapura. NTU Singapura adalah salah satu kampus terbaik dunia dan berada di rangking ke-12 dunia.

Ia lalu mulai men-download soal-soal tes masuk NTU. Tapi saat itu dia langsung tahu soal-soal tes masuk NTU susah sekali. Dari persiapan menghadapi soal di olimpiade matematika, soal-soal di NTU menurutnya lebih susah lagi. Tapi dia tak putus asa. Jadi mulai kelas 11 dia mulai mempersiapkan untuk masuk NTU. Dia meminjam buku di perpustakaan. Di angkot pun dia belajar.

Setelah dua tahun persiapan, dari kelas 11 sampai kelas 12, akhirnya Jerome ikut tes masuk NTU di Jakarta. Saat itu dia sempat pesimis melihat pesaing-pesaing yang ikut tes. Beberapa bulan setelah ikut tes masuk, dia mendapat email dari NTU. Email itu berisi " selamat kamu diterima di NTU."

Jerome benar-benar senang karena diterima di NTU. Sayangnya, ternyata dia tidak mendapat beasiswa penuh. Ia lalu mengirim email bertanya tentang alasan dia tak dapat beasiswa penuh. NTU menjawab, berdasar tes masuk, Jerome belum berkompeten untuk menerima beasiswa penuh.

Di situ Jerome bener-bener down. Hancur. Sebetulnya dia senang begitu tahu diterima di NTU. Tapi saat tahu dia tidak menerima beasiswa penuh, itu mustahil dilanjutkan. Dengan beasiswa kuliah tidak penuh tersebut setidaknya dia harus menyiapkan Rp 10 juta per bulan untuk biaya hidup di Singapura pada saat itu.

“ Waktu itu papaku tetap mendukung. Papa bilang sudah kamu berangkat saja, papa bisa jual mobil. Tapi hati kecilku bilang tidak mungkin membiarkan orangtuaku menderita demi anaknya bisa kuliah,” kata Jerome.

Ia berpikir, masa demi dia bisa kuliah, hidup orangtuanya jadi sengsara. Akhirnya dengan berat hati Jerome harus melepas NTU. Itu pengalaman menyedihkan bagi Jerome. Karena mimpinya sejak kecil untuk dapat beasiswa kuliah keluar negeri habis. Pupus.

Tiba-tiba, beberapa minggu setelah pengumuman itu, Jerome  mendapat informasi dari kakaknya, Jehian, ada perusahaan Jepang, Mitsui Bussan, membuat program beasiswa penuh untuk studi ke Jepang.

Semangat Jerome bangkit kembali. Ia lalu mulai mencari informasi program tersebut. Ternyata biaya hidup juga diberikan, selain biaya kuliah gratis. Ia pun bersemangat kembali. Tapi sebelum mendaftar dia meriset untuk tahu berapa orang kira-kira yang diterima di program beasiswa itu. “ Kalian tahu berapa orang yang diterima dalam setahun? Cuma dua orang dari seluruh Indonesia. Sementara total peserta mencapai 20.000 orang lebih,” tuturnya.

Ia kemudian ikut seleksi beasiswa Mitsui Bussan. Ada empat seleksi. Seleksi pertama, seleksi nilai. Pada saat lulus SMA nilai rata-rata Jerome 94. Dia bisa memenuhi persyaratan karena persyaratan beasiswa hanya mewajibkan nilai rata-rata 80.

Setelah seleksi nilai, Jerome ikut tes tertulis. Tes matematika dan tes bahasa Inggris. Tes pertama tes matematika. Ada 20 soal. Diberi waktu cuma satu jam, dia bisa menyelesaikan dalam waktu setengah jam. Lalu tes bahasa Inggris. Dari 170 orang yang ikut tes tulis, yang lolos ke tahap berikutnya hanya 22 orang. Termasuk Jerome.

Tahap tiga adalah tes psikologi dan kesehatan. Setelah tes ini, cuma tersisa 14 orang yang lolos. Lalu tes wawancara. Setiap orang diwawancara 20 menit. Ada tujuh orang yang mewawancara. Di situ Jerome mengungkapkan cita-citanya menjadi Menteri Pendidikan RI.

Lalu beberapa minggu setelah itu, ada telepon dari nomor yang Jerome tak kenal. Kata si penelepon: “ Selamat ya Jerome kamu jadi penerima beasiswa Mitsui Bussan untuk tahun 2016.”

Tubuhnya lunglai mendengarnya, tapi diliputi kelegaan dan kebahagian luar biasa. Mamanya sampai menangis karena bahagia.  “ Itu sesuatu yang mustahil. Tapi ketika kita berusaha, kita berdoa, dan kita mengandalkan Tuhan, maka Tuhan akan memberi jalan. Yang pasti rencana Tuhan itu yang terbaik. Dan jangan menyerah. Terus berjuang. Pasti akan ada hasil yang baik,” ungkapnya.

***

Jerome lalu kuliah di Universitas Waseda, Shinjuku, Tokyo, Jepang,  program studi matematika terapan. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya tanggal 12 Februari 2022.

Jerome Polin lulus ujian skripsi

Saat menjadi mahasiswa di Jepang, dia pun memulai membuat Youtube di Desember 2017 guna mencari tambahan penghasilan. Youtube dia berisi pengalaman hidup, menikmati kuliner dan kuliah di Jepang. Ia juga memperkenalkan matematika sebagai sesuatu yang menyenangkan dan mengajarkan bahasa Jepang.

Ia pun berubah dari mahasiswa penerima beasiswa menjadi Youtuber dan influencer berpengaruh di Indonesia. Youtubenya Nihongo Mantappu, hingga kemarin memiliki 8,9 juta subscribers. Sementara Instagramnya di @jeromepolin kini sudah memiliki 6.3 juta followers.

Setelah sukses sebagai Youtuber dan influencer, Jerome bersama kakaknya Jehian, yang berperan sebagai manajer Jerome, membuka unit bisnis lain. Salah satunya adalah meluncurkan Meantea, produk minuman yang memadukan teh dan sari buah-buahan. Harganya cuma Rp 20.000.

Kepada Raffi Ahmad, Jerome mengaku gerai Meantea itu kini “ sudah ada 125 gerai.” Dan itu semuanya dikelola secara franchise.

Masih bersama kakaknya Jehian, Jerome Polin juga mengembangkan sayap bisnisnya dengan membuat talent management bernama  Mantappu Corp di bawah naungan PT Mantappu Berkat Digital.

Mantappu Corp adalah perusahaan talent management yang dikembangkan oleh Jerome Polin bersama kakaknya Jeihan. Jerome fokus pada pembuatan konten, sedangkan Jehian membangun sistem dukungan yang membantu saudaranya dalam hal-hal administrasi.

Itulah juga yang membuat Jerome dan kakaknya Jehian, seorang sarjana Teknik Dirgantara ITB, diganjar sebagai  tokoh berpengaruh di Asia yang berada di bawah umur 30 tahun, dalam “ 30 Under 30” Majalah Forbes.

Menurut majalah Forbes, talent manajement Jerome dan Jehian telah menaungi 11 Youtubers. Termasuk influencers asal Korea Selatan, Jang Hansol (4 juta  subscribers), dan Leonardo Edwin (1 juta subscribers).

Majalah Forbes pada April 2021 memasukkan Jerome yang kini masih berusia 23 tahun dan abangnya Jeihan, 25 tahun, ke dalam “ 30 Under 30”  Asia untuk kategori media, marketing dam advertising.

Sebuah prestasi yang tidak buruk bagi Jerome. Anak muda yang dulu bersepatu sederhana saat duduk di sekolah dasar di sekolah elit Surabaya. (eha)

Sumber: Liputan6, Youtube

Beri Komentar