Mengapa Film Tidak Lulus Sensor?

Reporter : Dream.co.id
Jumat, 21 April 2017 12:02
Mengapa Film Tidak Lulus Sensor?
Dalam menjalankan proses sensor, Mukhlis mengatakan pihaknya berpatokan pada sejumlah aturan.

Dream - Setiap film yang ditayangkan di bioskop maupun siaran televisi sudah dipastikan lulus sensor. Tetapi, bagaimana proses sensor itu dijalankan?

" Proses sensor itu tidak ada sehari, dalam hitungan jam juga udah selesai," ujar Ketua Komisi III Lembaga Sensor Film (LSF) Mukhlis Paeni di Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis, 20 April 2017.

Setiap film, kata Mukhlis, wajib menjalani proses sensor oleh LSF. Dalam setahun, menurut dia, jumlah film yang masuk ke LSF untuk proses sensor tidak menentu.

Dalam menjalankan proses sensor, Mukhlis mengatakan pihaknya berpatokan pada sejumlah aturan. Jika proses sensor menyatakan ada aturan yang dilanggar, sebuah film tidak boleh ditayangkan kepada publik Indonesia.

" Aturannya berdasarkan dari UU apa saja yang tidak boleh ditonton. Misalnya, tontonan itu bisa mengakibatkan gesekan antar kelompok, penghinaan terhadap individu, penghinaan terhadap kelompok tertentu, juga mengandug pornografi, dan LGBT," jelas Mukhlis.

Tidak hanya itu, kata Mukhlis, pihaknya juga sangat memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang tentang Pornografi. Tidak ketinggalan, keberadaan aspek kekerasan juga tidak luput dari pantauan LSF.

" Kita juga lihat kekerasan apa saja yang tidak boleh dipertontonkan merujuk dari UU kekerasan," ucap dia.

 

1 dari 1 halaman

Kegelisahan Pegiat Budaya dan Film pada LSF

Kegelisahan Pegiat Budaya dan Film pada LSF © Dream

Dream - Rencana pembentukan kantor perwakilan LSF di Sulawesi Barat mendapat apresiasi dari para pegiat kebudayaan dan film setempat. Tetapi, ada kegelisahan di antara mereka tentang proses rekrutmen anggota kantor perwakilan tersebut.

" Kekhawatiran terhadap proses rekrutmen, jangan sampai yang tidak layak malah diangkat jadi anggota LSF," ujar perwakilan Komunitas Film Teater Kakanna, Adil Tambono.

Menanggapi kekhawatiran ini, Mukhlis menegaskan proses rekrutmen didasarkan pada Undang-undang yang berlaku. Dia pun menjamin para anggota yang terjaring adalah mereka yang benar-benar memiliki kemampuan di bidang penyensoran.

" Udah ada aturannya, mengenai jam kerja, klasifikasi-klasifikasi lainnya. Semua sudah ada aturan dari Ketua LSF," ucap Mukhlis.

Kekhawatiran lain yang juga diungkapkan para pegiat kebudayaan adalah aspek lokalitas sebuah kebudayaan yang belum tentu dimengerti masyarakat lain. Padahal, film tentu dilihat oleh semua orang.

" Kebudayaan itu tidak bisa dilihat dari segi individu, tapi harus dilihat dari segi makro. Contohnya, kalau kita bikin lagu menggunakan bahasa daerah, masyarakat lainnya tidak mengerti dan belum tentu menerima, sehingga belum tentu laku," ujar salah satu pegiat teater, Ramli Rusli.

Menyadari hal itu, Mukhlis mengungkapkan tujuan kantor perwakilan LSF adalah untuk merangsang kreativitas daerah. Nilai-nilai kebudayaan dapat diolah menjadi konten film yang menarik dan layak ditonton.

" LSF merangsang daerah-daerah lainnya untuk mengangkat budayanya menjadi konten film. Karena budaya itu bisa di-create dalam industri film," tegas Mukhlis.

Beri Komentar