Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Dream - Najia, (bukan nama asli), 45 tahun, sedang berada di rumah bersama tiga putra dan putrinya yang masih kecil. Mereka tinggal di sebuah desa di Provinsi Faryab, Afghanistan Utara. Sang ibu harus tewas dipukuli para militan Taliban lantaran tak sanggup memberi makan kepada mereka.
Putri Najia, Manizha (bukan nama sebenarnya) mengatakan, kejadian itu terjadi pada 12 Juli lalu ketika Taliban masih bertempur dengan pasukan pemerintah Afghanistan untuk memperebutkan wilayah ibu kota.
Manizha menuturkan, sudah empat kali selama empat hari berturut-turut, militan Taliban mengetuk pintu rumah mereka. Para militan meminta sang ibu memasak bagi 15 gerilyawan.
Akan tetapi, pada hari ke empat, para militan Taliban membunuh Najia karena tak bisa memenuhi permintaan mereka.
" Ibu saya mengatakan kepada mereka (militan Taliban), 'saya orang miskin, bagaimana bisa saya memasak makanan untuk Anda semua?'," cerita Maniza menirukan jawaban mendiang ibunya, dikutip dari laman CNN, Kamis 19 Agustus 2021.
" Taliban mulai memukul ibu saya. Ibu saya langsung jatuh pingsan dan mereka memukulnya menggunakan senapan AK47," paparnya.
Manizha harus berteriak kepada para militan agar berhenti memukul sang ibu. Sesaat sudah berenti, nahas, nyawa Najia tidak tertolong dan tewas di tempat.
Kekejaman mereka belum berhent. Setelah menghabisi nyawa Najia, para militan langsung melempar granat ke salah satu ruangan di rumah Manizha, lalu kabur.
Pihak Taliban sempat membantah telah membunuh Najia. Namun sejumlah saksi mata dan pejabat setempat membenarkan kejadian mengerikan tersebut.
Seorang tetangga Najia mengaku sempat meneriaki Taliban untuk berhenti menyakiti wanit aitu. Ia mengatakan banyak perempuan di desa yang menjadi janda lantaran suaminya bekerja sebagai pasukan untuk pemerintah Afghanistan.
Kebrutalan tersebut merupakan salah satu gambaran mengerikan dari ancaman yang kini tengah dihadapi sebagian besar perempuan di pelosok Afghanistan setelah Taliban mengambil alih pemerintahan pada 15 Agustus 2021 lalu.
Perempuan Afghanistan mulai ketakuan untuk keluar rumah. Mereka takut hak-hak dasar mereka seperti bersekolah, meniti karir, berpakaian, hingga keamanan diri kembali dirampas Taliban.
Padahal beberapa waktu lalu, Taliban berjanji akan membentu " pemerintahan Islam yang inklusif" bagi masyarakat Afghanistan, terutama kaum perempuan. Namun mereka tetap khawatir tentang masa depan negara tersebut di era kepemimpinan kelompok tersebut.
Bagi para wanita Afghanistan, aturan mengenakan burqa merupakan representasi hilangnya hak-hak yang telah diperoleh selama 20 tahun. Terutama hak untuk bekerja, belajar, bergerak, dan bahkan hidup dalam damai. Mereka khawatir, hak-hak tersebut tidak akan pernah didapatkan kembali ketika Taliban berkuasa lagi.
Setelah AS menginvasi Afghanistam pada 2001, pembatasan terhadap perempuan mulai dihapuskan. Bahkan ketika perang berkecamuk, komitmen lokal untuk meningkatkan hak-hak perempuan, yang didukung oleh kelompok dan donor internasional, mengarah pada penciptaan perlindungan hukum baru.
Pada 2009, undang-undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mengkriminalisasi pemerkosaan, pemukulan, dan pernikahan paksa serta melarang perempuan atau anak perempuan untuk bekerja atau belajar sebagai tindakan ilegal.
Farzana Kochai, salah satu perempuan yang menjabat sebagai anggota parlemen Afghanistan mengatakan, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
" Belum ada pengumuman yang jelas tentang bentuk pemerintahan di masa depan, apakah kaum wanita seperti kita akan memiliki peranan di parlemen atau tidak," kata Kochai.
" Momen ini menjadi suatu hal yang membuat saya khawatir. Setiap wanita tentu memikirkan hal ini, memikirkan apakah mereka diizikan bekerja atau tidak," paparnya.
Juru bicara Taliban Suhail Shaheen pada Senin, 16 Agustus 2021, mengatakan, Taliban berjanji di bawah mereka akan mengizinkan anak perempuan untuk bersekolah.
" Sekolah akan terbuka dan anak perempuan akan pergi ke sekolah, sebagai guru, sebagai siswa," kata Shaheen.
Namun ada ketidakpercayaan mendalam terhadap militan Taliban, yang menyebabkan kesengsaraan di bawah pemerintahan mereka terdahulu.
Pada Juli, Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan mengatakan di daerah-daerah yang dikendalikan oleh Taliban, perempuan telah diperintahkan untuk tidak menghadiri layanan kesehatan tanpa wali laki-laki. Selain itu, mereka melarang televisi, serta guru dan siswa diperintahkan untuk memakai sorban dan menumbuhkan janggut.
Komisi itu mengatakan, cendekiawan agama, pejabat pemerintah, jurnalis, pembela hak asasi manusia dan perempuan telah menjadi korban pembunuhan yang ditargetkan. Salah satunya adalah Mina Khairi, seorang pria berusia 23 tahun yang tewas dalam sebuah bom mobil pada Juni. Ayahnya, Mohammad Harif Khairi, juga kehilangan istri dan putrinya dalam ledakan itu. Mina Khairi itu telah menerima ancaman pembunuhan selama berbulan-bulan.
Sumber: CNN
Advertisement
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Rangkaian acara Dream Inspiring Women 2023 di Dream Day Ramadan Fest Day 5
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Prabowo Subianto Resmi Lantik 4 Menteri Baru Kabinet Merah Putih, Ini Daftarnya
Menanti Babak Baru Kabinet: Sinyal Menkopolhukam Dirangkap, Akankah Panggung Politik Berubah?