Masjid Hidayatullah, Kesejukan di Antara Pencakar Langit

Reporter : Maulana Kautsar
Kamis, 25 Juni 2015 03:00
Masjid Hidayatullah, Kesejukan di Antara Pencakar Langit
Masjid Hidayatullah hadir sebagai penyejuk di tengah riuhnya kegiatan manusia mencari rezeki.

Dream – Lantunan azan Zuhur baru saja menggema di udara. Orang-orang sejenak berhenti, mengistirahatkan diri dari aktivitas kerjanya. Karyawan, pekerja bangunan, dan masyarakat secara beriringan berjalan menuju asal suara azan itu.

Suara azan itu berasal dari balik sebuah gedung pencakar langit, satu gedung di sebelah barat bernama Sampoerna Strategic dan sisi timurnya ada gedung Standart Chartered. Sampai di jalan yang terbelah di antara kedua gedung itupun, bangunan asal suara itu tetap tak terlihat. Hanya terlihat rerimbunan pepohonan.

Memasuki sebuah belokan kecil, barulah diketahui bangunan itu adalah masjid. Di gapura masuknya tertulis: Masjid Hidayatullah.

Barisan orang-orang yang datang menuju masjid tadi menyempatkan diri menitipkan alas kaki mereka. Penitipan itu tampak jelas dari jalan. Sementara mereka yang datang menggunakan kendaraan sibuk memarkir kendaraannya di halaman dan luar kompleks masjid.

Awalnya, tak ada yang akan menyangka bangunan ini merupakan situs sejarah. Pasalnya dari depan yang terlihat adalah bangunan tambahan hasil renovasi di tahun 1998. Tahun di mana Indonesia sedang mengalami krisis moneter besar-besaran.

Muhammad Thohir, pengelola Masjid Hidayatullah, mengatakan aneh rasanya membangun sebuah masjid saat krisis. Tapi, pihak masjid tetap melaksanakan pembangunan itu.

" Ada cemooh dari warga. Tapi, kita harus tetap jalan soalnya ini dana umat," jelasnya.

Ini bukan kali pertama masjid itu mengalami tekanan. Thohir mengingat, sekitar tahun 1985, masjid ini pernah akan 'dipindahkan' oleh pihak pengembang. Keluarga Thohir konon ditawari uang Rp16 miliar, namun ditolak. Niatan memindahkan itu akhirnya batal.

Puncak konflik terjadi di tahun 1989-an. Pihak pengembang yang disewa oleh salah satu bank swasta nasional, mendatangkan tiga truk preman untuk melakukan intimidasi.

Jemaah yang tidak terima sempat terpancing. Pasalnya jemaah Masjid Hidayatullah yakin jika masjid itu adalah wakaf dari Muhammad Yusuf. Muhammad Yusuf merupakan seorang Betawi, blasteran Bugis dan Tionghoa yang jadi tangan kanan seorang Belanda. Akibatnya, bentrokan fisik antara jemaah dan preman-preman sewaan itu sempat terjadi.

" Mereka (preman-preman itu) menggunakan parang, linggis, pentungan, dan sebagainya. Padahal kita hanya menggunakan batu atau balok," ungkap Thohir dengan mata menerawang.

Tetapi, konflik mempertahankan masjid itu berakhir dengan damai. Masjid itu dijamin keberadaannya oleh ABRI, Pemda, dan ulama se-Jakarta.

Belakangan baru ketahuan, ternyata pihak pengelola masjid di masa itu bermain dengan pihak pengembang. Meskipun sekarang keadaan sudah tenang, masih ada kekhawatiran yang dirasakan Thohir.

" Rongrongan dari pengembang itu masih hingga sekarang," katanya sambil memberi senyum.

Masjid Hidayatullah kini ibarat menjadi oase di tengah gedung-gedung pencakar langit. Masjid tersebut tidak hanya berguna sebagai tempat ibadah semata.

Beberapa pekerja menjadikan tempat itu untuk beristirahat. Mereka biasanya mengistirahatkan diri seusai salat. Menurut Thohir, mereka yang ingin beristirahat disediakan ruangan tersendiri.

" Bangunan utama khusus untuk yang beribadah. Bagi yang ingin beristirahat, silahkan tidur di aula, atau lantai dua," jelas generasi ketiga pengelola Masjid Hidayatullah.

Bangunan utama masjid ini selain memang khusus untuk beribadah juga menyimpan sejarah tersendiri. Menurut Thohir, masjid itu ketika berdiri di tahun 1747 berbentuk panggung. Tetapi mengalami renovasi. Konon tahun berdirinya masjid itu diketahui setelah Dinas Purbakala Kota Jakarta melakukan penelitian di area mimbar masjid. Di sana tertera angka 1747 dalam bahasa Melayu-Arab kuno.

Renovasi Masjid Hidayatullah terjadi empat kali. Pertama di tahun 1921. Setelah itu di tahun 1948 ada penambahan porselen. Setelah itu di tahun 1972, ada penambahan eternit. Di tahun 1983 terjadi perluasan bangunan.

" Yang terakhir di tahun 1998. Ada penambahan menara masjid," jelasnya.

Ukuran masjid ini pun makin lama semakin menyempit. Dulunya masjid ini berukuran 3.000 meter persegi. Tetapi, di tahun 1972 ada tanah masjid yang diwakafkan untuk pelebaran Kali Krukut sebesar 600 meter persegi.

" Pewakafan yang terakhir untuk akses jalan masuk sebesar 800-an meter persegi. Ini kami lakukan untuk menengahi konflik dengan pengembang," jelasnya.

Kini lebar Masjid Hidayatullah tinggal tersisa 1.500 meter persegi. Meskipun ukuran tak seberapa, masjid ini adalah tetap menawarkan ketentraman batin bagi mereka yang datang.

Beri Komentar