Dream - Jepang sedang menghadapi lonjakan kasus infeksi sindrom syok toksik streptokokus (STSS) yang mengkhawatirkan. Negara Asia lainnya termasuk Indonesia juga tengah waspada dengan merebaknya penyakit tersebut.
Infeksi ini disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A, yang lebih dikenal dengan julukan " pemakan daging" .
Hingga kini, kasus STSS di Jepang telah melampaui 1.000, memicu kekhawatiran di seluruh dunia.
Bakteri ini dikenal dengan sebutan " pemakan daging" karena kemampuannya menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu yang sangat singkat.
Penularannya terjadi melalui pernapasan dan droplet (percikan ludah atau lendir) yang berasal dari penderita.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, dr. Siti Nadia Tarmizi, " hingga saat ini belum ada laporan kasus bakteri 'pemakan daging' di Indonesia."
Meski demikian, Indonesia terus memantau situasi dengan cermat melalui surveilans sentinel Influenza Like Illness (ILI) – Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan pemeriksaan genomik.
Kasus STSS di Jepang umumnya dilaporkan di rumah sakit dan seringkali muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan. Infeksi ini bisa berakibat fatal karena dapat menyebabkan sepsis dan kegagalan multiorgan.
Meski demikian, penyebab pastinya masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.
Sejak 1999, Jepang telah melaporkan kasus infeksi streptokokus dalam sistem notifikasi surveilans. Pada 2023, tercatat ada 941 kasus, dan angka ini meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024. Meski jumlahnya signifikan, tingkat penyebaran STSS jauh lebih rendah dibandingkan dengan COVID-19.
Untuk mencegah penyebaran STSS, masyarakat diimbau untuk tetap menerapkan perilaku hidup sehat, seperti menggunakan masker saat sakit dan mencuci tangan secara rutin.
“Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi COVID-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan” kata dr. Nadia dikutip dari situs Sehatnegeriku Kemkes.
Hingga saat ini, tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait dengan STSS.
Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS, di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi untuk membatasi perjalanan ke negara-negara terdampak.
Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri " pemakan daging" ini.
Oleh karena itu, pencegahan melalui kebersihan dan tindakan medis cepat jika terinfeksi menjadi kunci utama.
Sumber: Sehatnegeriku.kemkes.go.id.
Advertisement
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Kebiasaan Pakai Bra saat Tidur Berbahaya? Cari Tahu Faktanya