Kisah Pilu Pernikahan Dini dari Indramayu

Reporter : Maulana Kautsar
Senin, 6 November 2017 16:02
Kisah Pilu Pernikahan Dini dari Indramayu
Angka pernikahan dini di Indramayu termasuk yang tertinggi di Indonesia.

Dream - Angka perkawinan anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat termasuk yang tertinggi. Survei United Nation Children's Fund (Unicef) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2016 menempatkan Jawa Barat pada posisi ke-9 di Indonesia.

Dalam survei tersebut 30,5 persen perempuan di umur 20 hingga 24 tahun, pernah menikah sebelum umur 18 tahun.

Dilansir dari laman Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada 2010 saja tercatat, tiap 100 orang perempuan berusia 15 hingga 19 orang di Jawa Barat telah menikah.

Di Indramayu fenomena menikah muda mudah ditemui. BKKBN mencatat alasannya. Banyak dari orang tua yang ingin puterinya menikah di usia di bawah 18 tahun dengan alasan agar tidak menjadi jomblo. Sang anak menuruti perintah itu sebagai bentuk kepatuhan. Agar tidak durharka.

Pernikahan yang dijalani tanpa persiapan tersebut, rentan mengalami perceraian. Bahkan dalam hitungan minggu, remaja tersebut bisa menyandang status janda.

Salah seorang warga, Endang Wasrinah mengaku menikah pada usia 16 tahun dan sekarang sudah memiliki satu anak. Endang berasal dari keluarga nelayan kecil yang hidup pas-pasan.

Suatu ketika dia diminta oleh orang tuanya untuk menikah dengan seorang lelaki. Padahal dia mengaku masih ingin melanjutkan sekolah. Sementara calon suaminya adalah seorang duda beranak satu, Radar Cirebon melaporkan.

“ Saya tidak bisa menolak keinginan orang tua yang menyuruh saya menikah saat usia masih sangat muda,” ujar dia.

Pernikahan dini itu menyebabkan Endang tertekan. Bayangkan, dia kerap diperlakukan tidak baik oleh suami. Dalam satu hari dia hanya diberi uang Rp25 ribu oleh suami. “ Saat itu saya benar-benar minder dan malu kalau ketemu sama teman-teman,” ucap Endang.

Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indramayu, Yuyun Khoerunnisa menjelaskan bahwa penyebab perkawinan anak ialah faktor ekonomi. “ Memang sebagian besar karena faktor ekonomi. Yang lebih miris, ada orang tua yang terpaksa mengawinkan anaknya yang masih kecil hanya karena untuk membayar utang,” ujar Yuyun.

Yuyun mengatakan KPI Indramayu sedang membentuk Pusat Informasi Pengaduan dan Advokasi Penghantian Perkawinan Anak (PIPA PPA). “ Yang pasti, KPI bersama para jejaring sepakat untuk menolak perkawinan anak. Kemi mendorong agar ada payung hukum seperti peraturan daerah (perda) untuk menghentikan perkawinan anak,” ucap dia.

Beri Komentar