Tim SAR Gabungan Melakukan Pencarian Korban Jatuhnya Pesawat Latih Cessna Di Indramayu (Liputan6.com)
Dream - Satu unit pesawat latih jenis Cessna terjatuh ke Sungai Rambatan Cimanuk, Desa Lamarantarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Senin 22 Juli 2019, pukul 14.50 WIB.
Pesawat itu diawaki dua siswa Angkasa Aviation Academy (AAA) Pilot School Cirebon, Arthur Arfa dan M Salman Alfarisi.
Tim SAR gabungan telah menemukan Salman pagi tadi sekitar pukul 09.35 WIB. Salman ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.
" Korban atas nama Salman ditemukan dalam keadaan meninggal dunia," ujar Kepala Basarnas Jawa Barat, Deden Ridwansyah, dikutip dari Liputan6.com.
Tim SAR sebelumnya menemukan Arthur, beberapa jam setelah pesawat jatuh. Arthur dalam keadaan selamat dan dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu. " Kondisinya masih shock," kata Deden.
Saksi mata yang melihat peristiwa itu mengatakan pesawat Cessna sempat terbang rendah sebelum jatuh ke sungai. Bahkan hampir menabrak gubuk di tambak.
" Saya lihat pesawatnya terbang rendah banget, bahkan sempat mau nabrak gubuk," kata seorang saksi, Sarjono, dilansir Antara.
Ketika peristiwa nahas itu terjadi, Sarjono sedang berada di tambak. Dia sering melihat pesawat kecil terbang di atas tambaknya.
Tetapi, dia mengaku kaget ketika melihat ada pesawat terbang sangat rendah dan terjauh di sungai. " Saya langsung kejar ke Sungai Cimanuk, ternyata ada korban minta tolong," ucap Sarjono.
Sumber: Liputan6.com/Andry Haryanto
Dream - Tiga sumber yang diklaim mengetahui isi percakapan Cockpit Voice Recorder (CVR) Lion Air JT610 mengungkapkan situasi di dalam ruang kemudi sebelum pesawat berisi 189 orang tersebut jatuh ke laut pada 28 Oktober 2018.
Dikutip dari laman The Straits Times, Rabu 20 maret 2019, dari data rekaman itu diketahui pilot membuka buku panduan untuk mencari tahu masalah yang dihadapi. Tapi sayang, mereka tak punya waktu untuk menyelamatkan Boeing 737 Max-8 tersebut.
Penyelidikan terhadap kecelakaan pesawat yang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta ke Pangkalpinang itu mempertimbangkan bagaimana komputer memerintahkan pesawat menukik sebagai respons data akibat kesalahan sensor dan apakah pilot cukup terlatih untuk merespons dengan baik terhadap kondisi darurat itu.
Artikel yang dimuat laman The Straits Times itu memang tak menjelaskan secara detail isi rekaman di dalam CVR tersebut. Sementara, Juru Bicara Lion Air, sebagaimana ditulis The Straits Times, menolak berkomentar banyak dan hanya mengatakan semua informasi dan data telah diserahkan kepada para penyelidik.
Menurut laporan sementara yang dirilis pada November tahun lalu, sang kapten menjadi pengendali pesawat saat Lion Air JT610 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan petugas pertama atau kopilot mengendalikan radio.
Hanya dua menit setelah lepas landas, kopilot melaporkan adanya 'masalah kontrol penerbangan' ke air traffic control atau ATC. Kopilot mengatakan bahwa pilot ingin mempertahankan ketinggian terbang 5.000 kaki atau 1,524 meter.
Kopilot tidak merinci masalah yang dialami pesawat berisi 189 orang itu. Namun salah satu sumber mengatakan kecepatan udara disebut dalam rekaman percakapan kokpit atau CVR. Sumber ke dua mengatakan indikator menunjukkan masalah pada layar kapten.
Kapten meminta kopilot untuk memeriksa buku panduan, yang berisi daftar periksa untuk peristiwa abnormal. Selama sembilan menit berikutnya, jet itu memperingatkan pilot bahwa pesawat dalam kondisi stall dan mendorong hidung ke bawah sebagai respons.
Stall merupakan kondisi ketika aliran udara di atas sayap terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuat pesawat tetap terbang.
Kapten berusaha keras untuk menaikkan pesawat, tetapi komputer --yang masih salah-- merasakan sebuah stall, terus menekan hidung pesawat menggunakan sistem trim. Biasanya, trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.
" Mereka tampaknya tidak tahu trim bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Itulah satu-satunya hal yang mereka bicarakan," kata sumber ke tiga.
Sementara, laman The Telegraph melaporkan kondisi di dalam kokpit Lion Air JT610 sehari sebelum jatuh di Laut Jawa. Pesawat ini memang sudah mengalami masalah malam sebelum nahas, saat terbang dari Denpasar menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Menurut laporan, pada penerbangan malam sebelumnya itu, terdapat kru lain yang berada di dalam kokpit. Dia adalah pilot yang sedang tidak bertugas. Pilot off-duty inilah yang justru menyelamatkan pesawat malam itu.
Menurut dua sumber yang dekat dengan penyelidikan kecelakaan ini, pilot tambahan itu, yang duduk di kursi kokpit, mendiagnosis masalah dengan tepat dan memberi tahu kru cara menonaktifkan sistem kontrol penerbangan yang tidak berfungsi dan menyelamatkan pesawat.
Keesokan harinya, di bawah kendali kru yang berbeda, pesawat ini mengalami masalah serupa. Namun, masalah itu tidak bisa ditangani sampai akhirnya menghunjam ke Laut Jawa di Tanjung Karawang, Jawa Barat, dan menyebabkan 189 orang meninggal dunia.
Dream - Data Cockpit Voice Recorder merekam detik-detik terakhir kejadian di dalam ruang kemudi pesawat Lion Air JT610 yang jatuh ke Laut Jawa pada 28 Oktober 2018.
Menurut tiga sumber, sebagaimana dikutip dari The Straits Times, Kamis 21 Maret 2019, data rekaman CVR menunjukkan pilot asal India terdiam pada saat-saat akhir. Sementara, kopilot asal Indonesia memekik, " Allahu Akbar."
Dari data rekaman itu, diketahui bahwa pilot membuka buku panduan untuk mencari tahu masalah. Tapi sayang, mereka tak punya waktu untuk menyelamatkan Boeing 737 Max-8 yang mereka kendalikan.
Menurut laporan sementara yang dirilis pada November tahun lalu, sang kapten menjadi pengendali pesawat saat Lion Air JT610 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan petugas pertama alias kopilot mengendalikan radio.
Hanya dua menit setelah lepas landas, kopilot melaporkan adanya 'masalah kontrol penerbangan' ke air traffic control atau ATC. Petugas pertama itu mengatakanbahwa pilot ingin mempertahankan ketinggian terbang 5.000 kaki atau 1,524 meter.
Kopilot itu tidak merinci masalah yang dialami pesawat berisi 189 orang itu. Namun salah satu sumber mengatakan kecepatan udara disebut dalam rekaman percakapan kokpit atau CVR. Sumber ke dua mengatakan indikator menunjukkan masalah pada layar kapten.
Kapten meminta kopilot memeriksa buku panduan, yang berisi daftar periksa untuk peristiwa abnormal. Selama sembilan menit berikutnya, jet itu memperingatkan pilot bahwa pesawat dalam kondisi stall dan mendorong hidung ke bawah sebagai respons.
Stall merupakan kondisi ketika aliran udara di atas sayap terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuat pesawat tetap terbang.
Kapten berusaha keras menaikkan pesawat, tetapi komputer --yang masih salah-- merasakan sebuah stall, terus menekan hidung pesawat menggunakan sistem trim. Biasanya, trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.
" Mereka tampaknya tidak tahu trim bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Itulah satu-satunya hal yang mereka bicarakan," kata sumber ke tiga.
Boeing menolak berkomentar atas temuan ini. Mereka beralasan proses penyelidikan masih berlangsung. Perusahaan asal Amerika Setikat itu menyebut ada dokumen prosedur untuk mengendalikan situasi tersebut.
Tapi laporan awal yang dirilis pada November lalu menyebut pesawat Lion Air yang sama mengalami masalah serupa pada malam sebelumnya, saat terbang dari Denpasar ke Bandara Soekarno-Hatta.
Malam itu, masalah bisa diatasi oleh kru yang saat itu menjalankan tiga langkah. Namun, kru tersebut tidak menyampaikan semua informasi tentang masalah yang mereka temui kepada kru yang bertugas berikutnya.
Dan, dalam penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta ke Pangkalpinang itu, pilot JT610 tetap tenang. Menjelang saat-saat akhir pesawat itu, kapten meminta kopilot menerbangkan pesawat. Sementara sang kapten memeriksa sistem manual untuk menyelesaikan masalah.
Satu menit sebelum pesawat raib dari radar, kapten meminta petugas ATC untuk mengamankan jalur di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki.
Menurut dua sumber, saat kapten yang berusia 31 tahun itu berusaha menemukan prosedur yang teppat untuk mengatasi masalah, kopilot tidak dapat mengendalikan pesawat.
Perekam data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir kopilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh sang kapten.
" Ini seperti ujian di mana ada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75," kata sumber ke tiga. " Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time-out."
Kapten kelahiran India itu terdiam pada saat-saat akhir. Sementara sang kopilot yang berwarga negara Indonesia memekik, " Allahu Akbar" .
Pesawat kemudian menabrak air, menewaskan 189 orang di dalamnya.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN