Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Dream - Dalam ajaran Islam, halalan thayyiban merupakan konsep yang harus terpenuhi dalam setiap makanan yang akan dikonsumsi. Halal sendiri bermakna benda, dalam hal ini makanan, yang tidak dilarang dalam ajaran Islam.
Sedangkan makna thayyib yaitu tidak mengandung keburukan juga tidak membahayakan tubuh jika dikonsumsi.
Sayangnya masih ada pandangan yang menyatakan konsumsi benda najis dibolehkan selama ada alasan yang kuat. Misalnya untuk pengobatan.
Dikutip dari NU Online, persoalan ini sebenarnya sudah muncul sejak lama. Banyak ulama yang juga telah membahasnya.
Salah satunya Imam Ibnu Syihab Az Zuhri. Pada suatu kesempatan, Imam Az Zuhri mendapat pertanyaan mengenai hukum minum air kencing dengan tujuan untuk pengobatan.
Ulama pelopor kodifikasi hadis Rasulullah ini memberikan jawaban air kencing tidak termasuk benda thayyibat, sehingga dinyatakan sebagai sesuatu yang buruk. Pun sudah menjadi pemahaman bersama di antara umat Islam, air kencing adalah benda najis.
Imam Asy Syarbini juga membahas mengenai keharaman mengonsumsi benda najis. Pandangan itu tertuang dalam kitabnya Mughnil Muhtaj.
Dalam kitab tersebut, Imam Asy Syarbini dalam Al Iqna' fi Halli Alfazhi Abi Syuja' menjelaskan keharaman suatu benda tidak karena pemuliaan atau kondisi menjijikkan, statusnya adalah najis. Contoh yang dikemukakan adalah bangkai.
Dalam kerangka ini, bangkai adalah benda yang tidak dimuliakan. Jika belum membusuk maka belum dianggap menjijikkan bagi sebagian orang.
Dalam sudut pandang fikih, bangkai tidak sekadar dipandang sebagai makhluk kehilangan nyawa. Pada kitab tersebut dijelaskan mengenai bangkai.
" Bangkai adalah makhluk yang hilang nyawanya tanpa cara penyembelihan yang syar'i."
Dalam hal ini, bangkai tidak dimaknai sebatas hewan yang mati bukan karena disembelih secara syar'i namun juga hewan yang dagingnya haram dimakan meski disembelih sesuai ajaran Islam. Keharaman bangkai terletak pada sifat najis yang melekat padanya.
Benda najis yang umum kita ketahui adalah babi, anjing, cairan memabukkan, tinja, air kencing, darah, nanah, juga muntahan. Benda-benda itu adalah najis sehingga haram dikonsumsi, kecuali dalam kondisi darurat dan mendesak.
Ada lagi kasus lain yaitu benda halal yang terkena najis. Terkait hal ini, terdapat hadis yang menjelaskan mengenai cara menggunakan benda halal yang terkena najis, yang diriwayatkan Imam Bukhari dengan derajat shahih.
Dalam hadis itu, Rasulullah Muhammad SAW ditanya mengenai bangkai tikus yang jatuh ke permukaan mentega padat. Para ulama mengartikan mentega itu dengan lemak.
Rasulullah menjawab, " Jika mentega itu padat, maka buanglah tikus itu dan buang juga mentega di sekitar daerah yang kejatuhan tikus itu. Jika mentega itu cair, maka jangan digunakan."
Dari hadis ini, bisa diketahui cara menggunakan benda halal terkena najis. Bangkai tikus adalah najis dan mentega yang terkena bangkai itu adalah mutanajjis (terkena najis).
Mentega itu tidak semuanya tidak bisa dikonsumsi. Cukup dengan membuang bangkai tikus dan mentega di sekitarnya, maka sisa mentega bisa dimakan.
Tetapi, jika mentega cair maka semuanya harus dibuang. Sebab, najis bisa larut pada benda halal bentuk cair.
Sumber: NU Online.
Dream - Gading gajah termasuk salah satu komoditas perdagangan. Banyak orang memanfaatkan barang ini untuk bahan pembuatan kerajinan tangan.
Ada yang memanfaatkannya sebagai pajangan dalam bentuk aslinya. Ada pula yang mengukirnya.
Tak hanya itu, gading gajah juga dimanfaatkan oleh sebagian orang menjadi barang kebutuhan sehari-hari. Contohnya, dibuat sisir rambut
Tetapi, bagaimana sebenarnya hukum pemanfaatan gading gajah?
Dikutip dari Bincang Syariah, para ulama sepakat menghukumi gading maupun tulang gajah adalah benda najis. Tidak pandang bagaimana cara matinya, baik disembelih maupun mati dengan sendirinya.
Hal ini seperti dikemukakan oleh Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu' Syarh Muhazzab.
" Pendapat kami yang masyhur adalah bahwa sesungguhnya tulang gajah adalah najis, baik diambil setelah disembelih atau setelah matinya."
Karena dinyatakan sebagai benda najis, maka pemanfaatannya menjadi makruh. Hukum ini berlaku jika gading gajah dijadikan alat atau wadah untuk benda yang sifatnya kering.
Tetapi hukumnya berubah jadi haram jika dimanfaatkan sebagai alat atau wadah untuk benda yang sifatnya basah. Karena sifatnya akan menajiskan benda tersebut.
Imam An Nawawi menjelaskan masalah ini dalam kitabnya Al Majmu'.
" Sesuatu yang diambil atau terbuat dari tulang gajah itu najis menurut kami, sebagaimana najisnya tulang-tulang yang lain. Tidak diperbolehkan menggunakannya dalam perkara yang basah. Lantas apabila digunakan pada perkara yang basah, maka dia akan menajiskannya.Ulama kami berkata, 'Dimakruhkan menggunakannya pada perkara yang kering karena bersentuhan dengan perkara yang najis, dan hal itu tidaklah haram. Karena benda yang kering tidak menjadi najis sebabnya. Dan ketika seseorang membuat sisir dari tulang gajah, dan digunakan untuk (menyisir rambut) kepala atau jenggotnya, maka apabila salah satunya basah maka rambut itu menjadi najis, dan jika tidak basah, maka tidak najis.’ Namun demikian itu (ketika dua-duanya kering) makruh, dan tidak haram. Pernyataan ini yang masyhur di kalangan ulama Syafi'iyah."
Sumber: Bincang Syariah
Advertisement
4 Komunitas Animasi di Indonesia, Berkarya Bareng Yuk!
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Tampil Cantik di Dream Day Ramadan Fest Bersama Beauty Class VIVA Cosmetics
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Selamatkan Kucing Uya Kuya Saat Aksi Penjarahan, Sherina Dipanggil Polisi
Rekam Jejak Profesional dan Birokrasi Purbaya Yudhi Sadewa, Menkeu Pengganti Sri Mulyani Indrawati