Puncak Selatan Gunung Everest. (Foto: MountainTrip.com)
Dream - Para pendaki kebanyakan memiliki satu impian dalam perjalanannya menekuhi hobi tersebut yaitu menaklukan Gunung Everest. Tidak seperti gunung berapi yang banyak bertebaran di Indonesia, Gunung Everest diselimuti salju abadi.
Everest merupakan gunung tertinggi di dunia dengan rabung puncak menjadi penanda perbatasan dua negara, Nepal dan Tibet.
Kondisi Gunung Everest yang diselimuti saja membuat banyak pendaki Indonesia yang tidak biasa dengan kondisi alam di bawah nol derajat Celcius akan sulit menaklukannya.
Jangankan orang Indonesia, pendaki dari negara dengan empat iklim sekali pun kesulitan menaklukan Gunung Everest.
Gunung Everest memang terkenal sebagai gunung paling tinggi di dunia. Puncaknya saja berada di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Ketika baru menginjakkan kaki di ketinggian sekitar 8.000 mdpl saja, tidak semua pendaki mampu bertahan hidup di sana.
Area di ketinggian 8.000 mdpl di Gunung Everest itu dikenal sebagai 'Zona Kematian'. Disebut demikian karena reputasinya yang mengerikan.
Di tahun 2019, sedikitnya ada 11 orang yang meninggal dunia di Everest, kebanyakan tidak bernyawa di area 'Zona Kematian'.
Dilansir dari Science Alert, berikut ini adalah beberapa tantangan yang harus dihadapi pendaki ketika menginjakkan kaki di Zona Kematian Gunung Everest.
Susah Bernapas karena Kandungan Oksigen yang Tipis
Secara normal, udara di permukaan laut mengandung 21% oksigen. Namun, begitu berada di ketinggian 3.657 mdpl atau lebih, jumlah oksigen turun 40%. Ini sangat memengaruhi tubuh para pendaki.
Jeremy Windsor, seorang dokter yang mendaki Everest pada tahun 2007, menyebut para pendaki harus bisa bertahan hidup hanya dengan seperempat oksigen yang mereka butuhkan di permukaan laut.
" Itu sebanding dengan pasien yang sedang sakaratul maut. Lima mil di atas permukaan laut, oksigen sangat tipis bahkan meski dibantu tangki udara tambahan. Rasanya seperti 'berlari di atas treadmill sambil bernapas melalui sedotan'," jelas Jeremy.
Zona Kematian sangat minim oksigen sehingga memengaruhi tubuh pendaki. Ketika jumlah oksigen dalam darah berada di bawah batas normal, maka jantung akan bekerja keras dengan degupan 140 per menit yang justru meningkatkan risiko serangan jantung.
Saat berada di Zona Kematian Gunung Everest, tubuh perlu beradaptasi dengan lingkungan yang keras dengan jumlah oksigen yang sangat minim. Pertama, produksi hemoglobin menjadi bertambah. Hal ini terjadi karena hemoglobin diperlukan untuk membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Sayangnya, terlalu banyak hemoglobin tidak baik. Produksi hemoglobin dalam jumlah banyak akan membuat darah mengental. Akibatnya paru-paru jadi sulit memompa darah ke seluruh tubuh.
Hal ini bisa mengarah pada peningkatan risiko stroke dan penumpukan cairan dalam paru-paru di ketinggian yang disebut high altitude pulmonary edema (HAPE).
Kondisi HAPE inilah yang sering dialami pendaki. Gejalanya meliputi kelelahan, perasaan mau mati saat malam hari, lemas, dan batuk terus-menerus disertai keluarnya cairan putih, encer, atau berbusa. Terkadang batuknya sangat parah sehingga tulang rusuk retak, bahkan patah. Pendaki dengan HAPE selalu sesak napas, bahkan saat istirahat.
Salah satu faktor risiko terbesar di ketinggian 8.000 mdpl adalah hipoksia atau kurangnya sirkulasi oksigen yang memadai ke organ seperti otak.
Jika tidak mendapatkan oksigen yang cukup, otak akan mulai membengkak. Hal ini akan menyebabkan kondisi yang disebut dengan high altitude cerebral edema (HACE).
Pembengkakan ini bisa memicu mual, muntah, serta kesulitan berpikir dan bernalar. Otak yang kekurangan oksigen dapat menyebabkan pendaki lupa di mana mereka berada dan mengalami halusinasi.
Pendaki yang mengalami HACE akan terlihat seperti orang gila, mulai berbicara sendiri, kehilangan arah hingga tanpa sadar melepas baju di kondisi ekstrem.
Banyak lagi kesulitan dan bahaya yang dihadapi pendaki saat berada di Zona Kematian Gunung Everest.
Para pendaki yang tidak berpengalaman bisa mengalami penurunan berat badan, kehilangan pandangan sementara, hingga muntah-muntah dan insomnia.
Silau dari salju dan es yang tak berujung dapat menyebabkan kehilangan penglihatan sementara atau pecahnya pembuluh darah di mata.
Mual dan muntah akibat penyakit ketinggian, termasuk HAPE dan HACE, akan menyebabkan penurunan nafsu makan.
Menurunnya kewaspadaan, entah karena kelelahan atau kekurangan oksigen, bisa membuat para pendaki lupa memasang kembali tali pengaman.
Mereka bisa tersesat atau keluar dari rute yang ditentukan. Tidak hanya itu, mereka bisa lupa mempersiapkan alat keselamatan dengan benar seperti tangki oksigen tambahan.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN