Kisah Pilu Pria Tanpa Sidik Jari, Hidup Jadi Serba Susah. (Foto: Pixabay)
Dream - Setiap manusia memiliki sidik jari di setiap ujung jari-jari tangannya. Uniknya, pola sidik jari setiap manusia ini berbeda.
Sidik jari ini sangat berguna dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari. Mulai kebutuhan untuk absensi saat bekerja hingga mengaktifkan ponsel cerdas.
Namun tahukah kamu jika ada juga sebagian orang yang ternyata tidak mempunyai sidik jari pada ujung jari-jarinya?
Seorang pria di Bangladesh bernama Apu Sarker adalah salah satu dari segelintir manusia yang tidak memiliki sidik jari.
Jika dilihat secara sepintas, tidak ada yang aneh pada kesepuluh jari Apu. Namun ketika dilihat lebih dekat, permukaan ujung jari-jari Apu tampak rata.
Pria 22 tahun tersebut tinggal bersama keluarganya di sebuah desa di utara distrik Rajshahi.
Apu yang bekerja sebagai asisten medis sampai saat ini tidak memiliki sidik jari karena faktor keturunan dari ayah dan kakeknya.
Begitu juga dengan saudara laki-laki Apu yang memiliki mutasi genetik yang sangat langka sehingga tidak memiliki sidik jari.
Zaman dulu tidak memiliki sidik jari mungkin bukan sebuah masalah yang besar bagi ayah dan kakek Apu yang bekerja sebagai petani.
Namun dalam dekade berikutnya, sidik jari menjadi bagian penting dari data biometrik. Sidik jari digunakan untuk berbagai hal, mulai dari membuat SIM dan KTP hingga mengaktifkan ponsel.
Pada tahun 2008, ketika Apu masih kecil, Bangladesh memperkenalkan KTP untuk semua orang dewasa. Saat itu databasenya hanya membutuhkan cap jempol.
Namun pemerintah bingung tidak tahu bagaimana cara menerbitkan KTP untuk ayah Apu, Amal Sarker. Akhirnya, dia menerima sebuah KTP dengan cap jempol bertuliskan 'NO FINGERPRINT' di atasnya.
Kemudian pada 2010, sidik jari menjadi syarat wajib untuk pembuatan paspor dan SIM. Setelah beberapa kali mencoba, Amal akhirnya bisa membuat paspor dengan menunjukkan surat keterangan medis.
Namun, Amal tidak pernah menggunakannya karena takut terjadi masalah saat di bandara. Anehnya, Amal malah kesulitan untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM).
" Ayah sudah bayar biaya dan lulus ujian. Tapi mereka tidak mengeluarkan SIM karena ayah tidak bisa membubuhkan sidik jari," kata Apu bercerita tentang ayahnya.
Meski sudah membawa surat keterangan dari kepolisian terkait kondisinya, namun itu tidak bisa membantu Amal ketika ada operasi lalu lintas. Amal tetap terkena denda hingga dua kali karena tidak bisa menunjukkan SIM.
Padahal Amal sudah menjelaskan kondisinya kepada polisi. Kedua polisi yang mencegatnya bahkan melihat ujung jari-jari Amal yang rata, tapi mereka tetap mengenakan denda kepadanya.
" Kejadian itu selalu menjadi pengalaman yang memalukan bagi ayah saya," kata Apu.
Pada 2016, pemerintah mewajibkan warga untuk mencocokkan sidik jari mereka dengan data di KTP setiap membeli kartu untuk ponsel mereka.
Sayangnya, Apu yang tidak memiliki sidik jari mengalami kesulitan untuk melakukan pencocokkan data tersebut.
" Mereka bingung ketika saya membeli kartu, aplikasi mereka tidak bisa mendeteksi setiap kali saya menempelkan jari di alat sensor," kata Apu sambil tersenyum masam.
Apu akhirnya batal membeli kartu untuk ponselnya, begitu juga dengan semua anggota keluarga laki-laki Apu. Mereka terpaksa menggunakan kartu yang dibeli atas nama ibu mereka.
Namun baru-baru ini, Amal dan Apu akhirnya mendapatkan jenis KTP baru yang diterbitkan oleh pemerintah Bangladesh, setelah menunjukkan surat keterangan medis. Kartu ini menggunakan data biometrik lain, yakni pemindaian retina dan pengenalan wajah.
Tetapi mereka tetap tidak bisa membuat SIM atau membeli kartu untuk ponsel mereka. Mereka juga harus bersabar saat mengurus paspor karena proses yang panjang dan berlarut-larut.
" Saya lelah menjelaskan situasi yang kami hadapi berulang kali. Saya meminta nasihat banyak orang, tetapi tidak satupun dari mereka dapat memberikan jawaban yang pasti," ujar Apu dengan mimik sedih.
Dalam dunia medis, kondisi langka yang menimpa keluarga Sarker ini disebut Adermatoglyphia. Kondisi ini pertama kali dikenal luas pada tahun 2007.
Saat itu, seorang dokter kulit dari Swiss bernama Peter Itin menangani pasien wanita berusia akhir dua puluhan yang mengalami kesulitan untuk masuk Amerika Serikat.
Wajah wanita itu cocok dengan foto di paspornya, tetapi petugas bea cukai tidak dapat merekam sidik jarinya. Karena dia memang dia tidak punya sidik jari.
Setelah melakukan pemeriksaan, Profesor Itin menemukan wanita itu dan delapan anggota keluarganya memiliki kondisi aneh yang sama - permukaan ujung jari mereka rata dan kelenjar keringatnya bermasalah.
Bekerja dengan dokter kulit lain, Eli Sprecher, dan mahasiswa pascasarjana Janna Nousbeck, Profesor Itin memeriksa DNA 16 anggota keluarga wanita tersebut.
Mengejutkan, Profesor Itin menemukan tujuh anggota keluarga wanita itu memiliki sidik jari, sementara sembilan lainnya tidak.
" Kasus ini sangat jarang terjadi, dan hanya menimpa beberapa keluarga yang sempat didokumentasikan," kata Profesor Itin.
Pada tahun 2011, tim ilmuwan menemukan satu gen bernama SMARCAD1 yang bermutasi pada sembilan anggota keluarga yang tidak memiliki sidik jari tersebut.
Awalnya gen tersebut masih sangat asing bagi dunia kedokteran. Namun yang pasti, mutasi tersebut tidak menyebabkan efek kesehatan yang buruk selain hilangnya sidik jari.
Setelah melakukan penelitian bertahun-tahun penyakit itu dinamai Adermatoglyphia. Tetapi Profesor Itin lebih suka menyebutnya sebagai 'penyakit penunda imigrasi'.
Sumber: BBC
Advertisement