Hijab di Gelanggang Dunia

Reporter : Ratih Wulan
Kamis, 23 Maret 2017 21:51
Hijab di Gelanggang Dunia
Hijab punya sejarah panjang di dunia olah raga.

Dream - Perempuan berhijab itu berdiri di garis belakang. Tangan tak bisa diam. Terus menimang bola. Sesekali nafas dihela, sangat dalam. Mata juga terus menyorot, tajam. Menembus jaring, mengintai pertahanan lawan.

Sejurus, kaki dihentak. Tangan kiri melambungkan si kulit bundar. Tinggi ke udara. Sambil melompat, tangan kanan memukul bola itu keras-keras. Melakukan servis. Saat kaki memijak pasir, dia langsung berlari ke depan. Bertahan di bawah net.

Baju yang menutup rapat tak jadi halangan. Perempuan jangkung itu tetap trengginas. Melompat tak kalah tinggi. Pukulan tak kalah keras. Bola-bola smes lawan kerap dia patahkan. Tak jarang berjibaku. Berguling, menjangkau bola, menjaga pertahanan. Lincah.

Dan perempuan berhijab itu terus membetot perhatian. Bukan saja karena aksi gesit. Kostum yang dipakai memang berbeda. Sangat tertutup. Legging hitam menjulur hingga bawah. Hanya memperlihatkan mata kaki.

Lihat pula bagian atas. Jersey kelir biru langit membungkus badan. Agak longgar. Lengan tiga perempat hitam menutup di kedua tangan. Disambung manset hingga ke pergelangan. Sementara, bagian kepala ditutup hijab gelap.

Pemandangan itu tak tampak di seberang jaring. Jika mata penonton digeser ke lapangan lawan, maka akan melihat dua wanita berbikini. Hanya menutup bagian dada dan bercelana mini. Selebihnya, bagian tubuh mereka terbuka.

Tapi memang begitu umumnya atlet voli pantai yang berlaga di Olimpiade Rio de Janeiro pada Agustus tahun lalu. Kecuali dua punggawa Timnas Voli Pantai Mesir ini, Nada Meawad dan Doaa Elghobashy. Sungguh kontras.

Meawad memang masih membuka kepala. Namun Elghobashy menutup rapat semua aurat. “ Semua orang memandang kami, sepertinya kami ini aneh,” tutur Meawad, setelah melawan Timnas Voli Pantai Jerman.

Mereka sadar jadi perhatian. Mahfum pula pandangan aneh dari sebagian orang. Namun, mereka tetap percaya diri tampil dengan busana tertutup saat berlaga. Meski siang itu mereka kalah dari duet Jerman.

“ Ini menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa hijab tidak menghalangimu bermain olah raga. Di Mesir ini biasa saja,” tambah Meawad.

Hijab di gelanggang memang selalu menarik perhatian. Maklum, sejumlah cabang olah raga melarang atlet mengenakan busana itu. Namun kini, perusahaan raksasa penyuplai perlengkapan olah raga, Nike, berencana meluncurkan busana hijab untuk atlet.

Produk bertajuk “ Hijab Pro” itu akan diluncurkan pada tahun 2018. Tentu, rencana perusahaan Amerika Serikat yang didirikan sejak 1964 itu menjadi sorotan dunia. Apalagi, Nike menjadi partner resmi induk sejumlah olah raga dunia.

Tak main-main, untuk membuat hijab berbahan polister ringan itu, Nike telah melakukan riset panjang. Kurang lebih 13 bulan mereka habiskan untuk uji coba. Hijab yang sepintas berbentuk seperti dalaman ninja ini dipastikan aman dan nyaman untuk atlet.

***
Nike bukanlah produsen pertama pembuat hijab untuk atlet. Jauh sebelum itu, sudah banyak pendahulunya. Beberapa merek ternama telah dilempar ke pasar. Tapi sayangnya, masih jauh dari ingar-bingar pemberitaan.

Cindy van den Bremen. Perempuan Belanda inilah yang disebut-sebut sebagai pionir hijab untuk atlet. Niat merancang “ hijab sport” muncul pada 1999. Kala itu, dia merasa prihatin setelah melihat seorang murid Muslimah dikeluarkan dari kelas senam hanya karena hijab.

Kasus itu bahkan sampai dibawa ke pengadilan. Dan hakim menyatakan bahwa gadis Muslim itu seharusnya memakai turtleneck dan topi renang. Cindy menaruh perhatian khusus.

Mahasiswi Akademi Desain di Eindhoven itu melihat bahwa masalah itu bukan terletak pada kebiasaan berhijab. Melainkan pada bentuk hijab yang dinilai kurang aman untuk olah raga.

“ Aku seorang desainer, dan aku bisa menjembatani kesenjangan ini,” ujar dia.

Cindy mulai membuat empat sketsa. Hijab itu dipresentasikan sebagai proyek tugas akhir. Hingga akhirnya, dia dinobatkan sebagai penemu hijab olah raga yang pertama.

Tingginya minat terhadap desain hijab itu membuat Cindy mendirikan Capsters dua tahun kemudian. Saat ini, perusahaan tersebut telah menjual delapan model hijab olah raga ke seluruh penjuru dunia secara online. Dia juga punya reseller di 15 negara berbeda.

Setelah Capster, muncul produk-produk hijab di berbagai negara. Sebut saja desainer asal Australia, Aheda Zanetti. Dia meluncurkan 'Hijood' pada 2004.

Lima tahun berselang, Latifa Ihsan Ali yang merupakan seorang desainer Muslim Amerika meluncurkan LiaWear Action. Setahun kemudian, label dari Malaysia, Raqtive, dilahirkan.

Tahun 2015, di negeri Paman Sam muncul Asiya Sport yang digawangi Faimah Hussein. Pada tahun sama, muncul Shukoon yang dipelopori desainer Arshiya Kherani.

Dan kini, raksasa bernama Nike itu menggeliat. Mereka telah mengenalkan “ Pro Hijab”. Busana hijab olah raga itu siap dilempar ke pasar tahun depan. Bisa jadi mereka akan mengambil alih pasar.

Juru bicara Nike, Megan Saalfeld, menyebut produk hijab mereka diciptakan sebagai respons terhadap kasus pelari berhijab Arab Saudi, Sarrag Attar. Pelari yang berlaga di lintasan 800 meter itu menjadi sorotan di Olimpiade 2012 karena tampil berhijab.

Mereka merealisasikan hijab olah raga setelah atlet angkat besi, Amna Al Haddad, berkunjung ke Nike Sport Research Lab. Nike merasa tersentuh setelah atlet Uni Emirat Arab itu mengaku hanya memiliki satu hijab saja yang benar-benar nyaman untuk berlatih dan berlomba.

Keluhan itu dijawab Nike dengan melakukan riset mendalam. Mereka kemudian menciptakan hijab instan yang praktis, terbuat dari bahan ringan, mudah menyerap keringat, dan elastis.

***
Tapi rencana Nike memantik pro kontra. Kampanye Nike Pro Hijab disorot banyak kalangan. Dunia gaduh. Bahkan sampai memunculkan gerakan boikot terhadap produk perusahaan asal Paman Sam ini.

Nike dinilai mendukung penindasan terhadap perempuan. Memang inilah stigma masyarakat Barat terhadap hijab. Informasi yang salah tentang hijab ini terus bergulir di kalangan mereka.

Selain itu, pemakaian hijab dalam sebuah kompetisi olah raga internasional memang belum sepenuhnya diterima. Induk organisasi basket dunia, FIBA, menjadi federasi paling keras melarang atlet berhijab. Mereka menganggap pakaian ini bisa mencedarai lawan.

Begitu juga dengan Asosiasi Tinju Internasional (AIBA). Mereka juga melarang hijab dengan alasan yang sama. Pengalaman pahit pernah dirasakan Putri Amaiya Zafar. Dia ditolak federasi tinju Amerika saat akan berlaga di kejuaraan Sugar Bert Tournament di Kissimmee, Florida.

Meski menuai polemik, banyak federasi olah raga dunia yang sudah mengubah peraturan dan memperbolehkan para atlet Muslimah tetap mengenakan hijab dengan alasan keimanan dan keyakinan yang dianut.

Tapi bukan berarti semua memojokkan Nike. Atlet Amna Al Haddad turut angkat bicara. Menurut dia, keputusan Nike mengeluarkan hijab olah raga ini justru menjadi momen perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Yaitu menutup aurat selama berolah raga.

Lewat hijab ini pula, perempuan bisa mendapatkan kesetaraan dalam berkompetisi di arena. Serta membangun citra dan budaya baru bahwa pakaian bukanlah penghalang untuk berprestasi.

Amna optimis hjab menjadi pelecut semangat para atlet muda untuk terjun ke berbagai olahraga profesional lainnya. Setidaknya, berkaca dari Olimpiade Rio de Janeiro, ada empat atlet berhijab yang menorehkan prestasi.

Sebut saja atlet anggar asal Amerika, Ibtihaj Muhammad. Atau Kariman Abuljadayel yang mewakili Arab Saudi di cabang lari jarak pendek. Selain itu ada pula Elghobashy tadi.

Selain itu ada pula Sarah Attar, pelari Saudi. Mereka para Muslimah berhijab yang menoreh prestasi di gelanggang.

Ya, alangkah baiknya prestasi tidak mengorbankan keimanan. Dengan diterimanya hijab, semoga muncul atlet-atlet berhijab yang punya prestasi gilang-gemilang di gelanggang dunia. 

Beri Komentar