Kabar Prihatin! 123 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sekolah Selama 2019

Reporter : Muhammad Ilman Nafi'an
Kamis, 2 Januari 2020 16:00
Kabar Prihatin! 123 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sekolah Selama 2019
Korban kekerasan seksual paling banyak terjadi di SD

Dream - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti melaporkan aksi kekerasan seksual di institusi pendidikan selama 2019 mencapai 21 kasus dengan melibatkan 123 anak sebagai korban.

Sebagian besar korban perserta didik tersebut adalah siswa perempuan.

" 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dikutip dari Merdeka.com, Selasa 31 Desember 2019.

Retno mengatakan, anak laki-laki dan perempuan tidak menutup kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah.

Catatan tersebut tentu menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Tanah Air. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling aman ke dua setelah rumah masih bisa menjadi sasaran tindak kekerasan seksual.

 

1 dari 5 halaman

Korban Kekerasan Paling Banyak di SD

Menurut Retno, 21 kasus kekerasan seksual pada anak paling banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) yakni 13 kasus, SMP 5 kasus dan SMA 3 kasus.

Retno menjelaskan, tingginya angka kekerasan seksual di SD dikarenakan karena anak-anak masih mudah dibujuk dengan suatu yang disukainya. Selain itu, anak-anak SD juga masih mudah ditakut-takuti dengan ancaman.

" Di sinilah pentingnya dilakukan pendidikan seks sejak dini," ucap dia.

2 dari 5 halaman

Guru Paling Banyak Jadi Pelaku

Dalam kasus ini, guru menjadi pelaku kekerasan seksual anak di institusi pendidikan. Dari 21 kasus itu, mayoritas pelakunya adalah guru laki-laki.

Oknum guru yang menjadi pelaku itu mengajar sebagai guru olahraga sebanyak 29 persen, guru agama 14 persen, guru kesenian 5 persen, guru komputer 5 persen, guru IPS 5 persen, guru BK 5 persen, guru Bahasa Inggris 5 persen dan wali kelas sebanyak 23 persen.

 

3 dari 5 halaman

Modus yang Dilakukan

Modus para guru yang menjadi pelaku itu biasanya mengancam akan memberikan nilai jelek, tidak akan naik kelas, membelikan handphone, membelikan pulsa, pakaian baru, membelikan pusa, memacari anak didiknya dan bernjanji akan menikahinya.

Selain itu, banyak kasus kekerasan seksual terjadi ketika korbannya tengah mengganti pakaian di waktu jam olahraga, saat berada di ruang unit kesehatan sekolah (UKS) atau di ruang bimbingan konseling (BK). Tak jarang, guru BK meminta siswanya untuk masturbasi dengan dalih bimbingan konseling.

" Para pelaku juga menjalankan aksi bejatnya mayoritas di ruang kelas, ruang kepala sekolah, kebun belakang sekolah, ruang laboratorium komputer, gudang sekolah dan perpustakaan," kata dia.

Dari hasil penyelidikan KPAI, mayoritas kasus terjadi di lingkungan sekolah yang belum memiliki CCTV.

(Sumber: Merdeka.com/ Wisnoe Moerti)

4 dari 5 halaman

'RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Jangan Buru-buru Disahkan'

Dream - Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU) tidak segera disahkan.

" Masih banyak peraturan perundang-undangan yang sekarang beririsan dengan apa yang menjadi bagian Undang-undang PKS itu," ujar Taher di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Rabu, 18 September 2019.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu berujar, aturan yang beririsan ada yang sama dalam Undangan-undang perlindungan perempuan dan anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Human Trafficking.

Dia mengatakan, pengesahan suatu Undang-undang harus berdasarkan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Maka dari itu, RUU PKS ini diharapkan tidak buru-buru disahkan.

" Kalau UU ini dipaksakan dari sisi mana, aspek filosofis, sosiologis dan yuridisnya," ucap dia.

 

5 dari 5 halaman

KUHP Berubah

Lebih lanjut, Taher menambakan, RUU PKS ini merupakan lex spesialis atau aturan khusus. Artinya, harus merujuk pada lex generalis yang merupakan aturan hukum, sementara lex generalis yakni Undang-undang KUHP saat ini sedang direvisi dan masih berbentuk rancangan.

" Pasal-pasal yang ada dalam PKS itu harus merujuk pada KUHP. Sementara pasal-pasal yang ada di KUHP itu sudah berubah," kata dia.

" Itu kami mendapat jaminan ketika beberapa waktu lalu Komisi VIII bersilaturahmi dengan Komisi III, untuk memastikan pasal-pasal itu berubah atau tidak, ternyata mereka mengatakan ada berubah," ujar dia.

Senada dengan Taher, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidhuddin juga berharap tidak segera disahkan. " Mau nya kita sih begitu, ditunda. Kalau RUU PKS kan jelas tidak bisa diteruskan (di periode) ini, karena bahannya belum siap," kata Didin. (Ism)

Beri Komentar