Dream - " Silakan Bapak pulang ke kampung dan cari potensi alam yang ada, jika sudah ditemukan silakan kembali lagi ke Al Azhar," ujar Ahmad. Muka petugas yayasan itu memberangut.
Suara itu menusuk Gingin. Hati pemuda ini jadi kecut. Muka bermuram durja. Derma yang diharap tak diterima. Pengurus kantor amal di Kebayoran Baru itu hanya memberi selembar uang berkelir hijau. Rp 20 ribu.
Nelangsa. Pengasong bertangan satu itu hanya diam. Kepala berkecamuk. Penuh pikiran. Dua kali sudah dia ke sini. Bahkan kali itu bersama anak bini. Tapi hasilnya tetap sama. Tak ada bantuan.
Gingin balik kanan. Selembar uang hijau terkepal di tangan kiri. Dia melangkah. Hati tetap gundah. Tak ada uang, padahal kebutuhan terus mencekik. Di sepanjang jalan dia membatin, " Besok makan apa?"
Pemuda itu terus berjalan. Terminal menjadi tujuan. Seorang wanita mengintil di belakang, berselempang kain, berbeban bocah mungil. Sore itu, Gingin dan keluarga pulang ke kampung halaman, di Gardu Tanjak, Pandeglang, Banten.
Di sepanjang jalan, kalimat Ahmad terus terngiang. Meski raga masih di bus, angan Gingin telah lebih dulu sampai ke tujuan. Di alam pikir itu, dia terus meraba: apa gerangan yang bisa diolah di kampung halaman.
Di dusun itu, otak Gingin terus berputar. Hati terus terbakar, ingin segera menjawab tantangan Ahmad. Dan ketemulah jalan itu. Dia ubah pola pikir. Tak lagi meminta-minta.
Gingin bertekad membuka usaha. Menjual madu, seperti yang dilakukan banyak orang di kampungnya. Sejak itu, dia keluar-masuk hutan. Mencari lebah madu klanceng.
" Karena hanya ada satu tangan, saya membutuhkan pendamping," kata Gingin kepada Dream, Selasa kemarin.
Fisik Gingin memang tak sempurna lagi. Kecelakaan beberapa tahun sebelumnya membuat tangannya diamputasi. Sedangkan, kaki kanan sudah tak lagi nyaman untuk ditumpu.
Meski begitu, semangatnya tetap membara. Tak mau lagi hidup terlunta di Ibukota. Dia tekuni usaha madu ini. Hingga dua tahun berselang, hasil sudah mulai kelihatan. Pada 2010, dia bahkan mendaftarkan produk madu klanceng hingga berbadan hukum.
Kini, dia sudah mampu mempekerjakan beberapa orang. Tak lagi keluar masuk hutan, menyibak semak, dan naik turun jurang. Semua sudah dikerjakan oleh para pekerja. Gingin tinggal memasarkan madu klanceng hasil ternak itu.
Mulanya memang agak susah. “ Sebagai pengusaha pertama, awal saya jual madu Rp 20 ribu sebotol saja susah. Warga lebih tertarik beli di minimarket supaya terlihat keren,” imbuh Gingin sambil menghela nafas panjang.
Tapi Gingin tak putus asa. Itulah tantangan usaha. Akhirnya dia bermitra. Memiliki dua plasma yang berlokasi di Rangkas Bitung dan Pandeglang. Dan usaha itu terus berkembang.
" Kalau untuk omzet sekarang yang waralaba sudah di atas Rp 10 juta bersih. Tapi kalau yang di bawah pembinaan saya malah ada yang penghasilannya sudah Rp. 20 juta," ujar Gingin.
Dari usaha itu, Gingin bisa membeli dua rumah besar. Dan juga mobil. Kini, Gingin yang dulu terlunta di Jakarta itu sudah makmur. Menikmati jerih payahnya.
" Pak Ahmad itu guru spritual saya. Satu kalimatnya yang akan terus saya ingat karena membuat saya sadar. Jakarta itu bukan tempatmu. Silakan pulang, silakan gali potensi," kata pria bernama lengkap Gingin Ginanjar ini.
***
Sukses itu tak membuat Gingin tertutup. Apalagi dia besar berkat arahan yayasan Al Azhar Peduli Ummat. Dia ingin warga sekitar juga berhasil. Makmur seperti dirinya.
Gingin sadar betul. Sebelum sukses, dia hanyalah orang kecil. Hidup menggelandang di Jakarta bersama keluarga. “ Saya jualan kopi di pinggiran halte di daerah Sawah Besar.”
" Anak baru dua bulan dan kalau tidur nemu kardus saja sudah beruntung banget. Tidak mampu kontrak kamar, banyak penertiban beberapa kali dan saya malah kena garuk," Gingin mengenang masa lalunya.
Latar itulah yang membuatnya bertekad maju bersama masyarakat. Ilmu yang dia punya ditularkan. Tak hanya itu, Gingin hibahkan rumahnya satu, untuk masyarakat menimba ilmu.
Di rumah yang diwakafkan itu pula, Gingin mendirikan Saung Pintar ini. Perkumpulan untuk kaum cacat. Orang-orang senasib dengannya. Di sana, dia menjadi motivator.
" Saya ingin mengejar mimpi, semoga sebelum usia 40 tahun, apa yang pernah saya raih dapat bermanfaat untuk orang lain," ucap pria 32 tahun ini.
Melalui saung itu, dia bertekad mengentaskan kemiskinan. Mengurangi pengangguran yang akut di kampungnya. Bisnis itu kini tak hanya mengejar untung. Namun juga mengemban misi sosial.
" Saya ingin berkontribusi dalam membangun Pandeglang, saya mengader peternak-peternak di dua kabupaten," kata Gingin bersemangat. [Baca selengkapnya: Peminta Sedekah Sukses Berkat Lebah]
***
Orang macam Gingin ini tak hanya satu. Meski tak banyak. Dengan segala keterbatasan, mereka mampu berbuat untuk mengubah masyarakat. Menjadi lebih baik, tentunya.
Mari kita jumpai Cahyadi. Pria asal Jampang, Bogor, ini dulu bukan siapa-siapa. Dia hanyalah tamatan sekolah dasar. Lulusan yang sudah mulai langka di zaman yang semakin modern ini.
Tapi lihatlah apa yang diperbuat pria 43 tahun itu. Dia berjasa besar membebaskan masyarakat di lingkungannya dari belenggu riba. Jerat para pemburu rente.
Semula, Cahyadi merasa prihatin. Tetangga kanan kiri yang hidup pas-pasan itu harus melunasi utang beserta anakanannya. Jangankan untuk membayar bunga, makan saja mereka ibaratnya sudah Senin-Kamis.
Di akhir warsa 2013, dia lantas mendirikan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Pelita Jampang Gemilang. Demikian organisasi itu punya nama. Kumpulan ini diundangkan Cahyadi setelah perayaan Maulud, peringatan kelahiran Nabi, awal Januari 2014.
Dalam woro-woro itu Cahyadi berujar, warga tak perlu lagi mengutang pada renternir. Pelita Jampang Gemilang siap memberi bantuan. Sudah tentu tanpa riba. Utang-piutang sesuai syariat Islam.
“ Pinjaman ini tidak ada bunganya. Saya tidak mencari uang,” ucap Cahyadi.
Menurut Cahyadi, praktik riba sudah menjadi kerak di kampungnya. Dijalankan sejak masa kakek-neneknya. Profesi warga yang kebanyakan pedagang bermodal pas-pasan menjadi sasaran empuk para renternir.
“ Kalau pinjaman Rp1 juta itu terimanya paling Rp950 ribu karena dipotong dengan alasan tabungan dan administrasi. Mereka yang harus melunasi biasanya diminta membayar hingga dua kali lipatnya,” ucap dia.
Itulah yang membuatnya prihatin. Melalui KSM itu dia berjuang. Mengusir para penikmat bunga uang dari kampung. Meski tak mudah dan mendapat berbagai gangguan dari mereka.
Tapi dari perjuangan itu, yang paling susah adalah mengubah pola pikir masyarakat yang masih terbuai sistim riba. Sehingga, dia menerapkan aturan, siapa saja yang ingin bergabung dengan KSM Jampang, harus bebas dari rente.
Ide syariah itu perlahan dia sisipkan di benak warga. Dari pengajian hingga kumpul-kumpul biasa. Karena memang, untuk menjadi peserta KSM dan menikmati pinjaman tanpa bunga, salah satu syaratnya menjadi anggota pengajian.
Dan belum genap setahun, rupanya perjuangan Cahyadi sudah terlihat hasilnya. Warga berbondong bergabung KSM Jampang yang disokong yayasan Al Azhar. Kini, warga Jampang sudah tak lagi bergantung pada pencari bunga uang. [Baca selengkapnya: Cahyadi, Pembasmi Riba Si Kaum Papa]
Jika sudah ke Jampang, mari kita bertemu Ustaz Herman di Wonogiri, Jawa Tengah. Dai ini mendirikan Tabungan Gemah Ripah. Bukan uang yang disimpan, melainkan sayuran dari warga.
Tabungan itu bermula dari program Dapur Warga. Masyarakat menanam sayur di pekarangan untuk keperluan keluarga. Tapi hasilnya di luar dugaan, melimpah. Warga bingung mau diapakan sayur-sayur yang tak bertahan lama itu.
Di sanalah Herman bergerak. Berinisiatif menyalurkan sayur-sayur itu ke pedagang, akses yang tak dimiliki oleh warga. Saban Magrib atau Isya, dia menerima sayur mayur dari warga, untuk dijual lagi ke pedagang pasar.
Sayur-mayur itu dicatat berat dan harganya. Uang hasil hasil penjualan itu menjadi tabungan warga. Dan simpanan ini bisa diambil kapan saja. Dan hingga kini, tabungan itu terus berjalan, bahkan tabungan warga sudah ada yang mencapai jutaan rupiah. [Baca selengkapnya: Menabung Sayur, Berbunga Uang]
Gingin, Cahyadi, dan Herman, memang hanyalah orang-orang kecil, namun mampu membuat perubahan besar. Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua...
Advertisement
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`