Ilustrasi (Shutterstock.com)
Dream - Gempa besar yang mengguncang Palu, Sulawesi Tengah, pada 2018 lalu menjadi pelajaran berharga, khususnya dalam upaya antisipasi bencana alam.
Pemerintah melakukan mitigasi sebagai bentuk pencegahan dari potensi bencana susulan di masa depan.
" Gempa dan tsunami adalah peristiwa alam, kalau seandainya tidak ada korban jiwa dan tidak ada kerugian harta benda kita akan menyebutnya adalah kejadian alam, akan menjadi bencana ketika terjadi korban jiwa dan kerugian harta benda" jelas Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Doni Monardo konferensi pers virtual Rabu, 31 Maret 2021.
Doni menyatakan peristiwa serupa akan terjadi kembali sebagai bentuk keseimbangan alam. Tidak hanya di Sulawesi namun juga kawasan rawan bencana alam lainnya, khususnya tsunami di Palu yang memiliki waktu tempuh yang singkat.
Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Abdul Muhari, mengatakan tsunami di Palu memiliki perbedaan karakter dengan kejadian alam serupa di tempat lain. Rata-rata, jeda antara gempa dengan tsunami terpaut 25-35 menit.
" Kalau di Palu kita cuma punya waktu 2-5 menit, ini sangat berbeda responsnya" kata Muhari.
Muhari menambahkan jatuhan pada pinggir pantai membangkitkan dan mempercepat pergerakan tsunami tersebut. Selain itu peristiwa gempa dan tsunami di wilayah Palu ini diketahui terjadi hampir setiap 30 tahun sekali sehingga penting melakukan antisipasi dan perubahan.
" Kalau kita lupa menyampaikan ini pada generasi berikutnya, maka cerita ini akan hilang dan kembali lagi pada 30 tahun yang akan datang kita akan mengalami lagi, ada yang meninggal, kerugian dan lain-lain," terang Muhari.
Untuk itu, dia menegaskan agar masyarakat dan pemerintah mau melakukan perubahan dengan mengambil pelajaran di masa lalu untuk menata masa depan yang baik. Mulai dari menerapkan zona merah (zona rawan bencana) yang tidak boleh ditempati dan mengalokasikan sebagai ruang terbuka hijau dengan menerapkan vegetasi yang baik di sekitar pantai.
Muhari menyoroti fakta hunian pasca-bencana yang sifatnya sementara ditempati kembali menjadi permanen. Dia mengingatkan agar hunian tersebut tidak dihuni lagi untuk mengantisipasi dampak bencana di kemudian hari.
" Ini kemudian pada saat relokasinya, mungkin kita harus pertimbangkan bahwa zona yang sudah rusak kena tsunami ini, jangan dihuni kembali, ada baiknya ini kita tanami dengan vegetasi," ucap Muhari.
Reporter: Yuni Puspita Dewi
Dream - Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 dan tsunami yang menerjang Palu, Sulawesi Tenggara membuat ilmuwan dari UCLA tercengang. Hasil studi menemukan getaran gempa menjalar dengan kecepatan yang mengerikan.
NASA's Jet Propulsion Laboratory di Pasadena, California, Amerika Serikat, tempat ilmuwan UCLA melakukan penelitiannya menyatakan gempa Palu menunjukan peristiwa supershear yang sangat langka.
Dalam studinya, para peneliti di UCLA dan institusi lain menganalisa pengamatan resolusi tinggi spasial dari gelombang seismik yang disebabkan gempa dahsyat menggunakan radar satelit dan gambar optik.
Para ilmuwan menganalisis data radar bukaan sintetis dari satelit ALOS-2 dari Japan Aerospace Exploration Agency, data gambar optik dari satelit Copernicus Sentinel-2A dan -2B, yang dioperasikan European Space Agency, dan gambar optik dari konstelasi satelit Planet Labs Planet, dikelola oleh Planet Labs di San Francisco.
Serangkaian data tersebut dipakai untuk mengukur kecepatan, waktu, dan tingkat magnitudo gempa 7,5 yang mengguncang Palu pada 2018 lalu.
Hasilnya mengejutkan. Patahan gempa dalam bumi bergerak dengan kecepatan stabil 9.171 mile per jam atau 14.760 kilometer per jam (Km/jam) dengan gempa utama berlangsung selama hampir satu menit.
Dibandingkan gempa bumi lainnya, kecepatan patahan ini cukup mengerikan. Rata-rata patahan akibat gempa bergerak dengan kecepatan berkisar 9000-10.800 Km/jam.
Saat menganalisasi gambar satelit, tim juga menemukan kedua sisi sesar sepanjang 150 kilometer tergelincir sampai 5 meter. Ilmuwan menilai luas areal yang bergeser itu sangat besar.
" Memahami bagaimana patahan dalam gempa bumi besar akan membantu meningkatkan model bahaya seismik dan membantu insinyur gempa merancang bangunan dan infrastruktur lainnya untuk lebih tahan terhadap kemungkinan goncangan gempa di masa depan," kata Eric Fielding dari JPL, salah satu penulis dari studi terbaru yang diterbitkan Nature Geoscience dikutip Dream dari jpl.nasa.gov.
Sesar yang patah menimbulkan berbagai jenis gelombang di permukaan salah satunya gelombang geser yang menyebar dengan kecepatan 12.700 km/jam.
Dalam gempa supershear, patahan yang bergerak sangat cepat menyalip gelombang geser yang lebih lambat yang merambat di depannya sehingga menciptakan gelombang yang lebih besar dan lebih kuat.
" Guncangan hebat (yang dihasilkan) mirip dengan ledakan sonik yang terkait dengan jet supersonik," kata Lingsen Meng, seorang profesor di UCLA, salah satu penulis laporan tersebut.
Para ilmuwa sepakat jika kecepatan dari patahan akibat gempa Palu sangat mengejutkan. Pada studi gempa supershear sebelumnya, fenomena ini biasanya terjadi pada sesar yang sangat lurus, yang memicu beberapa hambatan untuk gerakan gempa tersebut.
Namun, citra satelit dari patahan Palu menunjkan setidaknya ada dua lengkungan besar. Patahan ini bergerak dengan kecepatan stabil di sekitar lengkungan tersebut.
(Sah, Sumber: jpl.nasa.gov)