Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kisah Tragis Para Tahanan di Kamp Xinjiang, Diborgol hingga Dirudapaksa Massal

Kisah Tragis Para Tahanan di Kamp Xinjiang, Diborgol hingga Dirudapaksa Massal Kamp Tahanan Xinjiang (Foto: Merdeka.com)

Dream - Pada hari pertama menjalani tugas mengajar barunya di pusat penahanan pemerintah di Xinjiang, Qelbinur Sidik mengaku melihat dua tentara membawa seorang perempuan muda Uighur keluar bangunan dengan tandu.

“Tak ada cahaya kehidupan dalam wajahnya. Pipinya pucat, dia tak bernapas,” ujar Sidik, dikutip dari merdeka.com, Senin 22 Februari 2021.

Seorang polwan yang bekerja di kamp itu kemudian mengatakan kepadanya perempuan itu meninggal karena pendarahan hebat, namun polwan itu tak mengatakan penyebabnya.

Menurut Sidik, polwan itu mengaku ditugaskan untuk menyelidiki laporan pemerkosaan di tempat itu oleh atasannya. Namun, Sidik mengatakan apa yang didengar dan dilihatnya sendiri di tempat itu, begitu meresahkan hingga membuatnya sakit.

Tuduhan Sidik ini mirip dengan pengakuan para mantan tahanan yang telah mengungkap pemerkosaan dan pelecehan seksual sistematis di dalam kamp penahanan.

Sebelumnya, pemerintah AS pernah menuduh China melakukan genosida terhadap Uighur dan minioritas Muslim China lainnya dengan melakukan penahanan massal, penyiksaan, pengendalian kelahiran paksa, dan aborsi.

Dalam pernyatannya, pemerintah China membantah dugaan-dugaan tersebut dan menyampaikan, "tidak ada yang namanya 'pelecehan seksual sistmeasti dan penyiksaan terhadap perempuan' di Xinjiang."

Menurut pengakuan Sidik, polwan yang ditemuinya saat itu juga menjelaskan bagaimana rekan prianya biasa bercerita tentang hal-hal mengerikan itu.

"Ketika (penjaga pria) sedang minum-minum di malam hari, polisi akan saling menceritakan bagaimana mereka memperkosa dan menyiksa gadis-gadis," kata Sidik.

Keadaan Dalam Kamp

Sidik tumbuh di Xinjiang dan mengajar anak-anak SD berusias 13 tahun selama 28 tahun. Pada September 2016, ia dipanggil untuk menghadiri pertemuan dengan Biro Pendidikan Distrik Saybagh dan diminta mengajar untuk para buta huruf.

Kemudian pada Maret 2018, ia bertemu murid-murid baru sekitar 100 laki-laki dan beberapa perempuan.

"Mereka masuk dengan kaki dan tangan diborgol," ujarnya.

Pada pelajaran pertama Sidik mengisahkan, ia mendengar para tahanan yang duduk dibelakangnya menangis.

"Saya menoleh sedikit, saya melihat air mata mereka jatuh di janggut mereka. Sedangkan para tahanan perempuan menangis dengan sangat keras," kisahnya.

Para tahanan yang masih muda, bugar, kuat dan bermata cerah, ketika masuk ke pusat-pusat penahanan menjadi cepat sakit serta lemah.

Dari ruang kelasnya yang berada di basement salah satu kamp, Sidik mengaku sering mendengar suara teriakan. Ketika ia bertanya soal itu, seorang polisi laki-laki dengan lantangnya mengatakan bahwa para tahanan sedang disiksa.

"Selama saya mengajar di sana, saya menyaksikan tragedi yang mengerikan," kata Sidik.

Pengakuan Pemerintah China

Dikutip dari CNN, menurut pengakuan mantan tahanan Xinjiang, mereka sering ditargetkan untuk penyiksaan, indoktrinasi politik, dan warga Uighur yang sekarang tinggal di luar negeri mengatakan keluarganya banyak yang menghilang dari tahanan. Dokumen yang didapatkan CNN menunjukkan, para etnis Uighur bisa dikirim ke kamp hanya karena mereka berjanggut dan memakai jilbab.

Menurut pengakuan pemerintah China, kamp merupakan pusat pelatihan vokasi untuk mencegah ekstrimisme Islamis dan menciptakan lapangan pekerjaan.

“Tidak ada penangkapan ribuan Muslim Uyghur,” kata Xu Guixiang, juru bicara departemen publisitas Partai Komunis di Xinjiang, pada konferensi pers pemerintah pada 1 Februari.

"Apa yang telah kami tindak lanjuti, menurut undang-undang, merupakan beberapa pemimpin dan dalang kelompok ekstrimis yang keji serta keras kepala. Sedangkan yang saat ini kami selamatkan adalah mereka yang telah terpapar ekstrimisme agama dan melakukan kejahatan kecil."

 

Pengakuan Para Tahanan

Tusunay Ziyawudun mengaku tak melakukan kejahatan apapun. Dia pertama kali ditahan pada April 2017, setelah pulang dari Xinyuan County, Xinjiang, untuk mengambil dokumen resmi. Sebelumnya, ia dan sang suami telah tinggal selama lima tahun di Kazakhstan.

Suaminya, Halmirza Halik, seorang etnis Kazakh. Sang suami tak ditahan dan langsung mencari Ziyawudun ke Sekolah Vokasi Xinyuan.

"Kami hanya berbicara melalui gerbang besi sekolah," kata Halik.

"Dia menangis setelah melihat saya. Saya katakan kepadanya jangan takut, kamu tidak melanggar hukum dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan."

Sebulan berlalu, Ziyawudun akhirnya dibebaskan dari tahnan. Namun pada Maret 2018, ia dipanggil kembali dan dia mengklaim hal itu merupakan awal mula mimpi buruknya selama sembilan bulan penahanan.

Kepada CNN, Ziyawudun mengatakan dia dibawa ke sel yang berisi sekitar 20 perempuan. Para tahanan hanya diberi sedikit makanan dan air, serta hanya diizinkan menggunakan toilet sehari sekali dalam waktu tiga hingga lima menit. Lebih dari ketentuan, mereka akan disetrum menggunakan tongkat listrik.

Selama masa penahananya, Ziyawudun mengatakan para penjaga menginterogasinya tentang saat dirinya tinggal di Kazakhstan. Ia ditanya apakah memiliki hubungan dengan kelompok kaum Uighur.

Dalam salah satu interogasi, polisi bahkan menendang dan memukulnya sampai pingsan. Di lain waktu, disaat tubuhnya dipenuhi memar, Ziyawudun dibawa dua penjaga perempuan ke ruangan lain, setelahnya ia dibaringkan di atas meja.

"Mereka memasukkan tongkat kejut, memelitirnya, dan menyetrum saya. Saya langsung pingsan," ungkapnya.

Sepuluh hari setelah kejadian itu, sekolompok penjaga pria membawanya keluar dari sel.

"Di kamar sebelah saya mendengar seorang gadis sedang menangis dan menjerit, saya melihat ada sekitar lima atau enam pria masuk ke kamar itu. Awalnya saya pikir mereka akan menyiksanya, tapi ternyata saya diperkosa secara massal oleh para penjaga. Setelahnya, saya sadar apa yang mereka lakukan pada gadis itu," cerita Ziyawudun sambil menangis.

Sambil menangis, Ziyawudun mengaku kejadian mengerikan itu terjadi beberapa kali di kamp tahanan..

"Mereka sangat sadis. Mereka menyebabkan sakit disekujur tubuh dan menghancurkan tubuh saya dengan memukul serta membentukan kepala saya ke diding. Itu cara mereka menghukum kami," ungkapnya.

Pada 26 September 2019 malam, setelah mendapat peringatan dari pihak berwenang China agar tidak menceritkan penglamannya selama di tahanan, Ziyawudun akhirnya bisa kembali ke Kazakhstan.

Sepulangnya Ziyawudun, kondisi kesehatannya memburuk dan mengalami pendarahan di vagina.

Pada awal 2020, Ziyawudun kemudian diterbangkan ke AS untuk menjalani perawatan medis. Tak lama setelahnya, dokter harus mengakat rahimnya. Menurut catatan medis yang diterima CNN, ia didiagnosis menderita abses panggul, pendarahan vagina, serta tuberkulosis.

Ziyawudun menyalahkan komplikasi medisnya pada perlakuan yang diterimanya saat di kamp Xinjiang.

"(Setelah dia keluar) dia tidak memberi tahu saya tentang penglamannya di kamp," kata Halik.

"Terkadang ia menangis di malam hari, saya merasakan amarah memuncak. Saya tahu hal buruk pernah dialami dirinya, dan ini sangat tidak baik. Namun saya tidak pernah berani bertanya.

Ziyawudun mengatakan kepada CNN, dia harus melakukan pemasangan IUD secara paksa, bukan sterilisai. Ia mengatakan, dirinya tak punya alasan untuk mengarang cerita.

"Saya seorang perempuan berusia empat puluh tahun. Apakah cerita ini sesuatu yang dapat saya banggakan untuk dibagikan kepada dunia?," katanya.

Ziyawudun pun secara terang-terangan menentang mereka dan mengaku tidak takut.

"Saya tidak lagi takut pada mereka. Mereka telah membunuh jiwa saya."

 

Pengakuan pemerkosaan dan penyiksaan Ziyawudun ini pertama kali dilaporkan BBC. CNN secara independen tak bisa memverifikasi pengakuan Ziyawudun, namun pengakuan tersebut mirip dengan pengakuan Gulbakhar Jalilova, seorang etnis Uighur asal Kazakhstan.

Kepada CNN pada Juli 2020, Jalilova dipenjara dalam ruangan yang berisi sekitar 20 perempuan lain setelah dia ditangkap pada Mei 2017.

Jalilova mengatakan, ia pernah melawan salah satu penjaga yang melecehkannya.

"Saya katakan pada penjaga itu, 'Apa kamu tidak malu? Apa kamu tidak punya ibu, saudara perempuan? Bagaimana kamu bisa melakukan ini terhadap saya?'. Dia lalu memukul saya dengan alat setrum dan mengatakan, 'Kamu tidak seperti seorang manusia'," ceritanya.

Penyangkalan Pemerintah China

Dalam sebuah pernyataan kepada CNN, Kementerian Luar Negeri China tidak menanggapi pengakuan ketiga perempuan tersebut secara langsung melainkan mengeluarkan bantahan.

"Kami berharap media dapat membedakan yang benar dan yang salah, tidak tertipu, dan disesatkan oleh berita palsu serta laporan bias," jelasnya.

Menurut pengakuannya, pusat pelatihan mereka melindungi hak-hak dasar para peserta pelatihan termasuk perempuan dari pelecehan. Bahkan ia menegaskan, terdapat peraturan dilarang keras untuk menghina serta menyiksa para peserta pelatihan dengan cara apapun.

Hingga kini, Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang Uighur belum menanggapi soal isu tersebut.

Pada konferensi pers 3 Februari lalu, pejabat China membawa beberapa perempuan etnis minoritas yang disebut lulus dari pelatihan dan mereka menceritkan bagaimana kamp tersebut menyingkiran pemikiran ekstrem.

Mereka juga menyebut laporan pemerkosaan massal dan KB paksa merupakan bualan semata.

Sebagai contoh mereka menyebutkan, dalam artikel yang diterbitkan Global Times pada 10 Februari lalu, Gulbakhar Jailova merupakan aktor dan Tursunay Ziyawudun berbohong tentang trelisasi paksa.

"Semua keluarganya tahu bahwa dia pada dasarnya mandul," mengutip seorang pejabat senior China.

ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP