Ilustrasi Makanan Halal.
Dream - Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat berdampak terhadap industri pengolahan makanan. Aspek halal pun menjadi penting dalam produksi makanan dan seharusnya juga menjadi perhatian umat non-Islam.
Senior Researcher Officer di Ikim's Center of Science and Environment Studies, Norkumala Awang, mengatakan ada banyak hal yang diklasifikasikan sebagai halal dan dan haram dalam Islam.
Konsep halal ini pun diterapkan di berbagai aspek kehidupan, seperti produk makanan, farmasi, kosmetik, dan bahan makanan. " Dalam konteks halal, makanan, minuman, dan produk higienis harus bebas dari kotoran (najis) dan kuman berbahaya," kata Norkumala dilansir dari The Star, Kamis 2 Juni 2016.
Dewasa ini, umat Islam memberikan perhatian terhadap isu makanan yang berasal dari lemak babi atau bersumber dari babi. Isu ini membuat masalah besar untuk status halal dan konsumsi makanan.
Meskipun penggunaan barang-barang dan makanan dari produk non halal, solusi masalah ini pun belum ditemukan. " Tak diragukan lagi, masalah ini sensitif terhadap umat Islam," kata dia.
" Ini adalah beberapa isu yang mendesak umat Islam untuk fokus terhadap pesatnya perkembangan industri pengolahan makanan," kata dia.
Meskipun ada pembagian halal-haram, ada juga wilayah " abu-abu" di mana perlu ada kejelasan status halal. Dalam konteks ini, para ulama berijtihad untuk menerangkan dan menjelaskan status halal terhadap produk atau bahan baku produksi.
Norkumala mengatakan status halal seharusnya ditempatkan pertama kali pada produksi pangan, bukan di produk akhir. Apabila hal ini dilakukan, tujuan konsumsi halal pun bisa terwujud.
Ditambahkannya, penggunaan logo halal sebetulnya bisa meningkatkan kesadaran di kalangan konsumen dalam memilih makanan mereka. " Dengan memiliki informasi yang memadai, mereka bisa membuat keputusan yang bijaksana," kata dia.
Namun, lanjut Norkumala, masyarakat muslim kini menghadapi dilema di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih. Banyak konsumsi produk halal juga disiarkan lewat media sosial. Namun, kevalidan produk halal itu seharus diperiksa lagi karena tak ada pemantauan yang ketat terhadap informasi di jejaring sosial dan tak ada sumber-sumbernya.
" Hal ini bisa menyebabkan kekacauan dalam masyarakat," kata dia.
Norkumala mengatakan diskusi dan upaya untuk mengurangi kesalahpahaman dan keraguan pada produk tertentu harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Namun diakui pendekatan ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi kebingungan publik.
" Kebutuhan dan ketergantungan umat Islam terhadap produk halal ini tinggi. Produsen yang ingin menangkap pasar muslim ini harus peka terhadap isu halal sehingga bisnis mereka tak akan mengganggu kesejahteraan masyarakat," kata dia.
Advertisement
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini
Masa Tunggu Haji Dipercepat, dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun
Viral Laundry Majapahit yang Bayarnya Hanya Rp2000
NCII, Komunitas Warga Nigeria di Indonesia
Azizah Salsha di Usia 22 Tahun: Keinginanku Adalah Mencari Ketenangan
Penampilan Alya Zurayya di Acara Dream Day Ramadan Fest 2023 Day 6
Benarkah Gaji Pensiunan PNS Naik Bulan Ini? Begini Penjelasan Resminya!
Timnas Padel Indonesia Wanita Cetak Sejarah Lolos ke 8 Besar FIP Asia Cup 2025
Hore, PLN Berikan Diskon Tambah Daya Listrik 50% Hingga 30 Oktober 2025
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
Hasil Foto Paspor Shandy Aulia Pakai Makeup Artist Dikritik, Pihak Imigrasi Beri Penjelasan