Bank Dunia Peringatkan Krisis Air Global yang Makin Mengkhawatirkan, Benua-Benua Mulai Mengering

Reporter : Abidah
Rabu, 19 November 2025 10:00
Bank Dunia Peringatkan Krisis Air Global yang Makin Mengkhawatirkan, Benua-Benua Mulai Mengering
Bank Dunia menegaskan bahwa pengeringan benua bukan hal yang tak bisa dicegah. Masalah ini masih bisa ditangani asal negara-negara di dunia bergerak bersama dan membuat kebijakan yang tepat.

DREAM.CO.ID – Bank Dunia merilis laporan terbaru yang menggambarkan situasi mengkhawatirkan mengenai cadangan air tawar dunia.

Dalam laporan berjudul Continental Drying A Threat to Our Common Future, lembaga itu menyebut bumi kehilangan rata-rata 324 miliar meter kubik air tawar setiap tahun selama dua dekade terakhir dan jumlah tersebut setara dengan kebutuhan air 280 juta manusia dalam setahun. Penurunan ini dinilai mengarah pada ancaman besar terhadap ketahanan hidup global.

 

1 dari 4 halaman

Penyusutan Terjadi di Banyak Benua

Penyusutan Terjadi di Banyak Benua © Dok. World Bank

Melalui analisis satelit GRACE sejak 2002, Bank Dunia mencatat penurunan air tawar secara konsisten di hampir seluruh benua. Kawasan kering semakin kering, sementara wilayah yang sebelumnya basah juga mulai kehilangan cadangan air. Fenomena yang disebut continental drying ini menggambarkan hilangnya air dari tanah, sungai, dan akuifer dalam jangka panjang.

Beberapa zona yang kini masuk kategori “ mega-drying regions” meliputi:

  • Alaska hingga Kanada barat laut

  • Amerika Tengah dan barat daya Amerika Serikat

  • Rusia bagian utara

  • Asia Tengah

  • Tiongkok utara

  • Timur Tengah

  • Afrika Utara

  • Asia Selatan (kecuali India Selatan)

  • Asia Tenggara

Di wilayah-wilayah tersebut, penurunan cadangan air mencapai 10 persen dari total suplai air tahunan. Bank Dunia menyebut angka ini sebagai kondisi yang sangat serius dalam kajian hidrologi. Selain itu, 68 persen penurunan terjadi pada air tanah yang merupakan sumber paling berharga dan paling sulit dipulihkan.

2 dari 4 halaman

Akar Masalah Berlapis dan Menumpuk

Laporan Bank Dunia menjelaskan bahwa krisis ini muncul karena banyak faktor yang saling berkaitan. Pemanasan global membuat air lebih cepat menguap dan pola hujan ikut berubah sehingga daerah yang sudah kering menjadi makin kering, sementara wilayah basah menerima hujan lebih sering dari biasanya.

Perubahan penggunaan lahan seperti penebangan hutan, pembangunan kota yang tak terkontrol, dan pertanian yang sangat intensif juga mengganggu kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air.

Masalah lain datang dari kebijakan air yang keliru. Harga air untuk pertanian yang terlalu murah membuat penggunaan air tanah menjadi berlebihan. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara dengan tata kelola lemah kehilangan cadangan air dua sampai tiga kali lebih cepat dibanding negara yang pengelolaan sumber dayanya lebih baik.

3 dari 4 halaman

Dampak Ekonomi dan Lingkungan Meluas

Penurunan cadangan air memicu efek domino yang mengancam berbagai sektor kehidupan. Gelombang panas yang muncul bersamaan dengan kekeringan dapat memangkas produktivitas lahan hingga 43 persen yang berpotensi menurunkan ketahanan pangan jutaan orang. Penurunan curah hujan 100 mm di India juga dapat menggerus pendapatan nasional hingga USD 68 miliar.

Risiko kebakaran hutan turut meningkat karena tanah dan vegetasi yang semakin kering. Bank Dunia mencatat kenaikan risiko mencapai 27 persen bahkan hingga 50 persen pada wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi.

Di Afrika Sub Sahara, kekeringan ekstrem menyebabkan hingga 900 ribu orang kehilangan pekerjaan setiap tahun akibat gagal panen dan kekurangan air. Dampak jangka panjangnya diperkirakan memicu kerusakan ekosistem, migrasi besar-besaran, ketegangan geopolitik, hingga potensi konflik perebutan sumber air.

4 dari 4 halaman

Seruan Tindakan Mendesak

Untuk mencegah krisis memasuki titik tidak bisa kembali, Bank Dunia merekomendasikan tiga langkah besar.

Pengendalian kebutuhan air menjadi langkah pertama yang mencakup efisiensi penggunaan, pembatasan ekstraksi air tanah, dan edukasi publik. Kemudian, diperlukan upaya peningkatan pasokan air dilakukan melalui daur ulang air limbah, desalinasi, dan pemulihan waduk serta lahan basah. Langkah terakhir adalah pemerataan alokasi air agar distribusinya efisien antar sektor rumah tangga, pertanian, dan industri.

Laporan tersebut juga menekankan perlunya reformasi subsidi, penguatan lembaga lokal, serta penggunaan teknologi pemantauan modern untuk memastikan pengelolaan air berjalan lebih akurat dan berkelanjutan.

Di bagian akhir laporannya, Bank Dunia menyampaikan bahwa continental drying bukan keniscayaan dan masih bisa ditanggulangi jika kebijakan dan solidaritas global bergerak bersama. 

Peringatan ini dinilai sangat relevan bagi negara yang berada di kawasan kering dan semi kering karena cadangan air bukan lagi isu lingkungan semata, melainkan persoalan keamanan nasional dan masa depan generasi berikutnya.

Beri Komentar