Belanja/ Foto: Shutterstock
Dream - Rumah, mobil, tabungan dan harta kekayaan lain seringkali dijadikan tolak ukur kebahagiaan. Mereka yang bergelimang harga kerap dianggap sudah mencapai kebahagiaan.
Benarkah demikian? Terdapat perbedaan pendapat mengenai korelasi uang dan rasa bahagia yang kita rasakan. Tentunya, kita bisa membeli banyak hal dengan uang, tetapi menyamakan uang dengan kebahagiaan bukanlah sebuah sebab akibat yang linear.
Jika memang uang bisa membuat seseorang bahagia, berapa yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan? Tim peneliti dari Princeton University, New Jersey, Amerika Serikat, mencoba menganalisisnya dengan melakukan penelitian.
Penelitian dilakukan dengan melihat korelasi antara pendapatan orang per tahun dan kondisi kesejahteraan emosional dan evaluasi hidup mereka. Diketahui bahwa uang sebesar US $75.000 dolar AS per tahun atau sekitar Rp1,1 miliar bisa memunculkan kepuasan hidup dan kebahagiaan.
Tentunya, barometer kebahagiaan tiap orang berbeda-beda. Satu hal yang membuat satu orang bahagia tidak bisa disamakan dengan apa yang membuat orang lain bahagia.

" Kebahagiaan seseorang seringkali bergantung pada keselamatan dan kesejahteraan mereka- gaji- juga tergantung pada nilai-nilai mereka," ujar Billy Roberts, seorang terapis kesehatan mental dikutip dari health.com.
Definisi kebahagiaan orang dipengaruhi dengan nilai-nilai yang dianut. Bagi sebagian orang, kebahagiaan didorong oleh kekuasaan perasaan aman juga menjadi faktor kebahagiaan seseorang. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kebahagiaan atau persepsi seseorang tentang kebahagiaan.
Seorang psikolog klinis dan profesor psikologi, Margaret Sala, PhD, mengungkap bahwa kemiskinan dapat meningkatkan rasa stres dan persepsi ketidakbahagiaan dan emosi negatif lainnya. Ia mencontohkan, orang yang tidak mampu mengakses perawatan medis dapat memperparah kondisi rasa sakit.
" Orang dengan pendapatan lebih tinggi mungkin tidak dapat menikmati kesenangan kecil karena tekanan dari pekerjaan, sehingga dapat meningkatkan rasa stres," kata Sala.

Menurut Renetta Weaver, seorang pekerja sosial klinis berlisensi, mengungkap kebahagiaan yang disebabkan uang bukan hanya sekedar persepsi semata. Jika dilihat dari sisi neuroscience, kelangkaan uang dan kepemilikan memberi sinyal ke otak bahwa ada ancaman bagi kelangsungan hidup.
" Kita bisa menemukan kebahagiaan dengan hal yang tidak bisa dibeli ketika kita tidak menyamakan uang dan kekayaan dengan nilai yang kita anut," ujarnya.
Laporan: Meisya Harsa Dwipuspita/ Sumber: Health
Advertisement
Dari Langgar ke Bangsa: Jejak Sunyi Kiai dan Santri dalam Menjaga Negeri

Pria Ini Punya Sedotan Emas Seharga Rp233 Juta Buat Minum Teh Susu

Celetukan Angka 8 Prabowo Saat Bertemu Presiden Brasil

Paspor Malaysia Duduki Posisi 12 Terkuat di Dunia, Setara Amerika Serikat

Komunitas Rubasabu Bangun Budaya Membaca Sejak Dini



IOC Larang Indonesia Jadi Tuan Rumah Ajang Olahraga Internasional, Kemenpora Beri Tanggapan

Ada Komunitas Mau Nangis Aja di X, Isinya Curhatan Menyedihkan Warganet

Wanita 101 Tahun Kerja 6 Hari dalam Seminggu, Ini Rahasia Panjang Umurnya

Dari Langgar ke Bangsa: Jejak Sunyi Kiai dan Santri dalam Menjaga Negeri

Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Ini Bahayanya Bagi Kesehatan Tubuh

Pria Ini Punya Sedotan Emas Seharga Rp233 Juta Buat Minum Teh Susu