Isi Lengkap Fatwa MUI yang Menyatakan Rumah Tinggal Tak Layak Ditagih PBB Berulang Kali

Reporter : Abidah
Selasa, 25 November 2025 18:07
Isi Lengkap Fatwa MUI yang Menyatakan Rumah Tinggal Tak Layak Ditagih PBB Berulang Kali
Menurut syariat, objek pajak seharusnya hanya dikenakan pada harta yang memiliki potensi produktif atau termasuk kategori kebutuhan sekunder & tersier.

DREAM.CO.ID – Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan lima fatwa baru, salah satunya mengenai Pajak Berkeadilan. Dalam fatwa tersebut, MUI menekankan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni atau digunakan untuk kebutuhan primer tidak selayaknya dikenai pajak berulang, sebuah praktik yang dinilai menimbulkan keresahan di masyarakat.

Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh menyampaikan bahwa ketentuan ini lahir sebagai respons atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan.

“ Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi,” kata Prof Ni’am di sela Munas XI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, baru-baru ini.

1 dari 4 halaman

Ia menjelaskan bahwa menurut syariat, objek pajak seharusnya hanya dikenakan pada harta yang memiliki potensi produktif atau termasuk kategori kebutuhan sekunder dan tersier. Karena itu, pungutan yang dikenakan pada bahan pokok, tanah, atau rumah tempat tinggal dianggap tidak sesuai tujuan pajak yang semestinya mendorong kesejahteraan.

“ Jadi, pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” tegasnya.

Prof Ni’am juga menyoroti bahwa kemampuan finansial wajib pajak menjadi syarat utama dalam penetapan kewajiban pajak. Ia mencontohkan standar zakat sebagai analogi dasar, di mana batas minimal kemampuan setara dengan nishab zakat mal senilai 85 gram emas.

Batas ini, menurutnya, dapat diadaptasi sebagai acuan penghasilan tidak kena pajak agar lebih mencerminkan asas keadilan.

2 dari 4 halaman

Isi Fatwa Pajak Berkeadilan

Dalam naskah lengkapnya, MUI menetapkan beberapa ketentuan hukum. Berikut isi fatwa lengkap terkait pajak berkeadilan:

Ketentuan Hukum: 

  1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.

  2. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).

  3. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.

  4. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan.

  5. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).

  1. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.

  2. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang (double tax).

  3. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak.

  4. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang.

  5. Warga negara wajib menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3.

  6. Pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram.

  7. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3 (zakat sebagai pengurang pajak).

Rekomendasi:

  1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilan dan berpemerataan maka pembebanan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perlu adanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar.

  2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat.

  3. Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

  4. Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajak waris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

  5. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

  6. Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).

 

3 dari 4 halaman

Masyarakat Diingatkan Tetap Wajib Taati Pajak

Masyarakat Diingatkan Tetap Wajib Taati Pajak © Prof Asrorun Niam Sholeh membacakan Fatwa Pajak Berkeadilan di Pleno Munas MUI XI di Jakarta | Foto: Sadam/MUIDigital

Sehari setelah fatwa diumumkan, Prof Ni’am kembali menegaskan pentingnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak selama pemungutan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

“ Pajak merupakan salah satu instrumen pembiayaan negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Karenanya dia mengikat setiap warga negara sepanjang dilaksanakan dengan dan untuk kemaslahatan bersama,” ujarnya dalam penjelasan lanjutan di Jakarta, Senin (24/11/2025).

Ia menyebutkan bahwa pembayaran pajak merupakan wujud tanggung jawab warga negara dalam kontrak sosial dengan pemerintah. Sepanjang penetapan dan pengelolaannya berlandaskan asas keadilan, masyarakat wajib menaatinya.

4 dari 4 halaman

Ia juga kembali menekankan poin-poin utama fatwa, termasuk bahwa pajak harus digunakan untuk kepentingan publik, ditetapkan secara adil, dan dikelola dengan prinsip amanah. “ Karenanya setiap warga negara wajib mentaati aturan terkait perpajakan, sebagai wujud tanggung jawab warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Prof Ni’am menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi berbagai aturan perpajakan yang dinilai tidak berkeadilan. Fatwa ini, menurutnya, dapat menjadi pedoman dalam pembaruan kebijakan agar tidak menambah beban masyarakat berpenghasilan rendah serta lebih mendorong pemerataan kesejahteraan.

Selain fatwa Pajak Berkeadilan, Munas XI MUI juga menetapkan fatwa lain seperti pengelolaan rekening dormant, pedoman pengelolaan sampah di perairan, status saldo kartu uang elektronik yang hilang atau rusak, serta kedudukan manfaat produk asuransi kematian pada asuransi jiwa syariah.

Beri Komentar