© MEN
Dream - Pesawat Lion Air dari Bandara Soekarno-Hatta tujuan Tanjung Pandan ditolak mendarat di Bandara H.A.S Hanandjoeddin. Sebabnya, besar pesawat dinilai tidak sesuai dengan kriteria yang bisa diterima oleh bandara karena pelataran terbatas.
Pesawat dengan nomor terbang JT-120 itu pun harus kembali lagi ke Bandara Soekarno-Hatta. Adapun konsekuensinya, maskapai perlu mengganti jenis pesawat menjadi B737-800 yang lebih kecil dari sebelumnya Boeing 737-900 ER varian B737 NG.
Pengamat Penerbangan Gatot Rahardjo menilai ada risiko lebih besar jika pesawat tersebut diizinkan tetap mendarat. Mengingat, spesifikasi bandara, termasuk apron bandara yang disebut tak bisa menampung pesawat jenis Boeing 737-900 ER varian B737 NG yang awalnya digunakan Lion Air.
" Kecuali kalau pesawat yang lebih besar itu dipaksakan masuk bandara, itu yang bahaya, karena apron (tempat parkir) nya tidak mencukupi," ungkapnya dikutip dari Liputan6.com, Senin 3 Juli 2023.
Dia menambahkan kejadian penolakan mendarat di bandara tujuan bukan kali ini saja. Namun, pernah juga terjadi pada maskapai asal Australia, Jetstar yang ditolak mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada akhir tahun 2022 lalu.
" Dulu kejadian ini pernah terjadi waktu maskapai dari Australia ditolak oleh Bandara Bali karena pesawatnya beda. Dan maskapai akhirnya mengakui kesalahannya," ungkapnya.
Kejadian ini, lanjut Gatot, juga berdampak pada penumpang penerbangan tersebut. Karena membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai tujuan, alhasil, aktivitas selanjutnya menjadi terhambat.
" Kalau dari sisi keselamatan tidak beresiko, karena penerbangannya berjalan normal. Tapi dari sisi bisnis maskapai dan sisi keperluan penumpang yang bermasalah. Harusnya penumpang sudah sampai ke tujuan dan melakukan aktivitas, jadi terganggu," ujarnya.
Dia memproyeksikan kemungkinan kesalahan berada di sisi Flight Operation Officer (FOO) dari maskapai. Pasalnya, FOO bertugas memastikan rencana penerbangan termasuk spesifikasi pesawat yang bisa diterima oleh bandara tujuan.
" Kemungkinan kesalahan ada di FOO maskapai," ungkapnya.
Gatot menjelaskan, sebelum pesawat terbang, petugas maskapai di flight operation officer (FOO) membuat flight plan yang kemudian diserahkan ke pilot.
Lalu, dalam membuat flight plan, FOO itu harus koordinasi dengan BMKG untuk cuaca, Airnav Indonesia untuk lalu lintas udara dan pengelola bandara tujuan terkait kondisi bandara.
" Dan kalau penerbangan nya berjadwal, harusnya FOO ini sudah hafal dengan sepsifikasi bandara setempat. Jadi dia harusnya tahu pesawat yang boleh dipakai ke bandara tersebut. Kalau ada perubahan pesawat, harus dikoordinasikan dengan bandara setempat, bisa nggak dilayani, baik itu layanan parkir, layanan PKP-PK dan lain-lain," jelasnya.
Gatot menilai, jika sudah mendapat izin terbang, berarti pesawat boleh berangkat dari bandara asal. Artinya, FOO tidak salah dan bandara tujuan wajib untuk melayani pesawat dari maskapai tersebut.
" Kalau belum dapat izin tapi pesawat tetap diterbangkan, itu berarti salah FOO kalau pesawat ditolak," tegasnya.