Gingin Ginanjar (Al Azhar)
Dream – Cahaya temaram mulai berpendar, menggiring sesosok lelaki memasuki hutan. Kicau burung yang berpadu dengan lengkingan tonggeret menemani langkah ke pedalaman hutan Pandeglang, Banten.
Kaki itu terus terayun. Agak tertatih, menyusur setapak, menyibak semak. Tangan kirinya, yang hanya satu-satunya itu, sibuk menebas batang-batang perdu yang menghalang jalan.
Di rimba itu, lelaki bernama Gingin Ginanjar ini menbar harapan besar. Mamanen madu. Si legit tumpuan masa depan. Anugerah alam yang jadi gantungan hidup keluarga.
Beternak lebah madu memang masih baru dalam hidupnya. Sebelum itu, Gingin hidup di Jakarta. Tanpa arah dan tujuan. Saban hari dia habiskan untuk mengasong di Sawah Besar.
“ Saya jualan kopi di pinggiran halte di daerah Sawah Besar,” kenang Gingin saat berbincang dengan Dream melalui sambungan telepon, Selasa 8 Maret 2016.
Di Ibukota itu, Gingin hidup bersama anak bini. Bukan di gubuk. Apalagi kamar sewa. Mereka hinggap serampangan. Kadang di pinggir jalan. Di pelataran toko pun tak jarang pula.
“ Anak baru dua bulan dan kalau tidur nemu kardus saja sudah beruntung banget. Tidak mampu kontrak kamar, banyak penertiban beberapa kali dan saya malah kena garuk, ditangkap Satpol PP,” ujar Gingin.
Hidup seperti itu sudah tentu susah. Mengasong, penghasilan tak seberapa. Tiap hari tiga mulut itu harus terus disuap. Apalagi si bayi yang masih merah. Dan satu-satunya harapan adalah sedekah dari Yayasan Al Azhar.
Pada 2008 itu, Gingin nekat ke kantor yayasan di Kebayoran Baru itu. Namun dia ditolak. Uang derma tak diterima. Dia kembali dengan tangan hampa. Apa boleh buat, namanya juga meminta, dikasih syukur, tidak juga tak mengapa.
Semakin hari, kebutuhan semakin mencekik. Kepalanya sudah tak bisa jalan. Dan Al Azhar lah yang kembali muncul dalam pikiran. Mau tak mau, dia harus datang lagi. Namun kali ini, anak dan bini dia bawa serta.
Gingin sungguh berharap. Santunan itu dia gadang menjadi penyambung hidup. Langkahnya gegas. Dadanya dipenuhi harapan. Derma itu akan menyelamatkan keluarga. Seluruh doa dia lambungkan hingga sampai ke kompleks Al Azhar.
Tapi, harapan itu tiba-tiba buyar. Ahmad, pengurus yayasan Al Azhar, tak menyambutnya dengan ramah. Ini tanda harapannya segera layu. Dengan nada agak keras, Ahmad memintanya pulang. Hanya Rp 20 ribu yang diulurkan pria itu kepada Gingin.
“ Saya ke sana dua kali, yang pertama diusir. Datang lagi dikasih uang Rp 20 ribu. Ditambah sisa-sisa uang jualan, saya berangkat pulang ke Banten,” terang dia.
Ahmad memang memintanya pulang kampung. Mencari potensi desa yang bisa dikelola. Dibuat tumpuan hidup. Mengentaskan diri dari belenggu kemiskinan.
“ Pak Ahmad itu guru spiritual saya. Satu kalimatnya yang akan terus saya ingat karena membuat saya sadar, 'Jakarta itu bukan tempatmu. Silahkan pulang, silahkan gali potensi',” ungkapnya.
Cambukan semangat dari pengurus Yayasan Al Azhar membuatnya tersentak. Pertemuan Gingin dengan Ahmad mengubah pola pikirnya. Mental peminta-minta sekuat tenaga dia musnahkan. Perlahan dia ganti menjadi pola pengusaha.
Setiba di kampung halaman, Gingin kembali ke rumah sang mertua. Berbekal tekad dan keyakinan ia melirik budidaya lebah Klanceng atau dikenal dengan nama ilmiah Apis Trigona, sebagai peluang usaha paling menjanjikan untuk dikembangkan.
Demi membuktikan keseriusannya tersebut, Gingin rela keluar masuk hutan untuk mencari lebah Klanceng. Madu yang dihasilkan lebah asli Pandeglang tersebut menyimpan kualitas unggulan. Sehingga siap bersaing di pangsa pasar nasional.
“ Karena hanya ada satu tangan, saya membutuhkan pendamping untuk motong kayu. Saya duduk pasrah di tanah, kadang tinggal merosot kalau ke bawah,” ungkap Gingin dengan nada pasrah.
Dua tahun berselang, usaha yang ia bangun semakin maju. Kemudian pada tahun 2010, Gingin berhasil mendaftarkan usahanya ke badan hukum.
Lambat laun usaha Gingin makin dikenal hingga luar Pandeglang. Kini, ia pun sudah mampu mempekerjakan beberapa orang untuk menggantikan tugasnya keluar-masuk hutan dalam berburu lebah. Para pelanggan dari Ciganjur hingga Bogor rela berdatangan demi mendapatkan madu berkualitas unggul.
Tak hanya itu, sang istri juga tak perlu lagi membantu menafkahi keluarga. Usaha lontong sayur yang pernah ia geluti ditinggalkan, seiring kondisi perekonomian mereka yang semakin membaik.
Tapi, bukan berarti semua usaha Gingin dibangun dengan gampang. Semula, dia susah memasarkan madu-madu itu. Produk Gingin kalah bersaing dengan madu kemasan, buatan pabrik.
“ Sebagai pengusaha, pertama, awal saya jual madu Rp20 ribu sebotol saja susah. Warga lebih tertarik beli di minimarket supaya terlihat keren,” imbuh Gingin sambil menghela nafas panjang.
Tapi dia tak berputus asa. Dia anggap itu sebagai tantangan bisnis. Harus ditaklukkan. Hingga akhirnya, dia menjalin kerja sama, memiliki dua plasma yang berlokasi di Rangkasbitung dan Pandeglang.
Perlahan tapi pasti, madu Gingin laku di pasaran. Usahanya semakin besar, tentu bersama dengan peternak yang menjadi rekanan.
“ Kalau untuk omzet sekarang yang waralaba sudah di atas Rp10 juta bersih. Tapi kalau yang di bawah pembinaan saya malah ada yang penghasilannya sudah Rp20 juta,” ujar Gingin bangga.
***
Namun, kesuksesan itu tak membuatnya berpuas diri. Pengalaman dari titik nadir hingga menjadi pengusaha membuat Gingin kembali ingin mewujudkan mimpi-mimpi besarnya.
Setelah mampu membangun dua buah rumah, Gingin kemudian mewakafkan salah satunya untuk dijadikan pusat pelatihan keterampilan para penyandang disabilitas. Kaum yang senasib dengannya.
“ Kecelakaan lalu lintas membuat kaki kanan kurang normal, tapi karena diberikan ini semua saya malah merasa lebih normal daripada orang yang lainnya,” ucap Gingin.
Ya, ketidaksempurnaan fisik tak menjadikan Gingin berkeluh kesah. Berbagai ujian hidup yang dilewati telah menempanya menjadi pribadi yang tangguh. Segala kekurangan yang dimiliki justru mengingatkan dirinya untuk senantiasa bersyukur dan menghargai pencapaian sekecil apapun.
Lewat rumah yang diberi nama 'Saung Pintar' itu, Gingin aktif sebagai motivator untuk orang-orang yang bernasib sama. Rumah ini juga terbuka bagi mereka yang ingin belajar dan mengembangkan potensi diri.
“ Saya ingin mengejar mimpi, semoga sebelum usia 40 tahun, apa yang pernah saya raih dapat bermanfaat untuk orang lain,”terang Gingin.
Dia tak berjalan sendiri, hampir enam tahun terkahir pendampingan dari Yayasan Al Azhar menjadi kekuatan penting di balik keberhasilannya mewujudkan ini semua.
Selain terus memberikan motivasi, Yayasan Al Azhar juga konsisten memberi donasi untuk mengembangkan anggota komunitas Saung Pintar, yang kini gaungnya terdengar ke seantero Kabupaten Pandeglang.
Tak hanya fokus pada Saung Pintar, bersama rekan bernama Nano, Gingin juga aktif membangun komunitas disabilitas yang tergabung dalam 'Rumah Mas Nano'.
Mereka tak pernah putus asa, meski berbagai halang kerap menghadang. Diakui Gingin kelemahan fisik terkadang menghambat mereka dalam menembus akses ke para donatur.
Tapi, dukungan besar masyarakat sekitar membuatnya terus optimistis dan tak menyerah. Meskipun belum ada uluran tangan dari pemerintah setempat, Gingin tetap yakin mereka dapat besar karena keteguhan tekad dan kerja keras seluruh anggota komunitas.
“ Saya bertekad mengentaskan pengangguran. Saya ingin berkontribusi dalam membangun Pandeglang, saya mengader peternak-peternak di dua kabupaten,” katanya.
Tak lagi berorientasi pada penghasilan semata, kini Gingin dengan segala keterbatasan fisik yang ia miliki lebih berfokus pada proses pembinaan dan penyebaran ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Disabilitas tak pernah membuatnya menyerah pada tatapan hina masyarakat sekitar. Ia tetap semangat menggali potensi-potensi baru dari desanya yang bisa dikembangkan.
“ Saya tidak mau dipandang sebelah mata, saya mau mengedepankan sisi-sisi kearifan lokal yang hanya dimiliki Banten seperti lebah Klanceng ini," tutur dia.
Melalui Saung Pintar Gingin menggantungkan mimpi-mimpi mulia. Bersama lima anggota Saung Pintar mereka saling mendukung, meningkatkan pengetahuan berbasis IPTEK dan gaya hidup yang mandiri. Disertai dengan pengetahuan agama yang dibina secara rutin seminggu sekali.
Semangatnya tak pernah padam. Sosoknya yang selalu penuh welas asih dan ide-ide mulia membuat Gingin seperti secercah sinar bagi para penyandang disabilitas.
Laki-laki penuh kesederhanaan ini pun kini mantap tak ingin lagi meninggalkan hutan demi 'janji manis ibukota', seperti yang dulu ia lakukan.
“ Saya akan tetap keluar masuk hutan, saya cuma pingin jadi 'bolang' sejati karena alam menyimpan kenyamanan sendiri untuk diri saya,” tutup dia dari seberang telepon.
(Laporan: Ratih Wulan)
Advertisement
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`
Tampil Cantik di Dream Day Ramadan Fest Bersama Beauty Class VIVA Cosmetics
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Siap-Siap Adu Cepat! Begini Cara Menangin Promo Flash Sale Rp99
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Kisah Influencer dan Mantan CMO Felicia Kawilarang Hadapi Anxiety Disorder
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada