Amal si Tukang Semir

Reporter : Ahmad Baiquni
Rabu, 3 Februari 2016 19:15
Amal si Tukang Semir
Dari sepatu-sepatu yang disemir, recehan uang terkumpul. Bukan untuk dirinya, tabungan miliaran rupiah uang hasil menyemir didermakan.

Dream - Usia Albert Lexie tidak lagi muda. Sudah menginjak 73 tahun. Gerak tubuh pun tidak selincah dulu. Saban hari Lexie harus naik turun bus. Dari Monessen menuju tempat kerjanya di Pittsburgh, Amerika Serikat. Meski sudah renta, tak pernah ada keluhan meluncur dari mulutnya.

Di depan sebuah Rumah Sakit Anak, Lexie turun. Jam baru menujukan pukul 08.00. Dia memang selalu tiba 30 menit lebih awal. Saat rumah sakit itu belum membuka pelayanan. Dengan tergopoh-gopoh dibawanya badan renta itu ke sebuah tempat khusus. Dibukanya sebuah tas yang telah diselempangkannya sedari rumah. Dengan cekatan alat kerjanya dikeluarkan. Isinya seperangkat alat semir sepatu.

Lexie bukan pegawai di rumah sakit itu. Tidak punya ijazah sekolah tinggi, apalagi gelar dokter. Di rumah sakit itu, Lexie cuma bekerja sebagai tukang semir sepatu. Profesinya yang dilakoni sejak masih berusia 15 tahun.

Hari itu Lexie akan seharian berada di depan rumah sakit. Berharap Ada yang datang dan memintanya beraksi. Menyemir sepasang demi sepasang sepatu milik pengunjung rumah sakit. Saat senja mulai tampak di pelupuk mata. Alat semir dan kain dirapihkan lagi. Dimasukan ke dalam tas. Lexie siap bergegas pulang. Menyusuri jalan, menuju halte dimana Lexie akan kembali menunggu sebuah bus.

Saat sebuah bus berhenti di halte itu. Lexie kembali menaikinya dan menikmati perjalanan selama satu setengah jam. Waktu yang sama yang dia habiskan untuk berangkat bekerja.

Sepintas, tidak ada yang istimewa dengan kakek satu ini. Hanya ritual seorang kakek renta penyemir sepatu yang mencari nafkah penyambung hidup.

Tapi coba cerna kabar ini. Lexie istimewa karena kebesaran hatinya. Seorang tukang semir sepatu dengan pendapatan pas-pasan itu membuat dunia terharu. Bahkan malu. Lexie si Tukang Semir menyumbangkan uang sebesar US$ 200.000, setara Rp2,7 miliar untuk biaya perawatan anak-anak di rumah sakit tersebut.

****

Tak mengenyam pendidikan tinggi, Lexie tahu dia harus bekerja. Duduk di bangku tingkat VIII, atau setara kelas 1 SMP, Lexie mulai menjalani profesi sebagai tukang semir. Dari tangannya, Lexie remaja membuat kotak alat semir. Entah karena alasan apa, Lexie memutuskan untuk berhenti bersekolah. Berada di rumah sakit dan melihat anak-anak seharian lebih membahagiakan hatinya.

Dia seperti tidak peduli apakah penting memiliki ijazah pendidikan atau tidak. Lexie terlanjur suka melihat anak-anak sembuh ketimbang sibuk dengan buku.

Hari-hari sebagai tukang semir di jalaninya. Dari recehan uang hasil semir disisihkan. Sebagian dihabiskannya untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satunya membayar ongkos bus yang ditumpangi ketika berangkat bekerja maupun kembali ke rumah.

Kebiasaan ini sudah berlangsung lama. Bertahun-tahun dia menyisihkan uang. Sampai usia senja pelan-pelan menggerogoti tubuhnya. Lexie bukan mau menumpuk harta. Uang recehan ditabungan itu dia sumbangkan begitu saja ke pengelola rumah sakit.

“ Saya ingin melihat anak-anak sembuh, melihat anak-anak kembali pulih dan memiliki kondisi lebih baik,” ujar Lexie.

Lexie sadar, dirinya cuma seorang tukang semir. Orang akan menilai miring aksinya. Uang miliaran itu seharunya bisa membuatnya hidup senang. Bukan pula popularitas yang dicari Lexie dengan sumbangan itu. Apalagi sampai berniat dikenang sebagai seorang yang dermawan. Lexie hanya ingin selalu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.

“ Saya merasa cukup senang. Anda tahu, saya membuat diri saya bahagia,” kata Lexie.

*****

Lexie pun sudah dianggap sebagai anggota dari keluarga besar Rumah Sakit Anak Pittsburgh. Bukan karena sumbangan miliaran yang dia berikan. Tetapi Lexie merupakan sosok yang dituakan di rumah sakit itu.

Sejak dulu, di sela aktivitasnya menyemir sepatu, Lexie selalu menyempatkan diri berkeliling rumah sakit. Dia selalu menyapa setiap orang yang ada di sana, juga pada para pasien yang semuanya anak-anak. Sikapnya hangat. Seluruh penghuni rumah sakit begitu sayang kepada Lexie.

Sampai-sampai, kepala rumah sakit memberi ruang khusus agar Lexie bisa berkantor di sana. Ruangan itu terletak bersebelahan dengan ruang kepala rumah sakit, dr Greg Barret. Setiap pagi setiba di rumah sakit, Lexie selalu diantarkan oleh asisten dr Barret ke ruangannya. Tidak lupa, secangkir kopi selalu tersedia bagi Lexie.

Di ruang itu, Lexie hanya menyemir antara tiga hingga empat pasang sepatu. Hasil kerjanya pun sangat memuaskan. Sepatu yang disemirnya terlihat begitu mengkilap.

Setelah pekerjaannya selesai, Lexie akan meninggalkan ruangannya dan berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Dia selalu menyapa setiap karyawan maupun perawat yang ada di rumah sakit itu. Dia juga selalu memberikan semangat kepada anak-anak untuk bisa sembuh.

Di tengah isu kesehatan yang masih menjadi masalah bagi sebagian warga Amerika Serikat. Sumbangan Lexie telah mengubah penderitaan para orangtua kurang mampu. Dari uang itu, Lexie telah menyelamatkan anak-anak kurang mampu agar bisa mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak. Dan kakek itu tidak pernah mengharapkan imbal balik.

Kebaikan hati Lexie membuat semua orang terharu. Saking baiknya, Presiden Pittsburgh Foundation, dr Barret pun menganggap lebih baik kehilangan uang daripada harus kehilangan sosok seperti Lexie.

“ Ini suatu hal yang besar untuk anak-anak, suatu hal yang besar bagi masyarakat, uang yang sangat besar, tetapi anugerah paling besar adalah apa yang sudah dilakukan Lexie. Saya tahu ini terdengar klise, tapi dia benar-benar membuat orang lebih baik,” kata Barret.

Bertahun-tahun lamanya Lexie menjadi Tukang Semir di rumah sakit itu. Namun tubah tua sudah menolak. Lexie harus pensiun dari pekerjaan. Namun cintanya pada anak-anak takkah pernah pupus. Lexie kerap berkunjung ke rumah sakit dua hari dalam sepekan, setiap Selasa dan Kamis.

“ Saya berharap bisa melihat dia ketika dia datang, hanya untuk mengobrol atau mendampingi orang yang sangat baik itu,” ucap Barret.

Lexie mungkin seorang tukang semir. Namun kecintaan dan kedermawanannya bagi anak-anak melebihi profesinya.

Beri Komentar