Ilustrasi (Foto: Shutterstock.com)
Dream - Inflasi selalu memberi pengaruh terhadap nilai tukar mata uang, terutama rupiah. Pada titik tertinggi inflasi, rupiah seakan tidak ada harganya.
Pengaruh inflasi sangat terasa saat kita berbelanja. Uang yang kita bawa tiba-tiba terasa kurang, padahal jumlah barang yang dibeli tetap bahkan cenderung menurun.
Inflasi membuat uang yang tempo dulu terasa banyak, kini membuat seolah menjadi sangat sedikit. Jika sudah begitu, bagaimana dengan utang? Haruskah utang dikembalikan dengan jumlah dilebihkan dengan alasan inflasi?
Dikutip dari Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Abdul Wahab Lc., ketentuan penggunaan uang ternyata dilematis jika dihubungkan dengan fikih muamalah. Terutama jika utang berjalan tahunan.
Nilai mata uang selalu mengalami penurunan akibat inflasi. Sebagai contoh, dulu uang jajan anak sekolah cukup Rp200 sampai Rp500. Dengan uang sebesar itu, anak SD sudah bisa jajan macam-macam, bahkan masih sisa.
Sedangkan saat ini, uang dengan besaran tersebut sudah tidak ada harganya. Untuk beli cilok, mungkin hanya dapat 1 butir, bisa jadi malah tidak dapat apa-apa.
Terkait pembayaran utang yang sudah tahunan, cukup sulit ditemukan pendapat ulama klasik apakah harus dilebihkan atau tidak. Sebab, di zaman dulu, uang yang berlaku hanya dinar dan dirham yang nilainya sama di mana saja.
Pendapat mengenai hal ini baru bisa ditemukan pada tahun 784-791 Hijriah, seiring dengan digunakannya fulus, mata uang yang berfungsi sebagai pelengkap.
Tetapi, lambat laun nilai fulus berkembang. Jika awalnya 1 dinar setara 480 fulus, nilai tersebut naik menjadi 18 fulus untuk 1 dinas dalam kurun waktu puluhan tahun kemudian.
Ulama kemudian berbeda pandangan terkait pembayaran utang yang dilebihkan dengan alasan inflasi. Ulama empat mazhab yaitu Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafi'i sepakat naik turunnya nilai mata uang tidak berpengaruh pada jumlah utang yang harus dilunasi.
Mereka berpendapat uang yang dibayar harus sama dengan jumlah utang yang sudah ada. Meski nilainya mengalami fluktuasi, hal itu tidak dianggap.
Dasarnya adalah transaksi utang (qardh) yang sah yaitu jika pengembaliannya dalam bentuk barang sejenis dengan barang yang diutang. Hal ini mensyaratkan jelasnya sifat barang serta ukurannya agar utang tidak menimbulkan riba.
Alasan kedua yaitu naik turunnya nilai mata uang tidak bisa dianggap kerugian yang harus ditanggung pengutang. Sehingga, orang yang mengutangkan uangnya kepada orang lain harus rela menanggung risiko nilai piutangnya menurun.
Meski demikian, Abu Yusuf yang merupakan murid dari Imam Abu Hanifah punya pendapat berbeda. Dia memandang jika terjadi kenaikan maupun penurunan nilai mata uang, maka yang wajib dibayarkan adalah nilai mata uang ketika dilunasi.
Sehingga, apabila nilai tukarnya lemah, maka jumlah utang yang harus dibayar lebih banyak. Sebaliknya, apabila nilai tukar uang naik atau deflasi, maka beban utang menjadi sedikit.
Sementara kelebihan utang akibat inflasi merupakan ganti rugi dan bukan riba. Sebab, besaran tambahan terjadi bukan ditentukan sebelumnya, melainkan karena nilai tukar yang jatuh.
Advertisement
Kocaknya Komunitas Pengangguran Kumpul: Ngapain Kerja Gak Kaya?


Sudah Geer Jadi Pacar Aktor Squid Game, Tahunya Cuma Mirip dan Rp5,8 Miliar Raib

ShopeeVIP, Teman Setia Biar Belanja Kebutuhan Rumah Jadi Lebih Untung

Hore! Stok BP 92 Sudah Tersedia Lagi di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya, Kapan Vivo dan Shell?



Batik Rempah Memikat Iwan Tirta di Jakarta Fashion Week 2026

Menu Nasi Sop Rp3000 di Yogyakarta, Penyelamat Anak Kost Banget

Kisruh Pabrik Aqua Diduga Pakai Air Sumur Bor, DPR Desak Kajian 'Water Stress Assessment'

Kocaknya Komunitas Pengangguran Kumpul: Ngapain Kerja Gak Kaya?

Cewek Gabut Jual Online Plastik Isi Udara Bandung, Terdengar Iseng tapi Laku Keras

Dua Kali dalam Setahun, Oh Beauty Festival 2.0 Hadir Jawab Antusiasme Pecinta Kecantikan