Rumana Ahmed, Hijaber Penasehat Keamanan Gedung Putih

Reporter : Ahmad Baiquni
Rabu, 13 April 2016 21:30
Rumana Ahmed, Hijaber Penasehat Keamanan Gedung Putih
Rumana adalah hijaber pertama yang memegang peranan penting di Gedung Putih. Pandangannya sangat penting bagi kebijakan Obama di bidang keamanan nasional.

Dream - Wajahnya teduh dan menenangkan. Senyumnya membuat orang yang berhadapan dengan dia merasa hangat. Balutan kain menutupi kepalanya, semakin menguatkan kesan dia adalah wanita yang sopan dan menyenangkan.

Sore itu, dia terlihat keluar dari sebuah gedung yang terletak di jantung Washington DC, Amerika Serikat. Dia hendak pulang setelah sebelumnya terlibat pembicaraan dengan beberapa orang yang disebut pejabat. Meski terlihat lengang, pengamanan gedung itu sebenarnya begitu ketat. Tetapi, hal itu tidak membuat wanita berhijab tersebut ketakutan dan tetap berjalan dengan tenang.

Sosok itu bernama Rumana Ahmed. Dia adalah seorang Muslimah yang tidak pernah melepaskan hijabnya. Dan gedung yang baru saja dia tinggalkan dikenal dunia dengan ‘White House’ atau Gedung Putih, tempat tinggal dan kantor Presiden Barack Obama yang sekaligus juga menjadi kantor Rumana.

Rumana mungkin dapat disebut sebagai contoh nyata tentang peran besar Muslim bagi pemerintahan Negeri Paman Sam itu. Dia merupakan satu dari enam Muslim yang memegang posisi penting di Gedung Putih. Dia dipercaya sebagai salah satu staf penasehat Deputi Penasehat Keamanan Nasional AS Ben Rhodes. Idenya dibutuhkan Presiden Obama untuk membuat kebijakan mengamankan negara.

Hebatnya lagi, meski bekerja di lingkungan orang-orang bebas dan terbuka, Rumana sama sekali tidak pernah melepas hijabnya. Dia merupakan satu-satunya karyawan Gedung Putih yang mengenakan hijab dengan nyaman dan tanpa rasa takut. Bahkan hingga saat ini, dia begitu bangga menyebut diri sebagai ‘Pengguna Hijab’.
***
Tegar Menghadapi Diskriminasi...

1 dari 2 halaman

Tegar Menghadapi Diskriminasi

Tegar Menghadapi Diskriminasi © Dream

Rumana lahir di kawasan suburban Gaithersburg, Maryland. Orangtuanya merupakan pasangan imigran Bangladesh yang merantau ke AS. Rumana menghabiskan masa kecilnya laiknya kebanyakan anak-anak. Dia suka bermain basket, menyukai traveling dan berkumpul dengan keluarganya.

Sejak kecil, dia sudah mengenakan hijab. Tidak ada satupun teman mainnya maupun tetangganya merasa aneh dengan penampilan Rumana. Mereka menerima Rumana dan keluarganya dengan sangat terbuka. Hal itu membuat Rumana tumbuh menjadi anak yang ceria.

Tetapi, semua berubah sejak insiden 11 September. Rumana, yang kala itu duduk di bangku kelas delapan, merasakan betul betapa sulitnya menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim. Dia menerima banyak perlakuan diskriminatif dari orang-orang sekitar.

“ Itu adalah hari-hari ketika identitas saya sebagai warga Muslim Amerika merupakan perjuangan. Saya dipelototi, dikecam dan diludahi di depan umum maupun di sekolah,” kata Rumana.

Perlakuan semacam itu tidak selayaknya diterima oleh anak-anak seperti Rumana. Tetapi, hal itu tidak membuatnya menyerah. Dia memilih untuk terus mengenakan hijabnya. Keyakinannya pada ajaran Islam membuatnya tegar menghadapi pelbagai tindakan diskriminatif. Dia pun yakin kebebasan dan kesetaraan tetap menjadi cita-cita negeri yang dia cintai.

“ Saya belajar melalui kesulitan, setiap tantangan sebenarnya merupakan kesempatan untuk menjadi lebih kuat,” kata dia.

Tidak kenal kata menyerah, Rumana terus memperjuangkan kesetaraan. Dia berpegang, langkahnya adalah langkah yang sama, yang dijalankan Amerika menghadapi segala tantangan. “ Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan,” kata dia.

Ketegaran itu kemudian mengantarkan Rumana mewujudkan harapan akan kesetaraan. Hingga akhirnya dia diterima bekerja di kantor institusi utama di AS, Gedung Putih.
***
Orang Penting Pembisik Obama...

2 dari 2 halaman

Orang Penting Pembisik Obama

Orang Penting Pembisik Obama © Dream

Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiran Rumana bisa berada di Gedung Putih. Jangankan untuk bekerja, dia tidak pernah berpikir bisa menginjakkan kaki di halaman kantor Presiden AS tersebut.

Dia pun sempat tidak menaruh perhatian pada perpolitikan AS. Ini lantaran dia mengira politik hanya milik mereka, warga Amerika kulit putih. Sementara bagi imigran seperti dia, politik menjadi barang mahal.

Pandangannya berubah pada 2008, kala melihat kampanye Senator Barrack Obama. Di tahun itu, Obama menyatakan niat untuk maju dalam perebutan kursi Presiden AS. Kampanye tersebut membuat Rumana tergugah untuk terjun melayani publik. Dia seperti menemukan harapan baru dari Obama.

Setelah resmi menjabat sebagai presiden, Obama membuka membuka kesempatan bagi anak-anak muda untuk berkarya di Gedung Putih. Rumana memanfaatkan kesempatan itu dan mendaftar. Dan pada Juli 2009, Rumana diangkat sebagai staf magang di Gedung Putih, kemudian dipromosikan menjadi staf di kantor pelayanan publik dan bekerja pada program Champions of Change.

“ Ini benar-benar tentang kehidupan sehari-hari warga Amerika, melayani aktivitas mereka di komunitas untuk mengatasi kekerasan bersenjata, atau pendaftaran kesehatan,” ucap Rumana.

Rumana begitu lincah dalam bekerja. Dengan mudah dia menjalin komunikasi dengan banyak orang dan banyak komunitas. Cara bekerjanya begitu efektif terutama untuk meyakinkan orang, hingga akhirnya dia dipromosikan untuk menjadi staf di Sayap Barat Gedung Putih.

“ Awalnya, saya tidak percaya bisa berada di gedung ini. Saya sedikit sadar tentang bagaimana orang-orang melihat saya,” ujar dia.

Tidak main-main, Rumana bahkan diangkat sebagai salah satu penasehat Ben Rhodes, orang yang memegang tanggung jawab penuh mengenai persoalan keamanan di AS. Bekerja bersama Ben, Rumana mendapatkan pengalaman yang baru, yang sangat berbeda dengan apa yang selama ini dia alami.

“ Orang-orang begitu baik, mereka memandang saya sama seperti melihat orang kebanyakan. Ben, bos saya, bahkan memberi kesempatan sangat menarik kepada saya untuk bisa berada di depan Presiden,” ucap dia.

Tidak hanya itu, Rumana merasa seperti menemukan tempat bekerja yang dia idamkan. Tidak pernah sekalipun dia mengalami diskriminasi. Bahkan dia merasa sangat dihargai.

“ Saya benar-benar merasa diberdayakan sebagai seorang hijaber, karena saya pikir orang datang meminta pendapat saya dan pendapat saya dihargai, mereka tahu saya membawa perspektif yang berbeda,” tutur Rumana.

Kisah Rumana menjadi wajah baru birokrasi Amerika. Rhodes sampai menyebut Rumana sebagai representasi dari cita-cita AS, yang ingin besar tanpa diskriminasi.

Beri Komentar