Legislator Desak Hukuman Maksimal untuk Eks Kapolres Ngada dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak

Reporter : Hevy Zil Umami
Selasa, 21 Oktober 2025 07:00
Legislator Desak Hukuman Maksimal untuk Eks Kapolres Ngada dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak
Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, kembali memicu gelombang kemarahan publik.

DREAM.CO.ID - Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, kembali memicu gelombang kemarahan publik. Tak hanya karena pelakunya adalah aparat penegak hukum, tetapi juga lantaran perbuatannya tergolong luar biasa keji—memperkosa anak di bawah umur, merekam aksinya, dan mengunggahnya ke situs gelap (darkweb) yang berisi konten pornografi anak.

Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, angkat bicara dan menegaskan pentingnya hukuman seberat-beratnya bagi Fajar. Ia menilai tindakan tersebut telah mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan menjadi tamparan keras bagi upaya perlindungan anak di Indonesia.

“ Kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh Mantan Kapolres Ngada atas nama Fajar ini membuat catatan buruk dalam kasus perlindungan anak dan perempuan. Bagaimana mungkin aparat kepolisian yang seharusnya melindungi tapi malah menjadikan anak sebagai korban kejahatan seksual, merekam tindakan tersebut dan menyebarkan. Pemberian hukuman maksimal harus dilakukan. Jangan ada keringanan hukuman,” ujar Mafirion dalam keterangan resminya, Selasa (21/10/2025).

1 dari 4 halaman

Menurut Mafirion, tindakan Fajar bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap sumpah jabatan. Ia menilai, negara harus hadir melalui vonis yang tegas agar kasus ini tidak terulang lagi.

“ Pemberian hukuman maksimal ini harus diberikan karena telah menghancurkan masa depan anak dan memberikan efek jera. Vonis hakim atas kejahatan yang dilakukan Fajar akan menjadi bukti keberpihakan negara dalam perlindungan anak dan perempuan,” tegasnya.

2 dari 4 halaman

Cermin Keberpihakan Negara terhadap Korban

Bagi Mafirion, keputusan hakim dalam kasus ini akan menjadi ujian serius bagi sistem hukum Indonesia. Ia menekankan bahwa vonis yang dijatuhkan bukan sekadar persoalan angka hukuman, tetapi juga simbol seberapa jauh negara berpihak kepada korban kekerasan seksual, terutama anak-anak dan perempuan.

“ Kita lihat nanti bagaimana keputusan hakim. Apakah hakim memberikan keringanan atas kasus tersebut atau memberikan hukuman maksimal. Vonis yang diputuskan oleh hakim ini juga menjadi cerminan keberpihakan negara terhadap perlindungan perempuan dan anak. Jika hakim memutuskan vonis ringan, artinya perlindungan perempuan dan anak terutama perempuan di Indonesia masih lemah. Tapi jika sebaliknya, harus diapresiasi,” tutur Mafirion.

Seruan Mafirion mencerminkan keresahan banyak pihak yang menilai bahwa kejahatan seksual terhadap anak masih sering mendapat hukuman yang tidak sebanding dengan dampaknya. Padahal, korban anak kerap mengalami trauma mendalam yang membekas seumur hidup.

3 dari 4 halaman

Kronologi Kasus yang Menggemparkan

Kasus ini bermula dari penemuan video pelecehan seksual terhadap anak-anak berusia 3 tahun, 12 tahun, dan 14 tahun yang beredar di situs porno Australia pada pertengahan 2024. Otoritas Australia melakukan penelusuran digital dan menemukan bahwa video tersebut diunggah dari Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Penyelidikan lintas negara pun dilakukan, hingga akhirnya mengarah kepada Kapolres Ngada saat itu, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Polisi bergerak cepat, dan pada 20 Februari 2025, Fajar resmi ditangkap serta dibawa ke Mabes Polri di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan intensif.

Dalam proses hukum berikutnya, jaksa menuntut Fajar dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan, serta restitusi Rp 359,16 juta untuk tiga korban yang terdampak.

4 dari 4 halaman

Harapan untuk Keadilan dan Efek Jera

Mafirion menegaskan, penegakan hukum dalam kasus ini harus menjadi tonggak penting bagi keadilan anak-anak Indonesia. Ia berharap, vonis yang dijatuhkan nantinya bisa menjadi peringatan keras bagi siapa pun, terutama aparat penegak hukum, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Kasus ini, kata Mafirion, bukan hanya tentang satu individu, tetapi tentang citra lembaga hukum dan moral bangsa. Negara harus menunjukkan bahwa perlindungan anak bukan sekadar slogan, tetapi komitmen nyata yang dijaga dengan tindakan tegas.

Dengan kasus yang mengguncang ini, publik menanti langkah pasti dari pengadilan. Harapan mereka sederhana: agar keadilan benar-benar ditegakkan, dan agar tidak ada lagi anak yang menjadi korban dari mereka yang seharusnya melindungi.

Beri Komentar