Tarif PCR Masih Bisa Lebih Rendah dari Rp275 Ribu

Reporter : Ahmad Baiquni
Selasa, 9 November 2021 19:00
Tarif PCR Masih Bisa Lebih Rendah dari Rp275 Ribu
Bio Farma masih perlu menghitung kemungkinan tarif PCR bisa turun.

Dream - Kementerian Kesehatan telah menetapkan tarif tes PCR tertinggi di Jawa-Bali maksimal Rp275 ribu. Tetapi ternyata, tarif tersebut masih bisa lebih rendah.

" Masih ada celah sebenarnya kita untuk turun, tapi berapa persennya yang kami belum (tahu) itu," ujar Honesti, disiarkan DPR.

Dia yakin ada cara untuk menurunkan tarif tersebut. Tetapi, dia mengatakan perlu perhitungan kembali sebelum tarif bisa diturunkan.

" Kami berkeyakinan masih punya space, ruang untuk bisa menurunkan harga ini tapi berapa persennya turun kami butuh exercise juga karena menyangkut nanti kapasitas produksi kami," kata dia.

 

1 dari 6 halaman

Dihitung Ulang

Dalam rapat dengar pendapat bersama DPR, Honesti menunjukkan harga publish dan e-katalog yang sedang dalam pengajuan masing-masing Rp90 ribu dan Rp81 ribu tanpa PPN. Sedangkan harga pada e-katalog saat ini sejak Februari 2021 adalah Rp193 ribu sudah termasuk PPN.

" Dari harga juga memang kalau kita melihat struktur cost (harga) ini banyak dipertanyakan oleh masyarakat, banyak juga ditanyakan oleh anggota (DPR)," kata dia.

Tetapi, Honesti belum mengungkap berapa potensi tarif PCR yang diturunkan dari harga saat ini. Dia hanya memastikan tarif masih bisa turun.

" Kami akan berusaha mengexercise lagi sampai level berapa biaya PCR ini bisa kita lakukan, tapi kami memiliki keyakinan bisa, masih punya space untuk itu," terang Honesti.

2 dari 6 halaman

Tok! Tarif Tertinggi PCR di Jawa-Bali Jadi Rp275 Ribu

Dream - Usai mendapat instruksi dari Presiden Joko Widodo, Kementerian Kesehatan menurunkan tarif tertinggi tes PCR. Tarif tertinggi Jawa-Bali ditetapkan sebesar Rp275 ribu dan luar Jawa-Bali Rp300 ribu.

" Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa tarif tertinggi pemeriksaan Real Time PCR diturunkan menjadi Rp275 ribu untuk daerah Pulau Jawa dan Bali serta sebesar Rp300 ribu untuk luar Pulau Jada dan Bali," ujar Direktur Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir, dalam konferensi pers disiarkan Kementerian Kesehatan.

Kadir mengatakan penurunan tarif ini ditetapkan setelah Kemenkes melakukan evaluasi melibatkan Badan Pengawasan Keuangan Daerah. Evaluasi dilakukan pada beberapa aspek biaya pengambilan sampel dan pemeriksaan di laboratorium.

Sedangkan komponen yang dievaluasi yaitu jasa pelayanan, reagen atau bahan habis pakai, biaya administrasi, overhead, serta biaya lainnya. Seluruhnya disesuaikan dengan kondisi saat ini.

" Kami mohon agar semua fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, laboratorium, dan fasilitas pemeriksaan lainnya yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dapat mematuhi batasan tarif tertinggi real time PCR tersebut," kata Kadir.

Sementara untuk hasil tes, Kadir mengatakan dikeluarkan dalam durasi maksimal 1x24 jam setelah pengambilan sampel. Dia meminta dinas kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan tarif maksimal PCR terbaru ini.

" Evaluasi batas tarif tertinggi pemeriksaan Real Time PCR akan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan kebutuhan," kata dia.

3 dari 6 halaman

'Mengapa Tarif Tes PCR Indonesia Tak Semurah India?'

Dream - Pemerintah memang telah menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp300 ribu. Namun, harga tersebut dinilai masih terlalu tinggi. Sejumlah pihak membandingkan harga itu dengan negara lain, khususnya India.

Setelah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, kini giliran anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Netty Prasetiyani Aher, yang membandingkan harga PCR di Indonesia dengan India.

" Harga Rp300 ribu itu masih tinggi dan memberatkan. Jika tidak ada kepentingan bisnis, harusnya bisa lebih murah lagi. India mematok harga dibawah Rp100 ribu, kenapa kita tidak bisa?," ujar Netty, dikutip dari Liputan6.com, Rabu 27 Oktober 2021.

Menurutnya, harga PCR saat ini masih membebani masyarakat. Apalagi ada wacana tes PCR menjadi syarat wajib untuk seluruh moda transportasi.

" Kalau kebijakan ini diterapkan, maka tes Covid-19 lainnya, seperti swab antigen tidak berlaku. Artinya semua penumpang transportasi non-udara yang notabene dari kalangan menengah ke bawah wajib menggunakan PCR. Ini namanya membebani rakyat," kata Netty.

4 dari 6 halaman

Mekanisme Screening PCR

Tak hanya itu, ia juga menyoroti mekanisme tes PCR sebagai screening.

Seharusnya sebelum hasil tes keluar harus menjalani karantina karena banyak kasus terjadi saat masa tunggu itu. Dalam kondisi itu, kata Netty, ada peluang seseorang terpapar virus.

" Jadi saat tes keluar dengan hasil negatif, padahal dia telah terinfeksi atau positif Covid-19," ujarnya.

 

5 dari 6 halaman

Adanya Penyelewengan

Netty juga mengingatkan pemerintah persoalan keterbatasan kemampuan laboratorium melakukan uji PCR dan adanya kemungkinan pemalsuan surat tes Covid-19.

" Jika pemerintah mewajibkan PCR, seharusnya perhatikan ketersediaan dan kesiapan lab di lapangan. Jangan sampai masyarakat lagi yang dirugikan. Misalnya, hasilnya tidak bisa keluar 1X24 jam. Belum lagi soal adanya pemalsuan surat PCR yang diperjualbelikan atau diakali karena situasi terdesak," kata Netty.

Oleh karena itu, Netty mendorong pemerintah agar menjelaskan harga dasar PCR secara transparan. Harga tes PCR sejak tahun lalu selalu turun dan berubah-ubah.

" Kejadian ini membuat masyarakat bertanya-tanya, berapa sebenarnya harga dasar PCR? Pada awalnya test PCR sempat di atas Rp 1 juta, lalu turun hingga Rp 300 ribu. Apalagi pemerintah tidak menjelaskan mekanisme penurunannya, apakah ada subsidi dari pemerintah atau bagaimana?" katanya.

" Saya berharap, pandemi Covid-19 ini tidak menjadi ruang bagi pihak-pihak yang memanfaatkannya demi kepentingan bisnis. Pemerintah harus punya sikap yang tegas bahwa seluruh kebijakan penanganan murni demi keselamatan rakyat," jelas Netty.

6 dari 6 halaman

Soal Vaksinasi dan Kewajiban PCR

Sorotan Netty tidak berhenti disitu. Ia juga mempertanyakan mengenai relevansi program vaksinasi dengan pengambilan kebijakan mewajibkan PCR.

Menurutnya, jika suatu daerah memiliki angka vaksinasi tinggi seharusnya kebijakannya bukan tes PCR.

" Pemerintah menggencarkan vaksinasi agar terbentuk kekebalan komunitas. Seharusnya tingginya angka vaksinasi jadi dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Jika di suatu daerah angka vaksinasi tinggi, kekebalan komunitas mulai terbentuk, tentu kebijakannya bukan lagi mewajibkan PCR yang berbiaya tinggi," katanya.

Sumber: liputan6.com

Beri Komentar