Cahyadi, Pembasmi Riba Si Kaum Papa

Reporter : Sandy Mahaputra
Kamis, 10 Maret 2016 20:19
Cahyadi, Pembasmi Riba Si Kaum Papa
Lelaki yang cuma lulusan tingkat sekolah dasar itu berhasil membebaskan lingkungannya dari belenggu riba, jerat para lintah darat.

Dream – Wajah perempuan paruh baya itu awut-awutan. Dia gelisah. Sebentar duduk, sesekali berdiri di teras rumahnya, Desa Babakan, Kabupaten Bogor.

Dia termenung. Tatapan mata kosong, jauh menerawang. Tangan kirinya mulai menggaruk-garuk kepala. " Aduh mau bayar pakai apa ini," tanya si wanita itu dalam hati.

Pagi itu, beban pikirannya bertumpuk. Utang Rp12 juta tak sanggup ia lunasi. Makin celaka. Jumlah yang dibayar ternyata dua kali lipat. Ada bunga yang harus dibayar ke renternir. Total utangnya kini Rp25 juta.

Hari sebelumnya, Minah--bukan nama sebenarnya--sudah didatangi sekelompok preman. Diancam. Rumah miliknya bakal disita jadi jaminan, jika lewat waktu pelunasan.

Kelimpungan. Minah pun meminta saran seorang pedagang sayur dari desa tetangga, bernama Cahyadi.

Mendengar keluhan Minah, Cahyadi siap membantu. Meski hidupnya pas-pasan, ia berani ambil risiko berhadapan dengan para preman itu.

Ia mencari cara agar utang Minah bisa terlunasi. Cahyadi nekat menemui si rentenir. Mereka berunding alot hingga janji pelunasan disepakati.

" Uang yang dipinjamnya tetap harus dilunasi. Tapi, untuk bunganya, tidak dibayarkan!" kata si pedagang sayur itu.

Cahyadi enggan membayar bunga itu. Ia beralasan tidak mau terlibat riba. Sebab, dalam ajaran Islam bunga dalam sebuah transaksi keuangan bersifat haram.

Ia pun mencari jalan keluar untuk membantu pembayaran utang. Beberapa kenalan ia hubungi untuk dimintai kesediaan membantu. Sebuah lembaga sosial bernama Al-Azhar peduli umat pun siap menyokong.

" Saya lapor ke Al-Azhar. Mereka siap bantu. Sisanya cari-cari lagi. Alhamdulillah utangnya dapat dilunasi," kata Cahyadi.

Pengalaman ini membekas dalam pikiran Cahyadi. Sebuah pertanyaan selintas menyergap. Sampai kapankah warga desanya terlilit utang yang haram?

1 dari 2 halaman

Jerat Para Lintah Darat

Jerat Para Lintah Darat © Dream

Perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW di awal Januari 2014 itu memberi kesan tersendiri bagi warga Desa Jampang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

Di akhir perayaan, Cahyadi membawa pengumuman penting. Pengumuman itu berisi pendirian lembaga pinjaman modal bernama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Pelita Jampang Gemilang.

" Setelah resmi berdiri di akhir 2013-an, saya memberi pengumuman ke warga saat Maulid. Isinya jika ada yang membutuhkan pinjaman uang dapat datang ke tempat saya," ujar Cahyadi saat berbincang dengan Dream melalui sambungan telepon, Selasa 8 Maret 2016.

Woro-woro itu disambut hangat warga. Salah seorang tetangga langsung mendatangi rumahnya. Menanyakan soal dana pinjaman itu.

Tetapi, kata Cahyadi, si tetangga justru menanyakan soal bunga dari pinjamannya. Pertanyaan lazim yang ditanyakan warga Babakan.

Mendengar pertanyaan itu Cahyadi menjawab sederhana; " Pinjaman ini tidak ada bunganya. Saya tidak mencari uang," ucap dia.

Cahyadi bercerita, sejak kakek neneknya, budaya utang berbunga memang sudah 'mengakar'. Kondisi demografis warga kampung yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang dengan modal pas-pasan jadi penyebabnya.

Kondisi itu dimanfaatkan sekelompok orang dari luar kampung untuk bekerja sebagai rentenir.

Para rentenir ini kemudian memberi pinjaman utang berbunga. " Kalau pinjaman Rp1 juta itu terimanya paling Rp950 ribu karena dipotong dengan alasan tabungan dan administrasi. Mereka yang harus melunasi biasanya diminta membayar hingga dua kali lipatnya," kata dia.

Para renterir itu biasanya memberi kesempatan para peminjam mencicil. Biasanya, mereka meminta 12 kali cicilan pengembalian utang dan bunga pinjamannya.

Jika dalam masa pengembalian, si peminjam tak segera melunasi, intimidasi siap-siap meluncur. Meski tak berujung aksi fisik, tapi cukup meresahkan.

Inilah yang kemudian menjadi tantangan tersendiri saat awal-awal kehadiran KSM.

Para rentenir marah. Kehadiran KSM itu dianggap dapat mematikan sumber pendapatan mereka.

Tantangan terbesar lainnya datang dari warga. Sebab, mereka masih memiliki pola pemikiran transaksi utang konvesional.

Cahyadi tak menyerah. Dia memberi pemahaman dan mengenalkan warga pada konsep riba dan cara berutang sesuai tuntunan Islam. Dari obrolan-obrolan sederhana, ajakan itu perlahan tapi pasti disambut warga.

Di awal berdirinya, KSM Pelita Jampang Gemilang sudah mampu meyakinkan 13 warga Desa Jampang untuk menjadi anggota. Mereka yang bergabung di KSM Pelita Jampang Gemilang diberi syarat yang mudah.

" Untuk masuk ke KSM Pelita Jampang syaratnya harus terbebas dari riba dulu," kata pria kelahiran 19 Juni 1973 itu.

Bermodal bantuan dari lembaga Al-Azhar Peduli Umat sebesar Rp35 juta, ketiga belas anggota awal ini mulai mengembangkan usaha yang dijalaninya.

" Ada yang berdagang kelontong, ada yang berdagang sayuran, dan ada jualan kerajinan," ucap dia.

Tak seperti lembaga peminjaman modal lain, KSM Pelita Jampang Gemilang memberi syarat lain yang harus diikuti anggotanya. Selain harus terbebas riba, salah satu syarat lainnya, yaitu harus mengikuti pengajian.

Kegiatan pengajian itu dia adakan sebagai bagian dari kegiatan penyetoran cicilan.

" Sistem pengembalian bisa dicicil selama 40 kali. Cicilan disetor setiap hari Senin setiap pekan sekaligus diadakan pengajian," ujar bapak dua anak ini.

Selain pengajian, anggota KSM Pelita Jampang Gemilang juga dikenai dana santunan. Itu berfungsi sebagai dana bantuan jika ada anggota KSM PJG yang mengalami sakit.

Setiap anggota yang sakit akan dibantu pembiayaannya sebesar, Rp75 ribu -150 ribu. Meski tak besar, jumlah itu telah disesuaikan dengan biaya puskesmas atau dokter di sekitar kampungnya.

Di luar dana-dana itu, KSM Pelita Jampang Gemilang juga mewajibkan anggotanya menabung. Cahyadi beralasan, tabungan itu sekaligus untuk menghindarkan anggotanya kembali meminjam kepada rentenir.

Pengelolaan seperti ini jadi daya tarik tersendiri. Lembaga berbasis komunitas itu lambat laun mulai menarik minat warga untuk bergabung.

Kini, lebih dari 25 orang warga telah bergabung ke KSM Pelita Jampang Gemilang ini. Tak hanya warga kampung tempat ia tinggal, beberapa warga dari desa tetangganya pun turut bergabung.

2 dari 2 halaman

Menolak Menyerah

Menolak Menyerah © Dream

Meski semakin diminati, Cahyadi masih berhati-hati merekrut anggota. Ia harus melihat lalu meneliti dulu bagaimana usahanya. Karena, kata dia, dana yang dipegang itu dana umat.

Meski banyak unsur Islami dalam kegiatan KSM ini, Cahyadi tak menutup diri untuk anggota dari agama lain.

Ia mempersilakan penganut agama lain untuk ikut berjuang membangun lembaga ekonomi dan dakwah ini. " Prinsipnya, saya selalu menganut apa yang diajarkan Rasullulah," kata bapak dua anak ini.

Cahyadi juga ingin lembaga yang dia dirikan ini berfungsi mengentaskan kemiskinan di desanya.

Salah satunya mengajak anggota KSM Pelita Jampang Gemilang berswasembada sayuran.

Ia pun mengajak anggotanya menanam cabai dan tomat. Dua tanaman ini dipilih bukan tanpa alasan. Cabai dan tomat, menurut Cahyadi, merupakan sayuran penting yang punya harga fluktuatif.

Program-program strategis itu tak lantas didapat Cahyadi begitu saja. Selain belajar dari pengalaman, ia juga memperoleh pelatihan manajemen dan pendampingan di organisasi oleh lembaga Al-Azhar Peduli Umat.

Menurut Koordinator Program UKM Sejuta Berdaya Al-AzharPeduli Umat, Iwan, sosok Cahyadi memang telah dikenal lama aktif dalam berbagai kegiatan sosial.

" Sejak bertemu dengan beliau kami banyak saling bertukar pandangan. Beliau aktif dalam kegiatan sosial, sehingga mempermudah didirikannya KSM itu,” kata Iwan kepada Dream.

Sayang, upaya lembaga swasta dan masyarakat itu tidak dijangkau mata pemerintah setempat. Seolah menutup mata, pemerintah hingga kini belum menyalurkan bantuan, baik itu pemodalan atau pendampingan keterampilan.

Melihat kenyataan itu Cahyadi hanya menjawab sederhana sembari berseloroh, " Kami belum dikenal kali Mas."

Cahyadi yang cuma lulusan tingkat sekolah dasar, terus berjuang membebaskan lingkungannya dari belenggu riba, jerat para lintah darat.

Upaya dan kesadarannya memajukan desa barangkali melebihi para lulusan sekolah tinggi. Semoga, masih ada banyak sosok seperti Cahyadi di negeri ini.

Laporan: Maulana Kautsar

Beri Komentar