Dream - Sejak 2014, pemerintah mencanangkan untuk mengembangkan sektor pariwisata dan lifestyle Islam sebagai bagian dari percepatan pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia. Namun, hingga saat ini, belum ada brand tetap yang digunakan untuk memperkenalkan produk baru tersebut.
Dalam pembukaan Focus Group Discussion (FGD) Halal Tourism and Lifestyle yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Selasa kemarin di Jakarta, Menteri Pariwisata RI Arief Yahya mengusulkan nama Universal Tourism untuk melabeli bisnis baru tersebut.
Menurut Arief, istilah universal relevan dengan esensi yang terkandung dalam ajaran Islam yakni rahmatan lil alamin. Secara harfiah, rahmatan lil alamin berarti berkah bagi seluruh alam semesta. Jadi, tidak hanya masyarakat agama atau golongan tertentu yang dapat menikmati keuntungan dari bisnis tersebut melainkan seluruh kalangan.
“ Kalau menggunakan kata-kata syariah, itu biasanya identik dengan larangan-larangan, syarat-syarat. Kata Universal Tourism lebih cocok,” tambah Arief.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya dalam kesempatan yang sama pun setuju dengan usulan Menteri Arief Yahya. Menurutnya, untuk memasarkan produk bisnis pariwisata dan lifestyle Islam ini yang mesti ditekankan adalah aspek perilaku dalam menjalankan bisnis. Sedangkan hukum agama, yang terasosiasi dalam kata syariah, sebaiknya disembunyikan saja.
Prinsip universalitas dalam berbisnis, lanjut Hermawan, merupakan nilai yang cocok pula dengan perkembangan strategi pemasaran yang paling mutakhir.
" Sekarang kita ada pada era marketing 3.0, yang sangat humansentris, hubungan antara produsen dan konsumen adalah sama-sama manusia. Jadi, tidak boleh ada superioritas dari siapapun termasuk hukum agama," ujar Hermawan.
" Strategi marketing ini pula yang dulu diterapkan oleh Nabi Muhammad. Jadi kita harus sudah mulai mengubah (strategi marketing) dari vertikal ke horizontal, dari yang eksklusif menjadi inklusif," tambahnya.
Sedangkan menurut Pakar Ekonomi Syariah Adiwarman Karim, apapun nama yang akan ditetapkan untuk bisnis pariwisata Islam nanti, harus bisa merepresentasi identitas ke-Indonesia-an. Sebab, disitulah kekuatan dan nilai jual yang bisa diandalkan.
“ Dalam teori-teori tourism, ada yang disebut dengan genuine destination dan artificial destination. Semua yang artifisial mungkin bisa besar seperti Disneyland, tapi tidak akan berkelanjutan,” tegas anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia itu.
“ Namun yang bersifat genuine itu akan besar dan berkelanjutan. Jadi bila kita ingin memasarkan Bali ya Bali, bukan Arab yang dipindahkan ke Indonesia,” pungkasnya.
Laporan Kurnia Yunita Rahayu
Advertisement
Tak Cuma Soto Banjar, Ini 5 Kuliner Khas Palangkaraya yang Wajib Dicicipi

Rumah Ini Pakai 1.000 Baterai Laptop untuk Sumber Listrik Selama 8 Tahun

Komunitas RAMAH Jadi Simbol Gerakan Anak Muda Aceh

Awas Jangan Salah Gate! 4 Maskapai Penerbangan Sudah Pindah ke Terminal 1B Bandara Soekarno-Hatta

Tegas! Universitas di Korsel Tolak Calon Mahasiswa dengan Catatan Kekerasan di Sekolah


Tak Cuma Soto Banjar, Ini 5 Kuliner Khas Palangkaraya yang Wajib Dicicipi

Kisah Raihan Jouzu, Siswa SMP Ciptakan Bikin Spidol dari Kulit Bawang Putih

12 Rekomendasi Wisata Alam di Aceh yang Bisa Jadi Wish List Liburan Akhir Tahun

Mengenal Komunitas Masyarakat Adat Seberuang di Kalbar: Punya Hutan Terlarang, Jengkolnya Primadona

Membedah Desa Wisata Pemuteran Bali, Destinasi Tenang yang Cocok Buat Liburan Keluarga Akhir Tahun

Mengenal Komunitas Masyarakat Adat Seberuang di Kalbar: Punya Hutan Terlarang, Jengkolnya Primadona

12 Rekomendasi Wisata Alam di Aceh yang Bisa Jadi Wish List Liburan Akhir Tahun