Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Dream - Keberadaan dua jenis obat yang diklaim bisa mengatasi Covid-19, menjadi kabar gembira bagi masyarakat dunia. Sayangnya, hal ini dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk meraup keuntungan.
Akun Instagram @febriastry mengunggah banyaknya penjual Chloroquine di berbagai e-commerce. Yang dijual pun bukan Chloroquine, melainkan Primaquine dan DHP (dihydroartemisinin-piperaquine).
Harga obat yang diklaim sebagai anti-corona itu beragam. Mulai dari puluhan hingga ratusan ribu. Pemilik akun yang juga seorang dokter Magang di salah satu rumah sakit wilayah Jawa Barat, menekankan bahwa kedua obat tersebut berbeda dengan Chloroquine.
“ Primaquine apalagi DHP (dihydroartemisinin-piperaquine) TIDAK SAMA dengan Chloroquine. Pemakaian chloroquine harus sesuai petunjuk dokter, karena potensi efek camping yang berbahaya superti gangguan irama jantung dan kebutaan,” tulisnya.
Konsumsi Chloroquine harus disertai resep dokter. Namun, sampai saat ini terlihat obat yang dijual secara online tersebut telah berhasil melakukan beberapa transaksi. Semoga melalui unggahan tersebut bisa mencegah pembelian obat dengan efek berbahaya tanpa resep dokter. (mut)
Dream - Pemerintah telah menyiapkan obat untuk menangani virus corona atau Covid-19. Obat itu sudah dicoba di beberapa negara. Dan memberikan kesembuhan.
" Anti virusnya belum ditemukan. Tapi obat ini sudah dicoba oleh satu dua negara dan memberikan kesembuhan," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat 20 Maret 2020.
Obat yang dimaksud adalah Avigan dan Chloroquine. " Kita telah mendatangkan 5.000 (Avigan) dan dalam proses pemesanan hingga 2 juta. Dan kita juga siapkan 3 juta (Chloroquine)," imbuh Jokowi.
Obat tersebut akan sampai pada pasien yang membutuhkan melalui dokter keliling dari rumah ke rumah, melalui rumah sakit dan puskesmas di kawasan yang terinfeksi.
" Kita ingin sampaikan, kita tidak diam. Tapi mencari hal dan informasi apa yang bisa agar dapat selesaikan Covid-19 ini" .
Dream - Pencarian terhadap vaksin dan obat untuk menangani virus corona terus dilakukan. Salah satu temuan terkini, yaitu, oblat influenza favipiravir.
Dilaporkan Nikkei Asian Review, obat influenza itu dibuat anak perusahaan Fujifilm Holdings. Obat tersebut dijual di pasaran dengan nama Avigan.
Pemerintah China mengonfirmasi temuan ini. Obat itu bahkan telah diuji klinis terhadap 200 pasien.
Beberapa dokter dari Jepang juga telah merawat pasien Covid-19 dengan Avigan. Tokyo telah menimbun cukup banyak obat untuk mengobati 2 juta pasien.
" Kami telah diminta oleh pemerintah untuk mempertimbangkan peningkatan produksi," kata Fujifilm.
Avigan disetujui untuk mengobati influenza di Jepang pada Maret 2014. Fujifilm menandatangani perjanjian lisensi dengan Zhejiang Hisun Pharmaceutical China pada 2016.
Beijing sudah merekomendasikan obat ini kepada penyedia layanan kesehatan.
Sementara itu, perusahaan bioteknologi Amerika Serikat (AS) Gilead Sciences sedang melakukan uji klinis untuk remdesivir, yang awalnya dikembangkan untuk mengobati Ebola, pada 1.000 pasien virus corona. Obat ini sedang diuji di AS, Jepang, Cina, dan di tempat lain.
Remdesivir masih belum disetujui di mana pun untuk penggunaan apa pun.
Kaletra, pengobatan HIV yang dibuat oleh AbbVie yang berbasis di A.S., juga telah digunakan untuk mengobati virus corona di China bersama dengan obat lain. Jika terbukti efektif, produksi obat ini berpotensi ditingkatkan dengan cepat.
Institute of Medical Science di University of Tokyo akan mulai secara eksperimental merawat pasien coronavirus dengan nafamostat, perawatan pankreatitis, pada akhir minggu ini.
Meski begitu, beberapa obat di atas masih punya efek samping. Avigan, misalnya, menyebabkan cacat lahir selama pengujian hewan dan tidak direkomendasikan untuk digunakan oleh wanita hamil.
Kerusakan hati dan pankreatitis telah diamati pada pengguna Kaletra. Efek samping untuk remdesivir masih belum jelas, tetapi dapat termasuk menurunkan tekanan darah.
Dream - Deputi Bidang Intelijen Teknologi Badan Intelijen Negara (BIN), Mayjen TNI Afini Boer, memperkirakan puncak penyebaran virus corona, Covid-19, di Indonesia, terjadi sekitar 60-80 hari sejak pengumuman kasus positif pertama pada 2 Maret 2020.
" Dengan rumus matematika kita memperkirakan dengan variabel suspected infected dan recovery, model menunjukkan akan masuk masa puncak di 60 sampai 80 hari," kata Afini, Jumat 13 Maret 2020.
Prediksi tersebut diharapkan membantu pemerintah membuat langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi penyebaran Covid-19. Selain itu, juga menjadi upaya penanganan yang bakal diambil.
" Tapi kalau langkah-langkah maksimal bisa tidak mencapai itu dan grafiknya tidak terlalu tinggi. Tentu kami berharap dengan model ini bisa membuat langkah-langkah antisipatif," kata dia.
Berdasarkan perhitungan tersebut, kata dia, puncak penyebaran Corona Covid-19 diperkirakan terjadi pada masa bulan Ramadan.
" Jadi kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan puasa," ucap dia.
Dream - Sebuah penelitian awal di China menunjukkan orang dengan golongan darah A kemungkinan lebih rentan terhadap virus corona baru. Sementara, orang dengan golongan darah O mungkin lebih tahan terhadap virus dengan nama resmi Covid-19 tersebut.
Penelitian itu dilakukan oleh tim medis di China terhadap 2.000 pasien positif terinfeksi virus corona baru di Wuhan, yang menjadi awal pusat pandemi, dan Shenzhen. Penelitian itu mendapat temuan bahwa pasien golongan darah A menunjukkan tingkat infeksi yang lebih tinggi dan cenderung mengalami gejala lebih parah.
Meski demikian, para peneliti menegaskan bahwa riset ini masih awal dan perlu dilakukan studi lebih lanjut. Mereka mendesak pemerintah Negeri Tirai Bambu dan fasilitas medis mempertimbangkan perbedaan golongan darah ketika merencanakan langkah-langkah mitigasi atau merawat pasien yang terinfeksi Covid-19.
" Orang-orang bergolongan darah A mungkin perlu secara khusus memperkuat imunitas untuk mengurangi kemungkinan infeksi," tulis para peneliti yang dipimpin oleh Wang Xinghuan, dikutip dari South China Morning Post, Rabu 18 Maret 2020.
" Pasien yang terinfeksi Sars-CoV-2 (virus penyebab Covid-19) dengan golongan darah A mungkin perlu menerima pengawasan yang lebih waspada dan perawatan yang agresif," tulis Wang.
Sebaliknya, menurut makalah yang mereka terbitkan di Medrxiv.org pada 11 Maret itu, " golongan darah O memiliki risiko yang secara signifikan lebih rendah terhadap penyakit menular dibandingkan dengan golongan darah non-O."
Dari 206 pasien yang meninggal akibat Covid-19 di Wuhan, 85 bergolongan darah A. Angka itu 63 persen lebih banyak daripada pasien bergolongan darah O, yang jumlahnya 52. Pola ini terjadi pada kelompok usia dan jenis kelamin yang berbeda.
" Ini mungkin bermanfaat untuk memperkenalkan golongan darah ABO pada pasien dan tenaga medis sebagai bagian rutin dari manajemen Sars-CoV-2 dan infeksi coronavirus lainnya, untuk membantu menentukan opsi manajemen dan menilai tingkat paparan risiko orang," tulis Wang.
Studi ini dilakukan oleh para ilmuwan dan dokter dari kota-kota di seluruh China, termasuk Beijing, Wuhan, Shanghai, dan Shenzhen. Meski demikian, studi ini belum ditinjau oleh kelompok peneliti lain. Para peneliti tersebut juga mengingatkan kemungkinan adanya risiko untuk menggunakan hasil studi sementara itu sebagai panduan praktik klinis saat ini.
Gao Yingdai, seorang peneliti dari State Key Laboratory of Experimental Haematology di Tianjin, yang tidak terlibat dalam penelitian itu mengatakan bahwa temuan ini bisa ditingkatkan dengan menambah jumlah sampel yang lebih besar.
Meskipun jumlah 2.000 pasien yang terlibat menjadi sampel bisa dibilang tidak kecil, angka tersebut masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan total pasien yang terinfeksi oleh virus corona baru, yang jumlahnya di seluruh dunia kini lebih dari 180.000.
Menurut Gao, keterbatasan lain dari penelitian ini adalah tidak memberikan penjelasan yang gamblang tentang fenomena tersebut, seperti interaksi molekuler antara virus dan berbagai jenis sel darah merah.
7 dari 8 halaman
Golongan darah ditentukan oleh antigen, suatu bahan pada permukaan sel darah merah yang dapat memicu respons imun. Ahli biologi Austria, Karl Landsteiner, menemukan golongan darah utama pada tahun 1901, menamakannya tipe A, B, AB dan O. Penemuan ini memungkinkan transfusi darah yang aman dengan mencocokkan golongan darah pasien.
Golongan darah bervariasi dalam suatu populasi. Di Amerika Serikat, sekitar 44 persen populasi adalah tipe O, sementara sekitar 41 persen bergolongan A.
Di Wuhan, yang berpopulasi sekitar 11 juta, orang bergolongan darah O sebesar 32 persen, sedangkan A sebanyak 34 persen di antara orang sehat. Sementara di antara pasien yang terinfeksi Covid-19, sekitar 38 dan 25 persen.
Menurut penelitian sebelumnya, perbedaan golongan darah telah diamati pada penyakit menular lainnya, termasuk virus Norwalk, hepatitis B, dan sindrom pernapasan akut (Sars).
Gao mengatakan, studi baru tersebut, " mungkin membantu para profesional medis, tetapi warga negara biasa tidak harus menganggap statistik terlalu serius."
" Jika Anda bergolongan darah A, tidak perlu panik. Itu tidak berarti Anda akan terinfeksi 100 persen," kata dia.
" Jika Ada tipe O, itu tidak berarti Anda juga benar-benar aman. Anda masih perlu mencuci tangan dan mengikuti pedoman yang dikeluarkan oleh pihak berwenang," tambah Gao.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN