MUI: Pelegalan Nikah Beda Agama Picu Konflik

Reporter : Syahid Latif
Rabu, 10 September 2014 20:01
MUI: Pelegalan Nikah Beda Agama Picu Konflik
Menurut MUI, pelegalan nikah beda agama tidak akan menguntungkan masyarakat. UU Perkawinan sudah merupakan suatu penyelesaian yang baik, karena sudah disepakati oleh semua tokoh lintas agama.

Dream - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan akan menimbulkan keberatan-keberatan yang bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat. Menurut MUI, pelegalan nikah beda agama tidak akan menguntungkan masyarakat.

" Ini mengundang kemarahan, coba (lihat) nanti akan ada demo-demo yang menolak ini, dan ini justru memancing reaksi sehingga menimbulkan suasana panas," kata Wakil Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin, sebagaimana dikutip Dream dari laman resmi MUI, Rabu 10 September 2014.

UU Perkawinan itu digugat dua alumnus dan seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia ke Mahkamah Konstitusi, Damian Agata Yuvens, Anbar Jayadi, dan Lutfi Saputra. Mereka meminta MK melegalkan pernikahan beda agama.

Para penggugat berargumen bahwa Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang secara implisit melarang pernikahan beda agama, seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Mereka menilai pasal tersebut menghalangi perkawinan antar warga negara dengan hambatan yang secara internasional sudah dilarang, yaitu agama dan ras.

Namun Ma'ruf berpendapat gugatan itu akan menimbulkan pertengkaran lagi, sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat. Selama ini, agama lain secara umum tidak sepakat adanya perkawinan beda agama. Bagi orang Hindu, misalnya, kalau ada agama lain mau menikah, harus dihindukan dulu.

Sementara, tambah Ma'ruf, dalam fiqh ada pendapat yang memperbolehkan seorang Muslim menikahi Ahli Kitab, sedangkan muslimah mutlak tidak boleh. " Tetapi MUI sudah mengambil pendapat yang mu’tamad, tidak boleh menikah dengan penganut agama lain, seperti yang ada di sejumlah kitab fiqh," tutur dia.

" Sehingga orang menikah dengan beda agama itu tidak akan memperoleh legalitas baik dari sisi agama maupun negara. Bagi mereka yang tetap menginginkan menikah dengan agama lain, negara sudah memberikan peluang melalui catatan sipil. Jadi bukan melalui KUA. Karena di KUA untuk sama-sama Islam," tambah Ma'ruf.

Menurut dia, UU ini sudah merupakan suatu penyelesaian yang baik, karena sudah disepakati oleh semua tokoh lintas agama. " Masalah sah atau tidak sah itu harus dilihat dari sudut agama, negara hanya mencatat dan mengadministrasi saja," katanya. Ma'ruf berharap MK menolak gugatan itu, karena kalau MK menerima gugatan itu akan mengundang masalah baru, bahkan bisa menimbulkan konflik.

Ma’ruf mengaku tidak terkejut ketika masalah seperti ini muncul, karena memang ada pihak-pihak yang ingin adanya paham kebebasan ditampung. Sehingga menginginkan perkawinan beda agama dibolehkan, namun kalau masalah seperti ini ditampung akan mengundang kemarahan pihak lain.

" Kita ini di Indonesia ada radikalisme agama dan radikalisme sekuler, jadi sesuatu yang berbau syariah ditolak, seperti Perda-Perda bernuansa syariah coba ditolak, mereka ingin menghilangkan nilai-nilai agama. Kedua, radikalisme agama ingin mengganti ini dengan negara agama, mereka (radikalisme agama) sama seperti kaum sekuler yang ingin menghilangkan agama, sehingga negara ini jadi sekuler," papar dia.

Isu seperti ini, tambah dia, kadang-kadang muncul, kadang-kadang tiarap. " Dulu sudah dibahas, Islam atau sekuler, akhirnya dipilih, tidak Islam dan tidak sekuler, tetapi Pancasila, walaupun Indonesia bukan negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam bisa hidup, lha kaum sekuler ingin negara ini menjadi sekuler. Kita menghadapai ekstrimis kanan, kiri, serta separatis. Radikalis itu ada yang agama, ada yang sekuler," kata Ma'ruf. (Ism)

Beri Komentar