Menindik Telinga/ Foto: Shutterstock
Dream - Menindik bayi perempuan jadi hal yang lazim dilakukan di Indonesia. Saat tahu jenis kelamin bayi di kandungan perempuan, anting pun sudah disiapkan. Proses menindik biasanya dilakukan oleh bidan atau tenaga kesehatan.
Ada juga orangtua yang memilih untuk tidak menindik telinga anak perempuannya dengan alasan tak mau menyakiti, termasuk juga menghargai hak anak akan tubuhnya. Menindik telinga anak perempuan boleh dibilang merupakan kebiasaan, tak ada yang mewajibkan.
Dalam Islam sendiri, ada perbedaan pendapat para ulama terkait apakah boleh bayi perempuan ditindik. Dikutip dari BincangMuslimah.com, berdasarkan buku Women and Gender in Islam; Historical Roots of Modern Debate (1992) karya Leila Ahmed, tradisi tindik telah muncul pada era peradaban bangsa Asyyiria yang menempati hulu sungai Tigris jauh pada 1.200 sebelum Masehi.
Tradisi ini ternyata menunjukkan subordinasi perempuan yang memberlakukan tindik kepada perempuan sebagai hukuman dari suaminya. Ketetapan itu dibuat dan diberlakukan sebagai undang-undang negara.
Sedangkan pada masa sesudahnya, tindik telinga pada perempuan menjadi simbol perhiasan. Bahkan pada abad-abad berikutnya, tindik teling dilakukan pada perempuan saat mereka masih bayi. Dalih yang dikemukakan oleh para orangtua adalah memudahkan atau mempercepat pemasangan perhiasan pada bayi.
Juga untuk meminimalisasi rasa sakit saat ditindik. Padahal, saat bayi atau sudah besar tentu rasa sakit saat ditindik tetap ada. Jika kita memandang dari perspektif fikih, mayoritas ulama membolehkan tindik pada perempuan karena bertujuan untuk memasang perhiasan dan hal itu tidak dilarang dalam agama.
Adapun tindik dalam bahasa Arab adalah Tsaqbu al-Udzun atau Takhrimu al-Udzun. Sejarah tindik dalam Islam pertama kali dilakukan oleh Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibunda Nabi Ismail.
Dalam kitab an-Nawadir karya Syekh Syaikh Abu Muhammad bin Abu Zaid al-Qairowani, diceritakan bahwa Sarah sangat cemburu kepada Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim yang dinikahinya. Lantas, Sarah bersumpah akan memotong tiga bagian tubuh Hajar. Akan tetapi, Nabi Ibrahim tidak ingin membiarkan perbuatan itu terjadi tapi juga tidak mau Sarah melanggar sumpahnya. Maka Nabi Ibrahim menyiasatinya dengan membolehkan Sarah menindik kedua telinga Hajar dan menyunatnya sebagai ganti dari sumpah Sarah yang ingin merusak bagian tubuh Hajar.
Jika kita melihat sejarah tindik dari kisah Sarah dan Hajar, tentu kita tahu bahwa tindik pada masa itu bukan bertujuan untuk berhias, melainkan untuk menyakiti.
Ulama fikih mayoritas membolehkan menindik telinga yang diperuntukkan untuk menghias diri. Seperti mazhab Syafi’i, Hanbali, Maliki, dan Hanafi. Hal tersebut diterangkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami dan al-Kharasyi karya Muhammad al-Kharasyi, ulama dari kalangan mazhab Maliki. Begitu juga dalam kitab Tabyin al-Haqa`iq Syarh Kanzu Daqa`iq karya Ahmad Syalbi juga disebutkan,
Artinya: Dibolehkan menindik telinga anak perempuan, bukan laki-laki karena di dalamnya terdapat tujuan untuk berhias. Tindik telinga juga dilakukan (oleh para perempuan) di zaman Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallama hingga saat ini dan tidak dibantah.
Landasan para ulama bahwa menindik telinga bagi perempuan yang bertujuan untuk dipasang perhiasan, seperti anting-anting adalah merujuk pada hadis Nabi saat melakukan khutbah shalat Id. Pada kala itu Nabi Muhammad menasihati bahwa kebanyakan perempuan masuk neraka dikarenakan tidak mau bersedekah, lalu setelah itu, para perempuan menyodorkan perhiasannya, termasuk anting-anting untuk disedekahkan. Begini redaksinya,
Artinya: Dari Ibnu Abbas, “ sesungguhnya Nabi Shallallhu alaihi wa sallama shalat Id dua rakaat dan tidak melakukan shalat baik sebelumnya atau sesudahnya. Kemudian Nabi mendatangi perempuan dan ditemani oleh Bilal. Lalu Nabi memerintahkan para perempuan itu untuk bersedekah, maka para perempuan itu lalu melemparkan anting-anting mereka dan kalung-kalung mereka (kepada Bilal). (HR. Bukhari no. 964)
Sementara, sebagian ulama lain juga melarang tindik telinga pada perempuan karena hal tersebut dianggap tidak bermanfaat dan justru menyakiti diri sendiri. Seperti Ibnu al-Jauzi dan Ibnu ‘Uqail yang pendapatnya dikutip dalam kitab Mughni al-Muhtaj karya Syekh Khatib Syarbini yang merupakan ulama dari kalangan mazhab Syafi’i.
Artinya: Tidak diperbolehkan menindik telinga untuk dipasangkan anting karena hal tersebut terdapat unsur menyiksa yang tidak ada manfaatnya.
Sedangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya` Ulumuddin juga senada dengan dua ulama yang melarang tindik telinga,
Artinya: Sesungguhnya hal tersebut (menindik telinga) menyakitkan dan berkonsekuensi qishah (untuk pelakunya), maka tidak diperbolehkan kecuali jika ada kebutuhan. Sedangkan berhias dengan anting tidaklah penting.
Penjelasan lengkapnya baca di sini.
Dream - Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi orangtua yang senantiasa mengajarkan akhlak pada keturunannya. Akhlak adalah sikap, cara berpikir dan berkepribadian sesuai dengan norma dan nilai-nilai Islam.
Semua anak harus 'dimodali' dengan ajaran akhlak yang baik sesuai agama. Untuk membentuknya tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus dilakukan sejak dini bahkan sejak janin dalam kandungan.
Dikutip dari BincangMuslimah.com, Syeikh Nawawi, salah satu ulama Indonesia dalam buku Muhammad al-Bantani: Terjemah Maroqil ‘Ubudiyah: Syarah Bidayah Al-Hidayah:289) mengingatkan para orangtua untuk mengajari lima nilai dasar akhlak pada buah hatinya.
Nilai ini bukan saja untuk si anak, melainkan harus diketahui oleh pendidik serta orangtua yang mempunyai tugas menanamkan nilai-nilai akhlak kepada anak sejak dini. Apa saja?
1. Mematuhi perintah orangtua
Selalu patuhi orangtua selama perintah itu bukan mendurhakai Allah SWT. Mematuhi orangtua perintah yang sangat kuat dari Allah SWT. Meskipun kita sebagai anak selalu berbakti kepada orangtua, tidak akan pernah dapat menyamai apa yang telah orangtua lakukan kepada anak. Apabila ajakan orang tua dalam sebuah bentuk kedurhakaan pada Allah, maka perintah mereka tidak wajib untuk di patuhi.
2. Tak boleh jalan depan orangtua
Hindari berjalan di depan kedua orang tua, tetapi berjalan di samping atau di belakangnya. Jika mengharuskan anak berjalan di depan orangtu maka tidaklah mengapa. Dalam Islam, ini merupakan etika dimana seseorang yang lebih muda tidak berjalan didepan orang yang lebih tua meskipun orang itu bukan orang tua kandung kita.
3. Menjawab panggilan orangtua dengan lembut
Ajarkan anak untuk menjawab panggilang orangtua dengan lembut, serta tidak bermuka masam kepada orangtua. Menjawab orangtua dengan kata kasar bukan saja menyakiti hati orangtua, tapi bisa juga mendatangkan kemurkaan Allah.
Banyak saat ini anak tersenyum dan ceria di depan teman-temannya namun bermuka masam saat bersama orangtuanya. Jangan sampai hal itu terjadi.
4. Pergi dengan izin orangtua
Tidak berpergian kecuali dengan izin kedua orangtua. Salah satu bentuk kepatuhan anak kepada orang tuanya ialah meminta izin. Orangtua haruslah memberikan kepahaman kepada anak, bahwa dengan mereka meminta izin sejatinya memberikan kebaikan untuk dirinya sendiri.
5. Bersyukur
Bersyukur kepada Allah atas karunia yang diberikan kepada orangtua yang beriman dan mendoakan kedua orangtua. Ajaran syeikh Nawawi sangat penting ditanamkan pada anak-anak kita, yaitu menekankan tindakan akhlak dan membentuk akhlak yang baik pada anak.
Selengkapnya baca Bincang Muslimah