Sutini (Dream/Amrikh)
Dream - Siang itu matahari tengah terik-teriknya menikam ubun-ubun. Seorang ibu tertunduk layu menatap keranjang bawaannya. Raganya yang renta bersandar sejenak di tumpukan karung beras.
Belum kering keringat membasahi wajah keriputnya. Tiba-tiba si ibu tersentak kaget, begitu suara klakson truk memekik telinga. " Bu, air dua. Rokok dua batang," teriak seorang sopir dari balik kaca truk yang dibuka setengah.
Sutini, nama si ibu itu terperanjat. Tangannya bergerak cepat mengambil barang pesanan di lemari kecil dan keranjang. Berjalan sempoyongan menopang tubuhnya yang letih, Sutini berusaha cekatan melayani pembeli.
" Semuanya Rp 5 ribu mas," kata Sutini sambil memberikan plastik kresek hitam berisi barang pesan. Begitu selembar rupiah sudah mengempal di tangan, ia bergegas kembali ke lapak meladeni pembeli lain.
Hari itu, dagangan Sutini laris manis. Perempuan separuh abad ini seperti kekurangan waktu. Tak ada waktu selonjorkan kaki. Membuang penat. Sekedar menyeka keringat yang membasuh wajah saja, hampir tak sempat.
Sejak matahari belum sepenuhnya terbangun, Sutini sudah mengais rejeki di pasar Induk Cipinang. Sudah 25 tahun ia menjadi pedagang asongan dengan lapak secuil, menumpang kios pedagang beras.
" Alhamdulillah hari ini (dagangan) lumayan mbak. Bisa buat makan keluarga," kata ibu satu anak itu, saat berbincang dengan Dream, akhir pekan kemarin.
Debu dan asap knalpot kendaraan yang lalu-lalang di pasar, jadi makanan rutin Sutini saban hari. Tak masalah. Yang terpenting baginya, dagangan air mineral, rokok dan minuman kemasan bisa habis terjual. Dapur tetap mengepul.
Awalnya, perempuan asal Madiun ini mengaku tak memiliki lapak menjajakan dagangan. Ia harus menenteng box kecil dan keranjang keliling pasar. Namun, seorang pemilik kios beras berbaik hati memberikan ia tumpang, tanpa dipungut biaya.
Sutini hanya diminta membersihkan lapak mini di depan kios beras usai berjualan. Buatnya itu lebih dari cukup. Setidaknya tak perlu lagi bersandar di badan truk yang terpakir ketika terserang letih.
" Saya tidak mau merepotkan orang lain atau menerima belas kasihan orang lain, apalagi ngemis. Selama saya punya tenaga, kesehatan lebih baik seperti ini (jualan asongan) walaupun pendapatan tidak seberapa," kata perempuan yang rambutnya mulai dipenuhi uban.
Cerita dari mulut Sutini makin enteng mengalir. Nenek yang tak tamat SD ini rela banting tulang demi membiayai keluarga terutama anak semata wayangnya, Lusiana Wati, 24 tahun.
Sang suami, Subadi, 52 tahun, yang bekerja serabutan penghasilannya tak mampu menentu. Sulit rasanya jika ia menopang sendirian.
Sedangkan anaknya, Wati lulusan SMK, memang sudah menikah. Tapi nasibnya sebelas dua belas. Suami Wati bukan orang berada, cuma penjual bensin enceran. Sehari-hari buat makan saja susah.
Tak mau malah menjadi beban. Dengan sisa tenaga di usia yang berajak senja, Sutini ikut berjibaku mencari nafkah tambahan.
" Kasian liat anak dan cucu saya. Kehidupannya sama seperti saya. Kalau saya tidak kerja nanti malah membebani mereka. Lumayan penghasilan saya bisa buat bantu mereka makan," kata Sutini tersenyum.
Setiap hari dagang asongan, Sutini bisa mengantongi untung Rp 50 ribu, itu pun kalau ramai. Jika sepi, ia cuma bisa bawa pulang uang Rp 20-25 ribu.
Sutini pantang menengadahkan tangan, lebih baik ia....
Matahari makin bergeser ke barat. Jarum jam sudah menunjuk ke angka lima. Sudah waktunya Sutini kembali ke pulang. Apalagi dagangan hari ini lumayan banyak terjual.
Sutini yang tengah berbincang dengan Dream meminta izin sembari membenahi dagangan dan membersihkan lapak. Begitu rampung. Ia mengajak Dream berkunjung ke kontrakannya, melanjutkan cerita.
Menyusuri gang sempit dengan jalan bercetak semen sejauh 500 meter dari pasar Induk Cipinang, sampailah di kontrakan Sutini yang berukuran 3x4 meter. Bangunan itu jauh dari layak.
Daun pintu kontrakan nyaris hilang dimakan rayap. Hanya gorden kumal yang menutupnya. Temboknya sudah kusam, sebagian cat di dinding mengelupas.
Begitu masuk, ada kasur lusuh terlipat dan sebuah lemari kayu besar yang sudah keropos. Sehari-hari ia makan lesehan, beralaskan dipan. Untuk memasak ia harus berbagi dengan penghuni lain di luar kamar, termasuk kamar mandi.
" Saya berjualan dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Berangkat kalau rumah sudah bersih dan menyiapkan makan," kata Sutini membuka obrolan.
Sudah 25 tahun lebih, Sutini dan suami tinggal di situ. Ia betah tinggal di sana karena uang sewanya murah. Pemiliknya juga baik, sering kasih kelonggaran kalau bayar telat. Dan sang anak, wati juga tinggal di salah kamar kontrakan itu.
" Meski kondisinya gini saya bersyukur. Lagi juga anak sama cucu dekat juga. Jadi ga kahwatir kalau dia butuh apa-apa, ada saya dan suami," imbuhnya.
Dari hasil jualan Sutini dari pagi sampai sore, biasanya hanya cukup buat makan, kalau ada lebih digunakan bayar kontrakan. " Saya ikhlas dan bersyukur dengan kehidupan yang saya jalani sekarang."
Meski hidup sebagai pengasong, bukan berarti Sutini mau menengadahkan tangan. Tak mau mengemis yang kemungkinan jauh lebih mudah tanpa harus bersusah payah menawarkan dagangannya.
Dari kisah Sutini kita bisa belajar; seberat-beratnya beban yang dipikul itu tak lantas membuat seorang ibu mengeluh. Dalam benak badan berpeluh itu tersimpan beribu asa yang dipikul demi keluarga dan sang anak.
Laporan: Amrikh Palupi
Advertisement
Fakta-fakta Psikosomatis, Gangguan Fisik yang Dipicu Kondisi Psikologis
Ponpes Al Khoziny yang Ambruk, Ternyata Usianya Lebih dari Satu Abad
Dedikasi Tinggi Gen Z, Sedang di Tebing Dimention di Grup Kantor Auto Balas
Foto Rose Blackpink Dicrop, Akun Medsos Majalah Fashion Ini Banjir Kritikan Pedas
Gelar Community Gathering, Dompet Dhuafa Jalin Sinergi Kebaikan dengan Ratusan Komunitas
5 Sumber Cuan Sabrina Chairunnisa, Istri Deddy Corbuzier di Tengah Isu Keretakan Rumah Tangga
Tampil Cantik di Dream Day Ramadan Fest Bersama Beauty Class VIVA Cosmetics
Detik-detik Uya Kuya Kembali ke Rumah Usai Dijarah, Kondisinya Memprihatinkan
Keseruan Hairstyling Bareng Viva Cosmetics dan Remington di Campus Beauty Fair
Satu Korban Ambruknya Ponpes Al Khoziny Ditemukan Meninggal dalam Posisi Sujud
Fakta-fakta Psikosomatis, Gangguan Fisik yang Dipicu Kondisi Psikologis
Ponpes Al Khoziny yang Ambruk, Ternyata Usianya Lebih dari Satu Abad