Pemain Basket Berhijab, Raisa (www.ngobrolbasket.com)
Dream – Bagai tersambar petir di siang bolong. Kabar itu membuat jantung Raisa serasa copot. Sejatinya sudah dinyana, tapi sungguh tak ia harapkan: dia dicoret dari tim nasional bola basket.
Sore itu, raut Raisa mendadak muram. Air mata tumpah. Melangkah gontai, keluar ruang pelatih, sang penyampai pesan. Dia patah hati. Harapan membela negara di palagan basket Sea Games Singapura kandas...
“ Manajer dan pelatih tahu kalau aturan internasional belum membolehkan pakai hijab tapi kenapa saya dipanggil,” tutur Raisa saat berbincang dengan Dream, Rabu 7 Desember 2016.
Wanita bernama lengkap Raisa Aribatul Hamidah tersebut terpukul. Jangankan gelar yang diidam-damkan, melanjutkan pelatnas pun dia tak diperkenankan. Dia harus berkemas, pulang ke Surabaya.
Kegagalan tahun 2014 itu bukan yang pertama. Tujuh tahun sebelum itu, dia juga menelan kenyataan pahit. Kala itu, Raisa yang digadang jadi play maker timnas basket usia di bawah 18 tahun juga dicoret dari pelatnas.
Memprihatinkan memang. Pencoretan itu bukan karena kualitas Raisa buruk. Semua mahfum, perempuan kelahiran Ponorogo itu srikandi basket jempolan. Pemain berpostur 157 sentimeter ini lincah di lapangan, menjadi andalan klubnya, Surabaya Fever.
“ Setidaknya ada pengakuan Raisa sebagai pemain putri terbaik Indonesia,” tutur Raisa.
Itu bukan omong kosong. Lihatlah dribelnya, bola seolah lengket di tangan. Dia juga punya ciri khas yang tak dimiliki pebasket putri Tanah Air, lompatan yang tinggi.
“ Setelah diukur lompatan saya mencapai 60 sampai 65 sentimeter, padahal normalnya cewek itu hanya 30 sentimeter saja.”
Tapi, langkahnya harus terhenti. Lagi-lagi, dia tak bisa tampil di laga internasional karena berhijab! Dari 23 pemain, dia mampu melaju hingga ke 18 besar dalam seleksi dua tahun silam itu.
“ Augie [manajer timnas basket] menegaskan kalau saya pulang bukan karena kalah saingan, tapi karena terhimpit aturan,” imbuh Raisa.
Aturan Federasi Bola Basket Internasional (FIBA) memang melarang simbol agama di dalam lapangan. Hijab menjadi salah satunya.
***
Perempuan 26 tahun ini menekuni basket sejak duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Kala itu, usianya menginjak 15. Bakat basket sudah menonjol. Dia bahkan pernah ditunjuk mewakili Ponorogo ke tingkat Provinsi Jawa Timur.
Permainan Raisa memang cemerlang. Berbagai jenjang dia tembus, hingga ke tingkat nasional. Tapi itu tadi sandungannya, dia selalu diminta melepas hijab. Mahkota para Muslimah.
" Sejak awal saya sudah disuruh buka hijab, tapi pas SMP saya cuek saja jadi atlet yang pakai hijab sendirian,” kata pemain klub Surabaya Fever itu.
Dia masih ingat betul saat diminta melepas hijab oleh sang pelatih sebelum tanding di sebuah ajang. Pada malam hari, dia tak bisa memejamkan mata. “ Dan pas sebelum tanding tanya ke panitia meskipun akhirnya dibolehkan,” kenan Raisa.
Bagi Raisa, hijab bukan sekadar fesyen. Kerudung merupakan syariat Islam, agama yang diyakini. Apalagi, sejak kecil diajarkan oleh sang ayah untuk menutup auratnya.
Dia memang dibesarkan di lingkungan taat. Keluarganya bahkan berujar, Raisa harus meninggalkan hobi olah raga jika harus melepas hijab. Itulah pesan sang ayah, yang merupakan ulama di kampung halamannya. “ Saya tegaskan saya enggak pernah goyah.”
“ Satu pesan almarhum yang saya ingat sampai sekarang, ‘Kamu jangan melepas hijab kiarena apapun keadannya belum tentu seluruh dunia dan isinya bisa membeli hijab kamu, jadi jilbab kamu itu mahal’,” kenang Raisa pada pesan sang ayah.
Prinsip itulah yang dibawa Raisa ke lapangan basket. Dilema, sudah pasti. Satu sisi dia wajib menutup aurat, tapi di lapangan, dia tak mungkin berhijab. Tapi ambisinya menjadi pemain basket tak bisa dibendung.
Halangan itu sempat mendatangkan ide konyol. Suatu saat, muncullah fikiran itu. Dia berencana menipu wasit. Dia berencana membuat kostum yang sama dengan warna kulit.
“ Saya memikirkan solusinya gimana kalau pakai legging warna kulit, tapi saya kesulitan bikin penutup kepalanya. Kalau mau pakai swim cap kan leher tetap kelihatan. Tapi hal itu belum sampai saya lakukan,” kenang dia.
Penolakan demi penolakan itu dia hadapi dengan tegar. Dan keteguhan hatinya berbuah manis. Raisa mendapat ‘permakluman’ dari tim dan otoritas basket nasional, Perbasi.
Tapi toleransi diberikan bukan tanpa syarat. Raisa tetap boleh ikut bertanding dengan berhijab, asal timnya mendapat sanksi technical foul. Ketentuan ini membuat tim lawan mendapat ‘bonus’ berupa dua kali kesempatan untuk melakukan tembakan langsung.
“ Berlangsung terus selama tiga tahun. Tim saya dihukum, tapi alhamdulillah, tim, pelatih, dan manager saya tidak keberatan meskipun mayoritas mereka non-Muslim,” tutur Raisa.
***
Pengalaman itulah yang membuat Raisa membajakan tekad. Dia ingin Muslimah berhijab dilakukan sama di atas lapangan. Toh, ruh pertandingan adalah sportifitas. Hijab tak membuat prinsip itu berkurang, apalagi berkurang.
Bagi Raisa, hijab adalah identitas Muslimah. Dia tak pernah mendengar hijab dapat mencederai pemain atau lawan. Hijab juga jauh dari riuh politik ataupun terorisme yang memicu Islamophobia.
Raisa kini memang tak seperti dulu. Kesibukannya sebagai dosen di Universitas Islam Batik Surakarta membuat aktivitas lapangan basket berkurang. Namun, tekad mencari keadilan untuk para Muslimah berhijab tak surut.
“ Dukungan pemerintah secara legal melalui Perbasi belum pernah saya rasakan secara nyata. Dengan keterbatasan saya menyimak dan mendengar informasi ya. Tapi kita ini orang ndeso bisa apa, ya kita berjuang dengan petisi dunia maya saja,” ujar dia.
Ya, mulai awal tahun lalu Raisa memang menggalang dukungan melalui laman change.org. Melalui petisi itulah dia meminta FIBA menganulir aturan, membolehkan Muslimah bermain basket dengan berhijab.
Bagi Raisa, larangan mengenakan hijab saat bertanding basket tidak masuk akal. Aturan itu membuat Muslimah di sekujur Bumi tak bis atampil di laga internasional. Muslimah dari Amerika, India, Qatar hingga Bosnia merasakan diskriminasi itu.
Akhirnya, Raisa berhasil mengumpulkan 18 orang bernasib sama untuk mengajukan petisi pada awal 2015. Tuntutan itu terus bergulir di dunia maya. Alhamdulillah, desakan mereka akhirnya mengetuk keputusan FIBA untuk mengubah peraturan mengenai penutup kepala.
Saat itu, FIBA berjanji untuk merevisi aturan, namun tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Mereka meminta waktu selama dua tahun untuk meneliti, menyurvei, dan melakukan uji coba, terhadap penghapusan larang memakai penutup kepala.
“ Akhir tahun ini jatuh tempo, tapi sejak Juli lalu sudah kami desak pakai petisi itu tapi ya gitu belum ada keputusan sampai sekarang,” ucap Raisa.
Meski demikian, dia tak akan lelah berjuang. Dia yakin tuntutan itu tak akan sia-sia. Jika bukan di dunia, dia yakin gerakan ini akan menuai pahala di akhirat sana. “ Sampai kapan pun saya masih akan memperjuangkan meskipun tidak secara real terjun ke lapangan,” kata Raisa.
Advertisement
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation