Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Dream - Anak-anak memang kadang sulit sekali diatur dan diberitahu. Terkadang agar bauh hati menurut kita memberikan janji-janji atau mungkin mengancam akan mengambil mainannya.
Cara ini memang dalam sekejap bisa membuat anak menuruti kata orangtua. Faktanya, dua hal tersebut sangat tidak bagi bagi perkembangan anak dan berdampak negatif pada komunikasi orangtua dan anak
Dilansir dari Fatherly, sebuah penelitian menunjukkan bahwa ancaman bisa menghilangkan rasa percaya antara anak dan orang tua. " Anak-anak sangat pintar dan mereka bisa merasakan dan mengetahui apakah orangtuanya sedang membuat janji palsu atau tidak. Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak kecil sangat bisa menepati janji. Mereka berharap orang lain juga bisa melakukan hal yang sama," kata Michele Borba, seorang psikolog.
Anak-anak juga mengambil kemampuan itu dari perilaku orang dewasa. Sebuah penelitian di Universitas Rochester menunjukkan bahwa punya interaksi yang bisa dipercaya dengan orang dewasa dapat memengaruhi perilaku anak di masa depan.
Saat orang tua mengingkari janji, hal itu bisa membuat anak percaya bahwa tindakan tersebut bisa diterima oleh orang lain. Jika kita ingin anak kita bisa dipercaya, maka kita sebagai orang tua harus menjadi sosok yang bisa mereka percaya.
Sementara, ancaman kosong juga punya konsekuensi yang lebih dalam pada anak. Saat orang tua menggunakan ancaman kosong sepanjang waktu, mereka merusak pemahaman anak tentang aturan dan konsekuensi.
Anak bisa saja berpikir bahwa aturan sebenarnya bisa ditaati atau tak ditaati tergantung pada situasinya. Lebih jauh, hal ini juga bisa membuat anak kesulitan mengendalikan diri.
Alih-alih menggunakan janji dan ancaman kosong, ada baiknya kita menggunakan cara lain. Salah satunya, kita bisa mengambil langkah awal sebelum anak mulai melakukan tindakan yang buruk.
Menurut Michele Borba, anak-anak diperkirakan bisa melakukan perilaku buruk yaitu saat lapar, bosan, lelah, atau membutuhkan perhatian. Sebelum hal itu terjadi, kita bisa mengambil langkah untuk mengantisipasinya untuk menghindari ledakan kemarahan.
" Cara ini juga bisa membantu orang tua mengurangi stres. Anak-anak akan meniru apa yang mereka lihat dalam diri orangtua, makanya kita harus memperlihatkan perilaku baik di depan anak," kata Borba.
Selengkapnya baca di Diadona.id.
Dream - Rutinitas berubah drastis selama pandemi Covid-19. Anak-anak harus bersekolah dari rumah, ayah pun harus ekstra bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Bagaimana dengan ibu? Tugasnya juga bertambah berkali-kali lipat. Mengurus rumah tangga, mendampingi anak belajar, termasuk juga kewajiban ekonomi bagi ibu bekerja. Hal ini membuat level stres orangtua, terutama ibu meningkat berkali-kali lipat.
Sebuah insiden memilukan baru saja terjadi di Lebak, Jawa Barat. Seorang ibu menganiaya anaknya yang berusia 8 tahun hingga tewas. Alasannya karena sang anak susah mengerti saat belajar di rumah.
Tentunya hal ini membuat miris banyak orang. Psikolog Ikhsan Bella Persada, M.Psi, menjelaskan, kekerasan anak merupakan satu bentuk perilaku yang dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis seorang anak. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk merusak, melukai, dan merugikan anak.
" Dalam masa pandemi virus corona, tingkat kekerasan pada anak memang bisa meningkat. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Tapi, faktor utama yang mungkin memicu tindakan ini adalah kondisi ekonomi," kata Ikhsan.
“ Ketika orang tua stres karena kondisi keuangan yang semakin menipis, mereka jadi melampiaskan rasa marah dan kecewa pada anak,” sambungnya.
Tidak hanya itu, Ikhsan juga menegaskan bahwa perubahan rutinitas dan ekonomi yang terjadi selama pandemi turut berperan dalam tingginya kasus kekerasan anak yang terjadi beberapa waktu belakangan.
“ Ekonomi, intensitas bertemu, pola interaksi, semuanya berubah. Ada orang tua yang melampiaskan stres karena kondisi ini. Dia berhenti kerja atau uang sehari-harinya terbatas, akhirnya meletakkan kekesalan ke anaknya,” tutur Ikhsan.
" Anak adalah sosok inferior, sedangkan orang tua adalah sosok superior yang merasa punya kuasa lebih atas apa yang terjadi dalam keluarga. Inilah yang menyebabkan anak jadi sasaran empuk bagi orang tua ketika mereka sedang marah, stres, atau kecewa,” lanjutnya.
Menahan emosi memang bukan hal yang mudah, terutama jika stres dan cemas sudah menguasai diri. Meski demikian, sebagai orangtua yang seharusnya mengayomi anak, mengendalikan emosi merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan.
“ Sebagai orangtua, penting bagi Anda untuk memahami kapasitas masing-masing anak. Jika merasa emosi atau sedang tidak stabil, ada baiknya menarik diri dari orang sekitar untuk menenangkan diri. Sehingga, tidak melakukan tindak kekerasan pada anak,” jelas Ikhsan.
Selengkapnya baca di sini.
Advertisement
Profil Ousmane Dembele, Mantan Pemain Barcelona yang Raih Ballon d'Or 2025
Viral Kritikan Keras Menu MBG yang Kurang Lokal dari Ahli Gizi
Potret Prabowo Bertemu Presiden FIFA di New York, Bahas Apa?
Menyala! Koleksi 3 Jam Tangan Menteri Bahlil, Semuanya di Atas Rp100 Juta
Zaskia Mecca Ungkap Kondisi Putrinya Masih Trauma Berat Pasca Insiden Pemukulan
Menkeu Purbaya Nilai Inflasi Singapura-Malaysia Lebih Jelek Dibanding RI
Rangkaian acara Dream Inspiring Women 2023 di Dream Day Ramadan Fest Day 5
4 Temuan Jepang yang Kini Sangat Populer dan Dipakai Seluruh Dunia
Komunitas Marah-Marah di Platform X Diteliti Mahasiswa UGM, Ini Hasilnya!
Fakta di Balik Mata Kedutan yang Seringkali Dianggap Tanda Mistis
Profil Ousmane Dembele, Mantan Pemain Barcelona yang Raih Ballon d'Or 2025
Viral Kritikan Keras Menu MBG yang Kurang Lokal dari Ahli Gizi