Bemo Pintar Kinong

Reporter : Maulana Kautsar
Rabu, 20 April 2016 21:15
Bemo Pintar Kinong
Dengan niat ingin memajukan pendidikan, Sutino rutin mendatangi sekolah-sekolah ketika jam-jam istirahat pertama, di sela-sela waktunya mencari nafkah.

Dream - Ponsel Sutino berdering keras. Sigap ia menjawab. Di ujung sambungan telepon terdengar suara seorang kawan. Memberi kabar, namun isinya di luar nalar!

" Nong, aku melihat bemo-mu di dalam pesawat," kata teman Sutino.

Kinong keheran. Bercanda, kata dia membatin. Bagaimana bisa bemo miliknya berada di dalam pesawat? Seharian ini bemo berwarna putih itu masih dia gunakan menarik penumpang.

" Bagaimana bisa?" tanya Sutino penasaran.

" Ini lho. Kamu dan bemo-mu masuk koran," ucap temannya berseloroh.

Kinong tertawa. Beberapa giginya yang tanggal tampak. Kumis tebalnya terangkat mengikuti gerakan tawa bibirnya.

Sutino atau kerap disapa Kinong merupakan pengemudi becak motor (bemo) tak biasa. Sebab, di tengah mulai meredupnya pamor angkutan beroda tiga itu, ia justru berani berkreasi.

Dengan kepedulian sosialnya yang tinggi, Kinong menciptakan perpustakaan keliling dengan bemo berwarna putih keluaran Daihatsu Midget 1964 miliknya.

****

Awal mula terciptanya bemo keliling itu berkat perkenalan Kinong dengan Henrico Halim, Dosen Desain Komunikasi Visual di Universitas Tarumanegara pada 2010 silam.

Henrico yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aikon, ingin membuat proyek internet keliling yang diberi nama Netling.

" Awalnya bemo itu mau digunakan untuk proyek internet keliling," kata Kinong kepada Dream, di rumahnya Karet Pasar Baru Barat II, RT 001/ RW 002, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin, 18 April 2016.

Kinong bercerita, menurut Rico, bemo dipilih sebagai moda proyek tersebut karena bentuknya yang ramping dan mampu memuat banyak benda. Bentuk bemo yang ramping memudahkan akses keluar masuk gang.

Sebelumnya, bemo milik Kinong sempat akan dibeli orang. Kinong bahkan sudah menyetujui harganya. " Di 2010 itu tarikan mulai sepi. Makanya sempat mau saya jual," ucap dia.

Namun tiba-tiba, muncul tawaran lain dari Henrico. Henrico diminta 'menghidupkan' Netling. Tetapi, proyek itu akhirnya malah tak berjalan karena suatu sebab yang Kinong tak tahu.

Tak berselang lama mereka kembali terlibat proyek baru. Kali ini menciptakan bemo listrik. " Mereka malah membantu menciptakan bemo listrik," kata Kinong.

Sempat berjalan beberapa bulan, namun lagi-lagi kendala menghambat. Masalah utama yang dihadapi adalah onderdil bemo listrik yang harus dipesan dari luar negeri.

Belum lagi, bemo listrik kesulitan mendapatkan tempat pengisian 'bahan bakar'. Meski berakhir, justru proyek itulah yang mengawali terbentuknya proyek perpustakaan berjalan menggunakan bemo.

Di 2012, Kinong yang ditemani Arif Adityawan, Dosen Universitas Tarumanegara, kemudian bertemu sosiolog Imam Prasodjo. Sosiolog yang terkenal dengan rambut putihnya itu menawari Kinong proyek perpustakaan.

Selama setahun berjalan, proyek bemo perpustakaan itu mulai sukses dilakoni Kinong. Ia berkeliling dari sekolah satu ke sekolah lain.

Dengan niat ingin memajukan pendidikan, Sutino rutin mendatangi sekolah-sekolah ketika jam-jam istirahat pertama, di sela-sela waktunya mencari nafkah.

" Biasanya setelah narik empat hingga lima kali, terus menyiapkan perpustakaan keliling. Biasanya ya seminggu sekali," ucap dia.

Saat mengunjungi sekolah, tak jarang Kinong harus berhadapan dengan birokrasi yang sulit. Berbagai prosedur administrasi harus dipenuhi. Jika izin sekolah menghalangi, ia kerap menyelipkan 'mantra khusus'.

" Kite door to door saja. Kalau dianggap salah, tinggal minta maaf," ucap pria tujuh orang anak ini.

Untungnya, jarang ada penolakan dari pihak sekolah. Umumnya sekolah-sekolah tersebut merasa terbantu dengan kehadiran perpustakaan keliling Kinong.

Setahun berjalan, bemo listrik yang biasa Kinong gunakan mendapat musibah. Namun langkahnya tak terhenti begitu saja. Kinong tetap meneruskan kebiasaannya mengendarai perpustakaan keliling.

" Ya gimana udah jadi kebiasaan. Untuk sementara pakai bemo bermesin biasa," ucap dia.

Dengan mulai dikenalnya bemo perpustakaan keliling, makin banyak pula tawaran proyek sosial yang datang menghampiri Kinong. Dan akhirnya, dengan bantuan Komunitas Seni Ruang Rupa (RuRu) Kinong kembali menciptakan proyek lain bernama bemo berbioskop (Bemoskop).

****

Bemoskop dibuat untuk melestarikan budaya layar tancap yang mulai tergerus oleh kemunculan bioskop-bioskop modern. Proyek tontonan rakyat itu pun mendapat sambutan baik dari pihak Dinas Pariwisata DKI Jakarta.

" Di 2013, Dinas Pariwisata melalui RuRu, membantu screen, laptop, proyektor, dan sound system," ucap dia.

Kinong tak mematok iuran khusus kepada warga yang menikmati bemo perpustakaan ataupun bemoskop. Segala operasional bemo ia usahakan lewat kantongnya sendiri.

Bahkan, ketika proyek sosialnya ini sudah mulai dikenal masyarakat, bantuan pemerintah tak kunjung datang. Inilah yang ia pertanyakan.

" Nggak mungkin Pak Camat atau Lurah nggak tahu potensi ini," ucap dia.

Meski begitu, ia enggan meminta. Bagi Kinong, meminta bukanlah jalan terbaik. Dia memilih untuk tetap konsisten dan bersabar menjalani aktivitas sosialnya.

Kesabaran Kinong tak sia-sia. Seiring waktu, banyak orang dan lembaga, datang membantu. Misalnya saja untuk urusan menyediakan buku. Selama ini, stok buku-buku yang ada di perpustakaannya disokong oleh seorang penulis, Farida Indriastuti.

Perjuangan Kinong kian berbuah manis. Awal Februari 2016 lalu ia mendapat kesempatan berangkat umrah dari salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Ia terkejut. Merasa belum pantas mendapatkan hadiah itu. Sebab, selama ini ia merasa salat yang dijalankan masih bolong-bolong.

Terlebih, ada kendala lain yang mengganjal hatinya. " Kalau saya berangkat, anak dan istri saya makan apa?" ucap dia.

Tetapi, kegigihan si pemberi hadiah dan kawan-kawannya dalam mengurus segala keperluan umrah, mampu meluluhkan hati Kinong. Ia akhirnya berangkat ke Tanah Suci.

Di sana keajaiban terjadi. Sebab, entah karena apa, ia bisa salat di depan mimbar Rasulullah di Masjid Nabawi, Mekkah.

" Awalnya saya hanya ingin menolong ibu-ibu yang terdesak-desak. Eh, saya malah kedorong sampai depan. Padahal kata pemandu umrah saya, untuk ke tempat itu jemaah harus berebut," ucap dia sembari tersenyum.

Kinong tak hanya bangga. Usahanya membuat warga bergembira dan melek ilmu mendapat simpati.

Berkali-kali dia harus jatuh bangun dengan bemo yang dulu di kacanya tertempel stiker " Pemburu Jablay" . Nama yang belakangan disadari Kinong teramat negatif dan kemudian diubahnya menjadi " Pemburu Lay" .

Tak terbayang oleh Kinong jalan hidup seperti apa yang akan dialaminya, jika dulu ia tak mengenal transportasi publik yang bakal dihapus Pemprov DKI Jakarta itu.

" Padahal dulu, di 1980-an mengemudikan bemo itu sudah paling keren. Untungnya kolektor bemo asal Kanada tidak jadi membeli bemo itu," kata dia.

Kini, bemo Kinong telah menjadi alternatif hiburan bagi warga Karet dan sekitarnya. Bemo Kinong sukses menunjukkan diri, bahwa yang tua bisa bertranformasi untuk jadi lebih berguna.

Beri Komentar