Dream - Sebagian besar masyarakat dunia mengharapkan bank sentral AS, The Federal Reserve menaikkan suku bunganya. Namun, bagi beberapa negara, keputusan itu justru menyakitkan.
Kenaikan suku bunga AS dikhawatirkan memberikan dampak global, dan negara berkembang memang punya alasan kuat untuk merasa demikian.
Selama AS menerapkan kebijakan suku bunga rendah, banyak pemerintah dan perusahaan meminjam modal dalam bentuk dolar dalam satu dekade ini. Alasannya harga yang masih rendah. Investor pun ramai-ramai menyelematkan uang mereka dengan menerbar uang ke Turki, Malaysia, dan Amerika Latin dengan harapan mendapatkan hasil yang baik.
Isu kenaikan suku bunga AS yang telah bergulir sejak tahun lalu menyebabkan hampir US$ 1 triliun dana ditarik dari pasar negara berkembang pada periode Juli 2014 hingga Agustus 2015. Negara berkembang ini sudah merasakan ketegangan dengan penguatan dollar AS, penurunan harga komoditas, dan perlambatan ekonomi di China.
Seperti dikutip dari CNN, Kamis, 17 Desember, berikut tiga negara yang paling berisiko akibat kenaikan suku bunga The Fed:
Brasil
Brasil tengah mengalami krisis ekonomi yang cukup dalam. Pertumbuhan ekonominya menciut hanya 1,7 persen pada kuartal III, mata uangnya melemah 31 persen terhadap dollar AS, dan tercetak inflasi tertinggi dalm 12 tahun terakhir.
Fanthom Consulting menyebutkan Brasil merupakan negara paling rentan atas kenaikan suku bunga The Fed ini. Menurut Bank for International Settlements, Brasil memiliki utang dengan mata uang dollar terbesar kedua setelah China.
Perusahaan di Brasil meminjam miliaran dollar dalam satu dekade terakhir dan berpotensi gagal bayar jika dollar terus menguat.
Turki
Turki merupakan negara yang paling diuntungkan ketika The Fed memotong suku bunganya mendekati nol dulu. Hal ini menyebabkan Turki diserbu investor asing sehingga pertumbuhan investasinya mencapai 9 persen pada tahu 2010 dan 2011.
Namun, kondisi kini sudah berubah, pertumbuhan negara ini pun diperkirakan hanya 3 persen pada tahun ini. Turki pun akan menderita dengan penguatan dolar karena impornya lebih banyak dari ekspor.
Lembaga pemeringkat utang, Standard & Poor telah mengingatkan bahwa sektor perbankan negara itu terlalu bergantung pada pinjaman luar negeri jangka pendek, sekitar US$ 125 miliar atau 8 persen dari PDB negara. Nilainya akan meningkat seiring dengan penguatan dolar.
Afrika Selatan
Afrika Selatan adalah negara yang banyak melakukan pinjaman dalam dollar ketika mata uang negeri Paman Sam itu tengah melemah. Menurut Capital Economics, Afsel memiliki persyaratan pendanaan eksternal tertinggi di dunia. Hal ini menyebabkan cadangan mata uang yang jauh lebih kecil dari jumlah yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dan membayar impor. Dengan penguatan dollar, kebijakan itu akan memberikan dampak buruk.
Perekonomian Afesl pun tengah hancur seiring dengan merosotnya harga komoditas. Pasalnya negara ini bergantung pada perdagangan tambang.
Pasar Negara Berkembang Lain
Rusia, Venezuela, dan Nigeria merupakan negara yang bertopang pada ekspor komoditas. Dengan penguatan dollar karena kenaikan suku bunga The Fed, harga komoditas justru akan lebih menurun.
China pun akan terkena dampak karena pemerintah mulai membiarkan yuan untuk perdagangan bebas. Namun, tidak seperti pasar negara berkembang, China dengan ekspor yang besar dan cadangan devisa memberikan perlindungan yang cukup ketika terjadi goncangan.
Advertisement
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN
Trik Wajah Glowing dengan Bahan yang Ada di Dapur