Pilihan Pengobatan Yang Bisa Dilakukan Pasien Gagal Ginjal
Dream - Gagal ginjal bisa diobati dengan berbagai cara. Pengobatan yang paling banyak dilakukan adalah hemodialisis atau cuci darah. Menurut Parulian Simandjuntak yang merupakan Managing Director Fresenius Medical Care Indonesia, sebanyak 98 persen penderita gagal ginjal melakukan hemodialisis.
Pasien yang memilih pengobatan hemodialisis hanya perlu datang ke fasilitas kesehatan. Dalam proses ini pasien relatif pasif, hanya dokter dan perawat yang aktif mengerjakan prosedur pengobatan. Pengobatan kedua adalah peritoneal dialysis (PD) atau bisa juga disebut CAPD.
" CAPD bukan hal baru. Thailand dan Hong Kong sudah melakukan PD," ungkap Parulian di Manhattan Hotel, Jakarta Selatan, Rabu 11 Maret 2020.
CAPD merupakan pengobatan yang bisa dilakukan dimana saja oleh pasien. Setiap waktu, pasien harus mengganti cairan yang dialirkan ke perut. Cara ini cocok untuk orang yang sering bepergian dan ingin lebih praktis.
Sedangkan, pemilihan pengobatan terakhir adalah transplantasi ginjal. Sayangnya, menurut Aida Lydia yang merupakan Ketua Umum PB Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), memang belum banyak donor ginjal di Indonesia.
" Selama ini, masih donor hidup. Tapi, pemerintah sudah mulai inisiasi untuk donor kadaver atau donor mayat," katanya.
Diharapkan usaha pemerintah bisa segera terwujud karena transplantasi ginjal merupakan pengobatan yang dapat mengembalikan keseluruhan fungsi tubuh. Pasien pun tidak perlu khawatir dampak buruk penyakit ginjal terhadap organ lainnya.
" Kalau fungsi ginjal yang ditransplantasikan bagus dan cocok, akan bisa menggantikan fungsi total ginjal dan pasien bisa sembuh total. Tapi, kelemahannya harus mencari donor," ungkap Aida.
Dream - Penyakit ginjal merupakan salah satu penyebab kematian yang sering kali tak terdeteksi oleh penderitanya. Mereka yang menderitakan penyakit ini memiliki risiko mengalami kematian 8-10 kali lipat dibandingkan orang sehat. .
Ketua Umum PB PERNEFRI, Aida Lydia, menjelaskan penyebab kematian akibat penyakit ginjal umumnya terjadi karena si penderita tidak melakukan deteksi dini sebelumnya. Mereka biasanya baru mengetahui penyakit ini saat merasakan sakit yang teramat perih.
Deteksi dini penyakit ginjal sebetulnya cukup mudah dilakukan. Kamu hanya perlu mengecek tekanan darah dan gula darah.
Risiko seseorang mengidap penyakit ginjal cenderung lebih besar pada mereka yang memiliki riwayat hipertensi atau tekanan darah 140/50.
Sedangkan deteksi melalui gula darah bisa diketahui jika kamu memiliki kadar lebih dari 126 mg/dL saat puasa atau 200 mg/dL 2 jam setelah makan.
Jika salah sati dari gejala tersebut terdeteksi di tubuh kamu sebaiknya mulai memerhatikan dengan serius kondisi ginjalmu.
Selain tekanan dan kadar gula darah, penyakit ginjal juga berisiko menyerang mereka yang punya kebiasaan buruk merokok atau menjalani pola hidup tak sehat.
Risiko terserang penyakit ginjal juga bisa dikenali dari tingkat kegemukan. Jika BMI (body mass index) berada di rentang 18,5 sampai kurang dari 25, kamu masih bisa bersyukur karena memiliki bibit yang ideal.
Untuk menghindari tubuh terpapar penyakit ginjal, mulainya dengan mengurangi konsumsi makanan tinggi gula, garam dan lemak. Perhatikan kadar ketiga bahan makanan itu saat akan mengonsumi makanan.
" Batas konsumsi gula per hari sekitar 50 gram. Ini batas semua yang dikonsumsi per hari, bukan cuma gula atau garam tambahan. Sedangkan, garam 2000 mg per hari," ungkap Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes dalam acara Peringatan Hari Ginjal Sedunia di Manhattan Hotel, Jakarta Selatan, Rabu 11 Maret 2020.
Selanjutnya, cari tahu apakah kamu memiliki keturunan pengidap penyakit ginjal, hipertensi atau diabetes. Untuk pemeriksaan lebih jauh, lakukan cek urine di laboratorium.
Kalau urine mengandung protein atau sel darah merah, kemungkinan besar ginjalmu bermasalah. Karena kedua hal tersebut tidak seharusnya terkandung dalam urine.
Pemeriksaan ini dilakukan setahun sekali untuk usia di bawah 50 tahun. Sedangkan di atas usia 50 atau yang memiliki faktor risiko, bisa melakukan pengecekan sebulan sekali.
Dream - Demi menjaga kebersihan dan menjaga daya tahan tubuh, kita dianjurkan untuk selalu cuci tangan dengan sabun. Terutama di tengah merebaknya kasus corona di Indonesia.
Bagaimana jika tak ada sabun cuci tangan? Alkohol 70% bisa diandalkan. Bagi yang belum tahu, hand sanitizer yang banyak disediakan di ruang publik dan rumah sakit merupakan campuran alkohol 70%.
Mungkin Sahabat Dream penasaran, mengapa harus 70%, padahal ada presentase yang lebih besar. Elizabeth Scott, profesor mikrobiologi Simmons Center for Hygiene and Health mengungkap bahwa alkohol 70% cenderung lebih efektif untuk fungsi disinfektan.
" Alkohol dengan persentase lebih tinggi, lebih terkonsentrasi. Itu berarti alkohol 70 persen, memiliki lebih banyak air di dalamnya. Tujuh puluh persen alkohol mengandung air yang lebih banyak. Ini memungkinkan campuran tersebut melintasi membran sel, agar bisa membunuh kuman," kata Scott.
Scott menjelaskan aturan praktis ini hanya berlaku ketika sedang berusaha menangkis bakteri.
Lalu apakah bisa menangkal virus? Efektivitas alkohol terhadap virus tergantung pada jenis virunya.
Virus dengan struktur selubung — termasuk virus flu, flu biasa, HIV, dan virus korona baru — dapat dapat dinonaktifkan dengan larutan alkohol (seperti pembersih tangan) 60 persen atau lebih.
Sementara jenis virus lain seperti norovirus cenderung tidak akan mati hanya denga alkohol.
© Dream
Secara praktis, bagaimana aturan ini bisa diterapkan pada kebersihan rumah?
Jika memotong ayam mentah di atas meja dapur dan ingin mendisinfektan untuk mencegah kontaminasi silang bakteri E. coli dan salmonella, bisa menggunakan alkohol 70 persen.
Tetapi jika ingin mendisinfeksi permukaan yang dicurigai terpapar virus, misalnya jika seseorang di rumah terserang flu, jenis alkohol yang disarankan adalah yang kadarnya di atas 60 persen.