Kepincut Keindahan Lombok, Programmer Asal Belanda Pilih Islam

Reporter : Ervina
Jumat, 10 Oktober 2014 11:00
Kepincut Keindahan Lombok, Programmer Asal Belanda Pilih Islam
Berniat untuk berlibur, kehadiran Chaim di Lombok justru menyisakan cerita lain dan mengubah jalan hidupnya. Ia akhirnya memilih Islam dan mendirikan yayasan untuk anak-anak jalanan.

Dream - Meski terbilang sukses saat usianya masih terhitung muda, tidak lantas membuat Chaim Joel Fetter larut dengan limpahan materi yang dimilikinya. Di saat banyak orang berpikir hidupnya sudah serba berkecukupan, justru ia merasakan ada satu bagian yang hilang dalam hidupnya.

Pria keturunan Belanda ini pun merasa seakan menjalani kehidupan tanpa makna. Mengingat kala itu, saat ia berusia 24 tahun, limpahan materi dan karirnya sebagai seorang technopreneur terbilang sukses hingga membuatnya mampu membeli apa pun yang diinginkannya.

" Saat itu saya merasa ingin mendapatkan kebahagiaan dan arti hidup. Karena hal-hal material tidak selalu membuat kamu bahagia, ada saat di mana kamu merasa bahagia justru kamu merasakan ada bagian yang kurang dari hidup kamu," ucapnya saat berbincang dengan Dream.

Merasakan hidup yang haus akan makna, ia pun memutuskan untuk berlibur dan memilih Asia sebagai tujuan utamanya. Disela kesibukannya membesarkan usaha ecommerce, ia pun memilih Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Indonesia sebagai destinasi liburannya.

Yang mengherankan di antara keenam negara yang dikunjunginya, ia merasakan getaran jiwa yang hebat saat menyambangi Lombok, Indonesia. " Saya merasa pulang kampung saat ke Lombok, padahal saat itu pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Indonesia," katanya.

Meski merasa senang dengan keramahan dan sikap santun warga lokal, pemandangan miris anak jalanan membuat hatinya tersentuh. Berbeda dengan orang yang memilih untuk memberikan uang, pria yang cukup familiar dengan makanan Indonesia sejak kecil ini mengaku hal tersebut bukan solusi untuk masalah anak jalanan.

" Saat itu saya belum bisa bahasa Indonesia, jadi saya minta tolong teman untuk tanya dia (anak jalanan) mau apa. Dia bilang mau sekolah, jadi saya ajak dia ke SD Negeri di Mataram. Saya temui kepala sekolah untuk tanya berapa biaya sekolah, mereka bilang biaya sekolah gratis cuma harus beli buku, seragam dan sepatu," ungkapnya.

Ia pun memastikan ada orang yang bersedia mengurus anak jalanan yang tidak memiliki keluarga tersebut. Akhirnya salah seorang guru menyatakan kesediaannya asalkan Chaim sanggup menanggung biaya hidup sehari-hari selama setahun.

Sekembalinya dari Indonesia, beberapa bulan kemudian ia berusaha menghubungi guru yang merawat anak-anak jalanan. Ia pun tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia saat mendengat kabar jika anak-anak tetap sekolah dan tetap melanjutkan sekolah. Sejak saat itu ia bertekad untuk kembali lagi ke Lombok dan bisa membantu lebih banyak anak jalanan dengan uang pribadinya.

1 dari 2 halaman

Jual Perusahaan Demi Yayasan

Jual Perusahaan Demi Yayasan © Dream

 

Senang dengan kemajuan anak-anak, Chaim pun kian membulatkan tekad untuk kembali ke Lombok dan membangun yayasan untuk menaungi anak-anak jalanan dan anak terlantar yang masih memiliki keinginan untuk sekolah. Ia pun memutuskan untuk menjual semua usaha yang dirintisnya sejak muda, untuk mewujudkan rencana memiliki resort diving di Gili Trawangan.

Sayang rencana bisnisnya tidak dapat berjalan mulus, bahkan ia tidak mengantongi ijin untuk membeli tanah usahanya tersebut. Akhirnya ia pun memutuskan untuk lebih fokus mewujudkan mimpi menjalankan yayasan dan melakukan riset ke sejumlah 400 anak jalanan.

Dengan menyewa sebuah rumah, mencari guru dan konselor, saat itu ada beberapa anak jalanan berusia 6-12 tahun yang tinggal dan diurus untuk kembali mengenyam pendidikan. Menariknya selama pilot project tersebut, ada liputan dari sebuah televisi Belanda mengenai apa yang dilakukannya di Lombok. Sesaat setelah tayangan dokumenter tersebut, ia pun mendapatkan 7.000 donasi dari Belanda.

Dengan donasi yang didapatnya, ia gunakan untuk membeli tanah seluas 1,5 hektare yang kemudian dibangun 3 panti, sebuah musholla, Sekolah Dasar dan sekolah keterampilan, klinik, dan kantor. Tidak dapat dipungkiri jika niat mulianya tersebut sempat diragukan oleh warga setempat, mengingat ia dianggap sebagai orang kulit putih yang memiliki tujuan tertentu.

" Pas mereka ragu dan bilang saya Kristen, saya bilang kalau saya tidak punya agama dan bukan pemeluk Kristen. Mereka lebih bingung ketika saya bilang kalau saya percaya tuhan tapi saya tidak punya agama," kenangnya.

Dengan niat tulusnya, ia hanya berusaha untuk bisa membantu banyak orang karena dengan begitu ia merasa hidupnya dapat lebih bermakna. Melihat anak-anak yayasan mengaji dan sholat lima kali dalam sehari kembali memunculkan pertanyaan besar mengenai keberadaan Tuhan dalam diri Chaim.

Hingga akhirnya di tahun 2010, ia memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di musholla yayasan dan dibimbing oleh tuan guru yang merupakan salah satu pengajar. Sejak saat itu ia mulai merasa benar-benar bisa menjadi bagian dari masyarakat, mengikuti keyakinan dan belajar banyak tentang Islam.

Namun keraguan akan sejumlah pertanyaan masih belum terjawab masih menjadi teka teki. Ia justru kini merasakan sabar dan lebih mengerti jika suatu saat nanti akan ada waktunya ia bertemu dengan Sang Khalik. Setelah memeluk agama Islam, Chaim pun menggunakan nama Abdul Hayat sebagai nama Islamnya.

2 dari 2 halaman

Kesulitan Diawal Memeluk Islam

Kesulitan Diawal Memeluk Islam © Dream

Sebagai seseorang yang baru memeluk Islam, Chaim pun banyak belajar termasuk salah satunya memenuhi kewajiban berpuasa di bulan Ramadan. Sebagai orang yang aktif ia mengaku lebih sulit menahan haus, dibandingkan menahan lapar.

Kepada Dream ia menyebut menjalani kewajiban berpuasa di Indonesia lebih berat dibandingkan di Belanda. Cuaca panas membuat ia merasa lebih cepat haus, meskipun di negara asalnya agama Islam sebagai agama minoritas namun ia merasa tidak terlalu direpotkan dengan kewajiban berpuasa. Ia menyebut ada hal lain yang terasa lebih sulit di awal keislamannya.

" Memang terasa sulit, tapi cuma berapa hari aja selebihnya biasa. Tapi kalau puasa sebenarnya bukan pengalaman tersulit, saya merasa kesulitan terbesar setelah jadi muallaf itu pas disunat," kenang pria yang beristrikan perempuan asal Surabaya ini.

Kala itu sesaat setelah memeluk Islam, ia bertemu dengan orang Kementrian Sosial yang telah mengetahui keislamannya. Sebagai seorang lelaki muslim ia dianjurkan untuk segera dikhitan dan tidak boleh menunda. Meski takut namun karena disebut akan sembuh dalam sehari, ia pun berupaya membulatkan tekad dan memberanikan diri melangkah ke salah satu tempat khitan di Jakarta.

Setahun setelah menjadi muallaf, ia pun memperistri wanita asal Surabaya yang merupakan kerabat dari ibu guru yang mengurus anak angkat di awal kehadirannya di Lombok. Kini ia memilih untuk kembali ke minat awalnya mengembangkan bisnis ecommerce dan fokus mengurus Yayasan Peduli Anak yang telah memiliki 100 anak yang menetap dan 300 anak dari program family care.

Meski telah memeluk Islam, namun Chaim masih belajar banyak tentang sholat, membaca Al Quran dan ajaran lain yang harus diterapaknya sebagai seorang muslim. Bahkan penyuka lari dan diving ini mengaku memliki satu keinginan besar yang belum bisa diwujudkan.

" Saya pengin umroh atau pergi haji, tapi ngga sendiri harus sama keluarga. Cuma belum tahu kapan, yang penting sekarang saya belajar banyak dan mendalami agama saya dulu. Seperti misalnya baca Al Quran dan tahu arti dari setiap isi yang saya baca," pungkasnya.

Beri Komentar