Bayi Di Pekanbaru Meninggal Dunia Diduga Karena Kabut Asap. (Merdeka.com)
Dream - Bayi belum bernama di Pekanbaru itu usianya baru tiga hari. Dokter menyatakan bayi seberat 2,8 kilogram itu meninggal dunia pada Rabu, 18 September 2019.
Diagnosa dokter, bayi itu sesak napas dan terkena virus akibat asap kebakaran hutan.
" Seteleh diperiksa, dokter bilang anak saya terdampak virus karena asap. Sesak napas," kata ayah korban Evan Zendrato, dilaporkan Merdeka.com, Kamis, 19 September 2019.
Evan dan istrinya, Lasmayani, tak dapat menyembunyikan kesedihan.
Evan bercerita, sempat berusaha membawa anak semata wayangnya ke Rumah Sakit Syafira Pekanbaru. Tapi, di tengah perjalanan, sang bayi meninggal dunia.

Evan mengatakan, anaknya lahir secara normal di klinik dekat kediamannya di Jalan Lintas Timur, Kilometer 17, RT 02 RW 04, Kelurahan Kulim, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru, Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB.
" Istri dan anak saya dinyatakan sehat oleh bidan. Sempat menginap di klinik itu selama satu malam," ucap di.
Esok harinya, bayi itu dibawa pulang ke rumah. Tapi, pada Selasa, 17 September 2019, kabut asap pekat melanda Kota Pekanbaru berkategori berbahaya untuk dihirup.
Bayi itu mulai batuk dan demam panas hingga mencapai 40 derajat Celcius. Merasa khawatir, Evan kembali menghubungi bidan untuk menangani bayinya.
Bidan sempat memberikan obat penurun panas. Di saat kondisi sang bayi memburuk, Ervan dan istrinya juga mengalami batuk sambil menjaga anaknya. Mereka rela tak tidur demi menjaga bayinya.
" Kamis pagi, saya telepon bidan. Lalu ketika bidan datang, cek suhu bayi panas, pertama 40 lalu di kompres biar demam turun dikasih obat hasilnya juga turun," ucapnya.
Pada Rabu, kondisi bayi kembali memburuk. Bibir bayi itu menghitam serta demam meninggi. Suhu sang bayi mencapai 41 derajat Celcius. Bahkan bayi mengalami batuk dan pilek.
Dia pun kembali memanggil bidan untuk memberikan penanganan medis. Kemudian bidan meminta agar bayi tersebut dirujuk ke rumah sakit Syafira, di Jalan Jenderal Sudirman. Jarak rumah korban ke rumah sakit sekitar 40 menit.
" Kami terus berjalan sampai RS Syafira ditangani dokter sana. Sekitar 5 menit, kata mereka anak kami tak bisa diselamatkan. Orang rumah sakit bilang, anak kami kena virus kabut asap, pak," ucap dia.
Sumber: Merdeka.com/Abdullah Sani
Dream - Kebakaran hutan dan lahan di Pulau Kalimantan dan Sumatera pada September 2019 menyebabkan kabut asap di sejumlah wilayah.
Kabut asap ini membuat banyak sekolah ditutup, jadwal penerbangan pesawat tertunda, dan ancaman kesehatan.
Satelit milik Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika Serikat (NASA), Aqua menunjukkan kondisi asap tebal di atas pulau Kalimantan. Dengan teknologi bernama The Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), NASA memotret kondisi Borneo pada 15 September 2019.
Dari foto tersebut, tampak asap melayang di atas Pulau Borneo dan negara-negara di pulau itu.
Tampak pula, api yang membakar sekitar lahan gambut di Kalimantan. Satelit Aqua juga telah mendeteksi bukti kebakaran di wilayah ini sepanjang Agustus 2019. Tetapi jumlah dan intensitas kebakaran meningkat pada pekan pertama September.

Kondisi kabut di Pulau Kalimantan (Foto: NASA)

Kabut asap di atas Pulau Kalimantan (Foto: NASA)
Kebakaran hutan menjadi peristiwa umum di hutan Kalimantan pada September dan Oktober.
NASA menyebut, kebakaran hutan berhubungan dengan penanaman kelapa sawit dan pulp akasia.
Operasional Land Imager (OLI) di Landsat 8 memperoleh gambar yang menunjukkan, kebakaran di beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan selatan.
Selain sebaran api dan asap, NASA juga menemukan data karbon organik pada 17 September 2019. Teknologi GEOS forward processing (GEOS-FP), mensimulasikan pemodelan karbon organik dari proses kebakaran hutan.

Kondisi karbon di atas Pulau Kalimantan (Foto: NASA)
GEOS-FP juga mencerna data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk memproyeksikan perilaku bulu-bulu. Dalam hal ini, asap tetap relatif dekat dengan sumber api karena angin pada umumnya lembut.
Model ini mencerna data aerosol baru pada interval tiga jam, data meteorologi baru pada interval enam jam, dan data kebakaran baru setiap hari.
Peta gambut yang tersedia melalui Pusat Atlas Penelitian Kehutanan Internasional Kalimantan menunjukkan bahwa banyak kebakaran terjadi di dalam atau di dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.
Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan, seringkali membara di bawah permukaan selama berbulan-bulan sampai musim hujan tiba.
Advertisement


IOC Larang Indonesia Jadi Tuan Rumah Ajang Olahraga Internasional, Kemenpora Beri Tanggapan

Ada Komunitas Mau Nangis Aja di X, Isinya Curhatan Menyedihkan Warganet

Wanita 101 Tahun Kerja 6 Hari dalam Seminggu, Ini Rahasia Panjang Umurnya

Kenalan dengan CX ID, Komunitas Customer Experience di Indonesia

Ranking FIFA Terbaru, Indonesia Turun ke Peringkat 122 Dunia

Warung Ayam yang Didatangi Menkeu Purbaya Makin Laris, Antreannya Panjang Banget