Memahami Hukum Menjual Daging Kurban Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanafi

Reporter : Arini Saadah
Kamis, 22 Juni 2023 18:45
Memahami Hukum Menjual Daging Kurban Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanafi
Bagaimana hukumnya? Simak berikut ini!

Dream – Pada momen Hari Raya Idul Adha, masyarakat Muslim akan menyembelih hewan kurban dan membagikannya ke orang-orang sekitar. Pada momen tersebut, banyak didapati penjualan daging, kulit, dan kepala hewan kurban. Di daerah yang ekonominya tinggi, banyak hewan kurban yang disembelih. Akibatnya masyarakat pun tidak sempat mengolah kulit dan kepala hewan kurban.

Namun di lain sisi, ada orang yang ekonominya rendah sehingga terpaksa menjual daging kurban yang didapatkan. Penjualan daging kurban bisa juga terjadi karena daging yang diterima terlalu melimpah dan tidak sempat mengolahnya.

Padahal dengan cara yang tepat, daging kurban dapat disimpan dalam waktu yang lama di dalam freezer. Bagaimana jika ada yang tetap menjualnya? Lantas bagaimana pula hukum menjual daging kurban menurut pandangan Islam? Mari simak penjelasan selengkapnya di bawah ini!

1 dari 5 halaman

Pendapat Imam Nawawi

Motif menjual daging kurban ini tentu ada berbagai macam hal. Imam Nawawi menjelaskan secara tegas mengenai praktik penjualan bagian tubuh hewan kurban ini. Menurutnya, berbagai macam teks redaksional dalam madzhab Syafi’i menyatakan menjual hewan kurban yang meliputi daging, kulit, tanduk, rambut dan kepala semuanya dilarang. Begitu pula jika menjualnya untuk upah penjagal dan biaya operasional kurban.

Dalam Kitab Al-Majmu’, Maktabah Al-Irsyad, Imam Nawawi menuliskan: “ Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi'i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya. Dan juga dilarang menjadikan kulit dan sebagainya itu untuk upah bagi tukang jagal. Akan tetapi (yang diperbolehkan) adalah seorang yang berkurban dan orang yang berhadiah menyedekahkannya atau juga boleh mengambilnya dengan dimanfaatkan barangnya seperti dibuat untuk kantung air atau timba, muzah (sejenis sepatu) dan sebagainya.”

2 dari 5 halaman

Dimaksimalkan Pemanfaatannya

Apabila tiadk ada yang mau mengonsumsi kulit hewan kurban, maka bisa dimanfaatkan untuk hal lain seperti pembuatan bedug, terbang, dan lain sebagainya. Itu pun jika bukan kurban nazar atau kurban wajib. Jika kurban nazar maka hukumnya wajib dibagikan ke orang lain.

Untuk mengantisipasi pengendapan kulit di tempat penyembelihan, panitia kurban dapat memotong kecil-kecil lalu dicampur dengan daging lalu dibagikan ke orang lain. Bagi masyarakat kurang mampu, kulit bisa dimanfaatkan untuk konsumsi lebih. Akibat penjualan kulit dan kepala hewan kurban bisa berisiko ibadah kurban tidak sah. Akibatnya orang yang berkurban tidak mendapat fadhilah pahala berkurban.

“ Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya,” (HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah)

Itulah penjelasan hukum menjual daging kurban menurut madzhab syafi’i. Tentu berbeda lagi menurut pendapat madzhab Hanafi.

3 dari 5 halaman

Menurut Pendapat Imam Hanafi

Madzhab Hanafi membolehkan penjualan kulit hewan kurban maupun dagingnya dengan syarat hasil penjualannya harus disedekahkan atau untuk membeli berbagai keperluan rumah tangganya. Dalam Kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Taqiyuddin Al-Hushni Al-Husaini dari madzhab Hanafi menjelaskan sebagai berikut:

" Perlu diketahui bahwa ibadah kurban itu terletak pada pemanfaatan tubuh hewan kurban itu sendiri. Karenanya daging kurban tidak boleh dijual, bahkan termasuk menjual kulitnya. Bahkan orang yang berkurban tidak boleh memberikan kulitnya kepada penjagal sebagai upah penyembelihan hewan kurban meskipun kurban itu ibadah sunah. Orang yang berkurban boleh menyedekahkan kulitnya. Pilihan lain, ia boleh memanfaatkan kulitnya untuk membuat khuf (sepatu rapat tak tembus air, terbuat dari kulit), sandal, timba, atau benda lainnya. Tetapi ia tidak boleh memberikannya kepada orang lain sebagai upah penyembelihan. Status perlakuan terhadap tanduk hewan kurban serupa dengan perlakuan terhadap kulit hewan kurban.

Menurut Imam Hanafi Allah yarhamuh, orang yang berkurban boleh menjual kulit hewan kurbannya lalu menyedekahkan hasil penjualannya. Dengan hasil penjualan kulit itu, ia juga boleh membeli pelbagai keperluan yang bermanfaat bagi rumah tangganya. ‘Kami mengqiyasnya dengan daging.’ Penulis Taqrib menyebutkan pendapat yang tidak umum bahwa kulit hewan kurban boleh dijual dan orang yang berkurban itu mengalokasikan hasil penjualannya untuk para mustahik daging kurban sebagaimana lazimnya."

4 dari 5 halaman

Orang Fakir Boleh Menjual

Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam karyanya berjudul Busyral Karim Bisyarhi Masa’ili Ta’lim menyebutkan bahwa jika orang yang menerima hewan kurban benar-benar fakir, maka ia boleh menjual daging kurban yang didapatnya tersebut.

“ Al-Bulqini sangsi perihal lemak hewan kurban. Berdasarkan pada qiyas, tidak cukup membagikan paket kurban berupa lemak seperti keterangan dalam kitab Tuhfah. Sementara orang dengan kategori fakir boleh mendayagunakan daging kurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang muslim.” (Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin, Busyral Karim Bisyarhi Masa’ili Ta’lim).

Orang yang fakir tidak perlu bimbang untuk menjual daging kurban yang sudah menjadi haknya kepada orang lain. Hal itu dilakukan jika kondisi benar-benar menuntut orang fakir itu untuk menjual daging kurban yang ia terima. Si orang fakir boleh menjualnya dalam keadaan mentah maupun matang.

5 dari 5 halaman

Orang Kaya Tidak Boleh Menjual

Akan tetapi bagi orang yang kaya dan berkecukupan, daging kurban hanya boleh didayagunakan untuk dikonsumsi saja. Sebab orang kaya hanya boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya.

“ Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging kurban. Ia boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berkurban.” (Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin, Busyral Karim Bisyarhi Masa’ili Ta’lim).

Kategori kaya ini bisa dilihat dari kemampuannya memiliki rezeki yang berlebih untuk menyembelih hewan kurban saat hari raya Idul Adha. Ketentuan ini sekaligus anjuran bagi orang kaya untuk berkurban selagi tidak ada halangan.

Sumber: NU Online

Beri Komentar