Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Dream - Berhati-hatilah dengan apa yang kita katakan kepada anak. Kata-kata seperti " lamban" , " bodoh" , dan " lemah" tidak hanya akan menyakitinya saat dilontarkan, tetapi akan menempel di ingatan sepanjang hidupnya.
Benar-benar saring ucapan sebelum terlontar di depan anak. Mengapa? Sederhana saja saat orangtua mengatakan hal buruk anak mempercayainya. Jangan sampai ia diberi label dan mempercayai ucapan buruk orangtuanya.
" Menyebut seorang anak 'egois', atau menyiratkan ada sesuatu yang salah dengan dirinya adalah hal yang berbahaya. Anak-anak menginternalisasi label negatif ini dan mulai melihat diri mereka sebagai 'tidak cukup baik'," kata psikolog klinis Melanie Greenberg, Ph.D., dalam sebuah artikel untuk Psychology Today.
Kata-kata buruk bisa berbahaya secara jangka panjang. Hal ini karena orangtua mengirimkan pesan bahwa dia anak yang nakal, padahal yang perlu dia ketahui adalah perbuatannya itu buruk.
Hal yang lebih buruk adalah pesan negatif dan menyakitkan ini menjadi tertanam dalam diri anak-anak kita, dan mereka membawanya bersama mereka saat dewasa.
" Pesan-pesan itu diputar seperti kaset tanpa akhir. 'bagaimana bisa kamu begitu bodoh?', 'kamu tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar'. Rasa malu dan tak percaya diri menyebabkan ketakutan pada anak-anak. Ketakutan ini tidak hilang saat mereka dewasa. Itu menjadi penghalang untuk kehidupan emosional yang sehat dan sulit untuk ditangani," ujar Karyl McBride, Ph.D., seorang terapis keluarga, dikutip dari SmartParenting.
Jadi, bagaimana jika menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima tanpa menggunakan kata-kata yang memalukan dan menyakitkan? Greenberg mengatakan untuk melabeli perilaku tersebut, bukan pada anak.
Misalnya, alih-alih menyebut anak " kakak/ adik yang nakal" , ungkapkan sesuatu seperti, “ berteriak dan mengatakan hal-hal jahat kepada saudara tidak baik. Bagaimana jika hal itu dilakukan pada kamu?'.
Dibutuhkan latihan untuk menjadi orangtua yang lebih berhati-hati bahkan ketika dilanda emosi negatif. Penting untuk meluangkan waktu untuk terhubung dengan perasaan sendiri dan menenangkan diri sebelum membiarkan emosi ini 'bocor' dan menggagalkan komunikasi dengan anak.
Dream - Bagi siapa pun, berapa pun usianya, mengelola emosi dan perilaku selalu jadi tantangan dan bukan hal mudah. Tuntutan sehari-hari, tekanan dan stres dapat memunculkan emosi negatif. Hal itu bisa menyebabkan cara berpikir, bertindak, dan dampak yang buruk.
Emosi dan suasana hati kita bisa menjadi faktor penentu yang sangat kuat dalam bertindak. Saat emosi dalam kondisi positif, bisa membantu kita berpikir kreatif, lateral, dan terbuka terhadap ide-ide baru.
Membantu anak untuk mengelola emosi dapat membantu mereka menjadi tangguh, merespons secara efektif dalam situasi stres, menangani kritik dari orang lain, beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan atau keadaan dan sejumlah hal lainnya.
Lalu bagaimana caranya membantu anak untuk mengelola emosinya?
Mengadopsi 'teknik reaktif'
Emosi yang kuat memiliki kemampuan untuk mempersempit pemikiran kita dan bisa sangat membatasi persepsi kita tentang situasi. Ketika anak-anak marah, takut atau frustrasi, atau kesal mereka tidak selalu berpikir jernih dan kemudian menyesali bagaimana mereka menanggapi suatu situasi.
" Kapan pun memungkinkan, ajari anak untuk meluangkan waktu di antara peristiwa yang membuat stres sebelum merespons. Selama 'waktu istirahat' ini berbicara tentang apa yang menyebabkan peristiwa tersebut, bagaimana perasaan mereka, apa hasil yang diinginkan, hal-hal yang dapat dilakukan secara berbeda dan langkah-langkah positif yang harus diambil untuk mencapai hasil yang diinginkan," ujar Jacqui Preugschat, seorang pakar pengasuhan dikutip dari KidSpot.
Bicara kepada anak dan bahas peristiwa positif yang terjadi dalam hidup mereka atau berbicara tentang orang, tempat, dan peristiwa yang menarik. Hal ini dapat memberikan efek positif pada sikap anak dan cara pandang mereka terhadap kehidupan.
" Pada gilirannya akan memiliki 'efek domino' pada lingkaran pertemanan anak dan menciptakan kebiasaan berfokus pada rasa syukur dan gambaran yang lebih besar dalam hidup mereka daripada pandangan sempit yang berfokus pada diri sendiri," ujar Preugschat.
Setiap orang membuat kesalahan dan apa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita tentang kesalahan dapat berdampak besar pada cara mereka memandang kesuksesan dan kegagalan sebagai orang dewasa. Kesalahan adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang, tidak lebih, tidak kurang.
" Kesalahan tidak boleh dipandang baik atau buruk atau terhubung dengan harga diri seseorang. Kesalahan juga harus dibicarakan dengan sudut pandang yang positif karena ini juga akan membantu memperluas wawasan ke dalam pembelajaran," pesan Preugschat.
Advertisement
Arab Saudi Buat Proyek `Sulap` Sampah Jadi Energi Listrik
Video Gempa 7,4 Magnitudo di Filipina yang Peringatan Tsunaminya Sampai Indonesia
Jakarta Doodle Fest Hadir Lagi, Ajang Unjuk Gigi para Seniman dan Ilustrator
Sah! Amanda Manopo dan Kenny Austin Resmi Menikah
Geger Pernikahan di Pacitan dengan Mahar Rp3 Miliar, Ternyata Pengantin Prianya Penipu
Pria Ini Bertahan 70 Hari di Hutan Tanpa Bekal, dapat Hadiah Rp232 Juta
Timnas Indonesia Kalah Lawan Arab Saudi, Erick Thohir Ingatkan Hal Ini
Komunitas Numismatik Indonesia, Berkumpulnya Penggemar Uang Lawas Penuh Sejarah
Video Gempa 7,4 Magnitudo di Filipina yang Peringatan Tsunaminya Sampai Indonesia
Jakarta Doodle Fest Hadir Lagi, Ajang Unjuk Gigi para Seniman dan Ilustrator