Bupati Purwakarta Pidato di Markas PBB, `Sampurasun` Menggema

Reporter : Eko Huda S
Rabu, 19 Agustus 2015 15:31
Bupati Purwakarta Pidato di Markas PBB, `Sampurasun` Menggema
Dia tak memakai jas. Dan juga dasi. Saat menghadiri forum dunia itu, dia memilih mengenakan baju pangsi, khas Sunda, berwarna putih. Dipadu dengan Iket atau ikat kepala.

Dream - Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mendapat kehormatan berpidato dalam forum International Young Leader Assembly di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Selasa 18 Agustus 2015. Dedy menyampaikan pidatonya di hadapan 700 peserta dari 90 negara.

Tampilan Dedi berbeda dari peserta lainnya. Dia memilih tak memakai jas. Dan juga dasi. Saat menghadiri forum dunia itu, dia lebih memilih mengenakan baju pangsi, khas Sunda, berwarna putih. Dipadu dengan Iket [ikat kepala] yang juga berwarna putih.

Dedi juga membuka pidato itu dengan unik. Bukan “ good morning”, atau juga “ selamat pagi”. Dengan sedikit menunduk dan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, Dedi membuka pidatonya dengan salam khas Sunda.

Sampurasun pun bergema di Markas PBB,” demikian dikutip Dream dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Rabu 19 Agustus 2015.

Dalam pidatonya, Dedi yang mewakili Indonesia menjelaskan usaha penguatan masyarakat desa dengan sistim pendidikan berkarakter Sunda. Pembangunan ekonomi harus didasarkan pada penguatan budaya. “ Di mana di desa dibangun kekuatan tradisi yang kuat,” ujar Dedi

Untuk memperkuat masyarakat berbasis budaya, dibuatlah Peraturan Bupati tentang Pendidikan Berkarakter. Perbup itu mencakup pembangunan kekuatan generasi yang mandiri dan produktif.

“ Seperti sekolah jam 6 pagi, membuat tas sendiri, bersepeda, berpuasa seminggu dua kali, lalu teknologi sebagai bagian penyempurnaan untuk melakukan penguatan terhadap basis tradisi, sehingga memiliki daya saing pasar,” tambah dia.

Dalam pidato itu pula Dedi menyampaikan kondisi sebenarnya yang tengah terjadi di pedessaan. Di mana, pemakaian teknologi hanya menjadi sarana konsumtif. Terjadi pemborosan, bahkan ada warga yang menjual tanah, sehingga kehilangan daya dukung karena hanya mengejar daya konsumtif semata.

“ Sekarang, keadaan terbalik, teknologi menjadi sarana konsumtif yang mengakibatkan pemborosan dan pedesaan kehilangan daya dukung lahan yang tadinya produktif mulai terjual hanya untuk pemenuhan nafsu konsumtif yang akhirnya bahan pokok harus beli, seperti beras, telur, daging, bahkan jengkol,” tutur Dedi.

Untuk menyiasati kondisi itu, Dedi menegaskan, desa harus terjaga basis budayanya. Agar menjadi bagian dari ketahananan, terutama dalam menjaga kekuatan bangsa. “ Saya tegaskan, desa harus terjaga basis budayanya karena sebagai kekuatan bangsa. Karena, apabila basis budaya desa kuat bisa menjadi media relaksasi masyarakat kota dan negara maju, sehingga terjadi harmoni peradaban yang seimbang,” tegas Dedi.

Selain itu, Dedi menuturkan bahwa generasi muda harus tetap memegang teguh basis budaya bangsa, karena kepemimpinan muda berbasis budaya merupakan hal mendasar untuk membangun daya saing bangsa. 

Beri Komentar