Ilmuwan Sebut 2020 Jadi Tahun Terpanas Sejak 41 Tahun Terakhir

Reporter : Razdkanya Ramadhanty
Senin, 12 Oktober 2020 09:00
Ilmuwan Sebut 2020 Jadi Tahun Terpanas Sejak 41 Tahun Terakhir
Suhu global tahunan menunjukkan tahun 2020 menjadi tahun terpanas setelah tahun 1979.

Dream - Ilmuwan iklim menyatakan tahun 2020 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat di dunia. Suhu bulan September untuk saat ini tercatat yang tertinggi dan es Arktik menyusut dari laut yang biasa menutupinya.

Dilansir dari The Straits Times, Senin, 12 Oktober 2020, Layanan Perubahan Iklim Copernicus Eropa melaporkan, suhu global tahunan menunjukkan sedikit perbedaan dari tahun 2016, kalender tahun ini mencatat menjadi tahun terpanas.

Menurut para peneliti, pola iklim seperti La Niña di Samudera Pasifik, terjadi untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, dapat menentukan apakah tahun ini menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat.

1 dari 8 halaman

Pada bulan September, tercatat suhu mencapai 0,63 derajat Celcius di atas rata-rata historis selama 30 tahun, dengan keadaan Arktik Siberia dan Eropa tenggara merasakan efek pemanasan dari perubahan iklim tersebut.

Lautan es Arktik mencapai tingkat terendah kedua pada September lalu, menyusul penurunan cepat sejak satelit mulai memantau pencarian es pada 1979.

 

2 dari 8 halaman

“ Ada penurunan luar biasa cepat di lautan Arktik selama Juni dan Juli, di wilayah yang sama di mana suhu di atas rata-rata tercatat, kombinasi rekor suhu dan rendahnya es laut Arktik pada tahun 2020 menyoroti pentingnya peningkatan dan pemantauan yang lebih komprehensif di kawasan yang memanas lebih cepat daripada di mana pun di dunia,” ujar Direktur Copernicus Carlo Buontempo.

Rekor suhu terpanas tahun ini tercatat pada bulan Agustus berada di angka 54,4 Celcius, suhu udara di Death Valley, Amerika Serikat. Angka tertinggi yang pernah tercatat di bumi.

Sumber: Merdeka.com

3 dari 8 halaman

Penelitian: Iklim dan Kondisi Lingkungan Pengaruhi Daya Infeksi Virus Corona

Dream - Pandemi virus corona jenis SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 telah menginfeksi lebih dari sembilan juta orang di seluruh dunia. Saban hari kasusnya bahkan terus bertambah.

Meskipun tidak ada kepastian kapan kondisi ini akan berakhir, sebuah badan ahli merasa bahwa alam mungkin satu-satunya yang menyelamatkan kita dari pandemi Covid-19.

Selama ini telah terjadi perdebatan di kalangan ilmuwan mengenai daya tahan virus corona terhadap kondisi alam, baik itu musim panas, musim hujan atau musim dingin.

Ada yang menyebut virus corona bisa bertahan dan makin ganas di musim hujan dan iklimnya dingin. Sementara yang lain mengatakan virus corona menjadi lemah ketika musim panas dan iklimnya hangat.

 

 

4 dari 8 halaman

Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Engineering Infectious Diseases, menguatkan dua pendapat yang berbeda itu.

Disebutkan dalam studi bahwa kondisi lingkungan dapat memengaruhi daya tahan dan kekuatan virus SARS-CoV-2.

Dengan bermunculannya gelombang kedua kasus Covid-19 yang mengkhawatirkan para ahli, pengamatan studi ini memberikan gambaran soal peningkatan infeksi virus SARS-CoV-2 di masa depan.

5 dari 8 halaman

Dalam studi terbaru ini, para ahli mengumpulkan sampel dari pasien Covid-19 yang berada di tempat yang berbeda.

Sampel kemudian dianalisis untuk mendeteksi adanya materi genetik virus, yaitu RNA di dalamnya selama satu minggu.

Strain Covid-19 yang diteliti dicampur dengan spesimen yang diambil dari swab tenggorokan, hidung serta pemeriksaan dahak (sputum).

Campuran strain Covid-19 dan spesimen tersebut kemudian diberi paparan tiga set suhu dan kelembaban yang berbeda.

6 dari 8 halaman

Di akhir penelitian, para ahli menemukan adanya perbedaan dalam penyebaran virus corona.

Hasil penelitian menemukan bahwa RNA virus corona selalu terlihat selama periode waktu tertentu. Sementara virus corona itu sendiri bisa bertahan di tubuh selama 12-48 jam.

Namun keberadaan virus corona tersebut tergantung pada iklim dan kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya.

7 dari 8 halaman

Sesuai penelitian, sampel yang terpapar pada iklim yang lebih hangat menunjukkan penurunan drastis dalam hal jumlah virus.

Artinya ada penurunan tingkat penularan virus di daerah yang beriklim lebih hangat. Namun hal yang sama tidak terlihat pada kondisi iklim lain.

Selain itu meski jumlahnya terlihat memuncak pada suhu rendah, tetapi pada iklim yang lebih hangat dengan kelembaban yang tinggi, virus melemah.

Jika ini memang benar, maka studi ini bisa membantu mencegah atau mengetahui tentang penyebaran penyakit Covid-19 di masa depan.

8 dari 8 halaman

Menariknya, tiga bulan sebelumnya para ilmuwan Inggris mengklaim bahwa virus corona, sama seperti infeksi virus lainnya, bisa menjadi lebih kuat di bulan-bulan musim dingin dan iklim yang lebih dingin.

Namun, penelitian para ilmuwan Inggris ini masih membutuhkan riset yang lebih mendalam untuk memiliki kesimpulan yang sama dengan studi terbaru di jurnal Engineering Infectious Diseases.

Selain itu, baru-baru ini ada klaim lain tentang hubungan virus corona dengan cuaca panas. Studi itu mengaitkan terjadinya gerhana Matahari pada 21 Juni dan melemahnya infeksi virus corona.

Dr. KL Sundar Krishna, ilmuwan nuklir di Chenai, India, mengatakan gerhana Matahari pada 21 Juni yang lalu kemungkinan telah melemahkan virus corona.

Namun klaim ini tidak memiliki dukungan berbasis sains atau bahkan dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO.

Sumber: Times of India

Beri Komentar